Legenda Sangkuriang di Teater Jakarta
Paduan Suara Mahasiswa Universitas Parahyangan Bandung menggelar Drama Musikal Sangkuriang untuk memperingati setengah abadnya.
8 Feb 2013


1 / 4
“Tidak mungkin tuan meminang hamba. Tidak mungkin anak mengawini bunda.” Kalimat itu terus diujarkan dengan nada bingung dan panik oleh Dayang Sumbi (Sita Nursanti/Christine Tumbuan) pada putranya Sangkuriang (Farman Purnama/Gabriel Harvianto). Tapi sang putra yang telanjur jatuh cinta pada Ibundanya itu tak peduli. Ibu yang malang ini akhirnya memilih jalan pintas demi menggagalkan keinginan putranya. Ia menikam diri dengan sebilah kujang, belati khas Jawa Barat. Sangkuriang yang sedih dan geram mengikuti jejak pujaan hatinya.

Tragis. Begitulah akhir Drama Musikal Sangkuriang yang dipentaskan Paduan Suara Mahasiswa Universitas Parahyangan (PSM–Unpar) Bandung di Teater Jakarta selama tiga hari (1-3/2) akhir pekan lalu. “Lega karena pementasannya berjalan lancar,” kata Avip Priyatna,  konduktor yang memandu Jakarta Concert Orchestra memainkan gubahan Dian H.P. “Sebenarnya sejak 2004 kami sudah punya keinginan mementaskan drama musikal ini. Tapi baru sekarang kesampaian,” katanya, tentang drama yang memakai libretto Utuy Tatang Sontani ini. Rangkaian peringatan ulang tahun ke-50 PSM, menurut Avip, telah dimulai sejak 2012 lalu. Acara ini didukung Djarum Apresiasi Budaya dan Djarum Foundation.

Selain komposer dan penyanyi andal seperti Dian HP dan Sita Nursanti, PSM–Unpar juga menggandeng seniman serta desainer andal untuk menangani tata artistik panggung serta kostum pertunjukan mereka. Sunaryo mendesain properti panggung dengan gaya minimalis. Putih jadi warna dominan. Kostum didesain rapi oleh Deden Siswanto. Warna-warna tanah seperti menjelmakan tuanya legenda. Paduan properti dan busana memperkuat kesan ringkas dan modern pertunjukan ini ketika tembakan citra multimedia Yusuf Ismail, seniman video art yang tengah menanjak kariernya, berpadu dengan tata cahaya Iskandar K. Loedin.

“Kami memang sengaja tidak menghadirkan ke-Sunda-an cerita ini secara kental supaya bisa dinikmati oleh audiens yang lebih luas,” ujar Wawan Sofwan, sang sutradara. “Ini juga alasan kami memakai libretto Pak Utuy. Beliau menghilangkan banyak simbol primordial dan gender di dalamnya. Tak ada kasta dalam naskahnya. Bahkan ibu dan anak pun sama-sama menyapa dengan kata tuan dan hamba,” lanjutnya. Ia  amat terbantu oleh libretto indah yang ditulis Utuy. “Kami, terutama Bu Dian, sangat mudah mendedah naskah ke dalam komposisi musik dan cerita,” tutur sutradara, yang juga seorang penulis ini. (ISA), Foto: Tiki Boediono

 

Author

DEWI INDONESIA