Baru saja lepas dari kesibukannya menyiapkan keikutsertaan Nadi Gallery di Art Basel Hong Kong yang berlangsung di Hong Kong Convention and Design Center di akhir Mei silam, Biantoro Santoso kembali disibukkan dengan persiapan galerinya untuk G-Seoul 13, sebuah pasar seni berskala internasional di kota Seoul, Korea Selatan. Ajang ini berlangsung dari 27 Juni hingga 1 Juli 2013 mendatang.
“Saya menerima undangan untuk mengikuti ajang ini sejak Februari lalu. Jiyoon Lee, salah seorang kurator G-Seoul13 khusus datang ke galeri untuk mengajukan undangan secara lisan,” kata Bian, sapaan akrabnya. Tak seperti pasar seni lainnya yang calon peserta mengajukan lamaran untuk berpartisipasi, G-Seoul13 mengundang para pesertanya. G-Seoul semula bernama Gallery Seoul dan diselenggarakan sejak 2011. “Mereka memilih hanya 26 galeri dari Afrika, Amerika Serikat, Cina (Tiongkok), Indonesia, Inggris, Jerman, Jepang, dan tentu saja dari Korea sendiri untuk berpartispiasi,” tutur Bian.
Pola seperti itu, menurut Bian, mengingatkannya pada ajang serupa yang pernah diselenggarakan di Singapura bernama Showcase Singapore. “Bahkan bisa dibilang sangat mirip, karena Showcase Singapore juga mengundang hanya sekitar 25 atau 26 galeri saja. Sayangnya event ini tanpa alasan yang jelas hilang dari agenda seni rupa Singapura,” Bian menyesalkan.
Keikutsertaan di G-Seoul13 menjadi pameran pertama Nadi Gallery di Negeri Ginseng ini. Bian akan membawa karya tiga seniman Indonesia, yaitu Agus Suwage, Arin Dwihartanto, dan Handiwirman. “Kesempatan ini akan saya gunakan untuk melihat perkembangan dunia seni rupa di sana, juga menjajaki animo pasar seni Korea terhadap karya-karya seniman Indonesia. Kadang-kadang animo pasar seni itu sering tak terduga. Seperti yang kemarin terjadi di Art Basel Hong Kong,” katanya.
Bian menyatakan bahwa ia sangat iri terhadap apresiasi masyarakat Hong Kong pada ajang tersebut. “Mereka berbondong-bondong datang dan rela mengantri masuk ke tempat pameran, padahal mereka harus membayar tiket dengan harga cukup tinggi. Bandingkan dengan masyarakat Indonesia. Kecuali pameran Raden Saleh yang pengunjungnya membludak, hampir semua pameran sepi pengunjung. Jangankan membayar, gratis saja sedikit sekali yang datang ,” ujarnya, sembari tertawa getir. Namun apresiasi dan sambutan pasar seni dunia terhadap karya-karya perupa Indonesia membuatnya tetap optimistik akan masa depan seni rupa di negeri ini. (ISA), Foto: Dok. Dewi
“Saya menerima undangan untuk mengikuti ajang ini sejak Februari lalu. Jiyoon Lee, salah seorang kurator G-Seoul13 khusus datang ke galeri untuk mengajukan undangan secara lisan,” kata Bian, sapaan akrabnya. Tak seperti pasar seni lainnya yang calon peserta mengajukan lamaran untuk berpartisipasi, G-Seoul13 mengundang para pesertanya. G-Seoul semula bernama Gallery Seoul dan diselenggarakan sejak 2011. “Mereka memilih hanya 26 galeri dari Afrika, Amerika Serikat, Cina (Tiongkok), Indonesia, Inggris, Jerman, Jepang, dan tentu saja dari Korea sendiri untuk berpartispiasi,” tutur Bian.
Pola seperti itu, menurut Bian, mengingatkannya pada ajang serupa yang pernah diselenggarakan di Singapura bernama Showcase Singapore. “Bahkan bisa dibilang sangat mirip, karena Showcase Singapore juga mengundang hanya sekitar 25 atau 26 galeri saja. Sayangnya event ini tanpa alasan yang jelas hilang dari agenda seni rupa Singapura,” Bian menyesalkan.
Keikutsertaan di G-Seoul13 menjadi pameran pertama Nadi Gallery di Negeri Ginseng ini. Bian akan membawa karya tiga seniman Indonesia, yaitu Agus Suwage, Arin Dwihartanto, dan Handiwirman. “Kesempatan ini akan saya gunakan untuk melihat perkembangan dunia seni rupa di sana, juga menjajaki animo pasar seni Korea terhadap karya-karya seniman Indonesia. Kadang-kadang animo pasar seni itu sering tak terduga. Seperti yang kemarin terjadi di Art Basel Hong Kong,” katanya.
Bian menyatakan bahwa ia sangat iri terhadap apresiasi masyarakat Hong Kong pada ajang tersebut. “Mereka berbondong-bondong datang dan rela mengantri masuk ke tempat pameran, padahal mereka harus membayar tiket dengan harga cukup tinggi. Bandingkan dengan masyarakat Indonesia. Kecuali pameran Raden Saleh yang pengunjungnya membludak, hampir semua pameran sepi pengunjung. Jangankan membayar, gratis saja sedikit sekali yang datang ,” ujarnya, sembari tertawa getir. Namun apresiasi dan sambutan pasar seni dunia terhadap karya-karya perupa Indonesia membuatnya tetap optimistik akan masa depan seni rupa di negeri ini. (ISA), Foto: Dok. Dewi