Garin dan Sensualitas Ledhek
Setelah dua tahun, Garin Nugroho kembali melanjutkan perjalanan ?Opera Jawa?nya.
28 Jan 2013


Kesenian Tayub memang kerap dianggap bukan kesenian inggil. Ia adalah kesenian rakyat yang praktiknya kerap dilekatkan pada kontroversi seputar sensualitas para penari yang dijuluki Ledhek. Tapi justru karena ketidakinggilan dan kontroversi Tayub itulah, sutradara Garin Nogroho melabuhkan pilihan tema untuk sekuel terakhir trilogi pertunjukan Opera Jawa. “Saya sengaja mengambil tema pertunjukan kali ini dari khazanah Tayub yang melebur dalam kehidupan masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pertunjukan kali ini saya beri judul Ledhek dan memang sedikit agak lepas dari dua tema sebelumnya,” Garin mengungkapkan. Ketika dihubungi dewi melalui telepon, ia tengah berada dalam kereta dari Yogyakarta menuju Solo, di mana seluruh proses latihan “Ledhek” –seperti juga dua pertunjukan sebelumnya- diadakan.
Menurut  Garin, ia memasukkan lebih banyak unsur Jawa Timuran ke dalam pertunjukannya kali ini karena ingin memberi ‘keadilan’ bagi seluruh khazanah budaya yang ada di Jawa yang menjadi ranah eksplorasinya. “Dalam Tusuk Konde, saya meleipkan juga nuansa Sunda lewat beberapa tembang yang dilantunkan Endah Laras. Saya ingin semua bentuk budaya yang ada di pulau Jawa ini bisa saya hadirkan dalam trilogi ini agar Opera Jawa ini bisa jadi komposisi yang kaya dan lengkap merangkum Jawa di dalamnya,” kata Garin. Dalam sekuel terakhir ini, ia masih menggandeng Rahayu Supanggah sebagi penata musik yang terlibat sejak Opera Jawa dibuat dalam bentuk film hingga kemudian berkembang dalam bentuk seni lain seperti teater, sendratari juga instalasi seni rupa. “Karena namanya Opera, saya ingin musik yang menjadi benang yang menjahit karya ini. Apalagi, Mas Panggah itu sangat jarang bekerjasama membuat musik dengan seniman dalam negeri. Itu sebabnya saya ingin membuat karya yang komprehensif bersama beliau,” Garin mengungkapkan alasan. Kekuatan musik dan tembang itu juga diperlihatkan Garin dengan memasukkan beberapa penembang andal seperti Endah Laras dan Sruti Respati untuk terlibat dalam pertunjukan ini.
Opera Jawa “Ledhek” menurut sutradara yang melejit berkat film keduanya Cinta Dalam Sepotong Roti ini akan tetap membawa tema yang kuat meski berisi komposisi musik dan tembang yang lebih sederhana ketimbang dua pertunjukan sebelumnya, Iron Bed dan Tusuk Konde. “Dengan mengacu pada kisah Hanoman, lewat pentas kali ini saya ingin bicara tentang dunia yang serba tidak pada tempatnya mulai dari persoalan alam, kekuasaan, hingga soal kemanusiaan,” kata Garin. Tapi mengapa untuk tema yang demikian serius dan terkesan berat ia menggunakan Tayub dan Ledhek sebagai idiom? “Karena Tayuban itu kesenian yang muncul dalam masyarakat akar rumput yang perkara sensualitasnya kerap dijadikan persoalan oleh mereka yang merasa kelasnya lebih tinggi. Persoalan itu yang saya jadikan pintu untuk membawa masuk persoalan tentang dunia yang ganjil dan timpang itu ke atas pentas,” kata sutradara yang kali ini menggandeng Anggono Kusumo Wibowo dan Danang Pamungkas sebagai penata tari. Kalau penasaran seperti apa pentas Opera Jawa Ledhek, tunggu saja April 2013 mendatang ketika pentasnya digelar di dua kota, Jakarta dan Yogyakarta. (ISA), Foto: Dok. Dewi/Toro Arijayadi        

 

Author

DEWI INDONESIA