Mengintip Paviliun Indonesia Menjelang Venice Biennale
Instalasi raksasa dari lima seniman Indonesia akan dipamerkan di Italia.
25 Mar 2013


Tenda hitam berukuran besar sejak Kamis (21/3) kemarin berdiri di area  parkir selatan Plaza Mandiri hingga Minggu (24/3). Di dalamnya, ada lima instalasi berukuran raksasa karya lima seniman Indonesia, yakni Albert Yonathan Setyawan, Eko Nugroho, Entang Wiharso, Sri Astari, dan Titarubi, sementara alunan gamelan memperdengarkan komposisi Rahayu Supanggah.

Kelima instalasi tadi merupakan replika Paviliun Nasional Indonesia (PNI). Ia akan diboyong ke Venice Biennale pada Juni mendatang, sebuah ajang internasional yang berlangsung tiap tahun, dari 1 Juni sampai 24 November 2013. Paviliun berukuran 500 meter persegi tersebut akan menandai keikutsertaan Indonesia untuk pertama kali di biennale seni rupa tertua di dunia itu.

Kurator PNI, Rifky Effendi, mengatakan bahwa karya para seniman ini menegaskan eksistensi seni rupa kontemporer Indonesia di hadapan publik seni dunia.

Kelima seniman mewujudkan tema "sakti" dalam karya-karya mereka. “Sakti diambil sebagai landasan berkarya dan kami membebaskan para seniman menuangkan ide mereka tentang kesaktian. Kalau pun kemudian karya-karya ini terasa demikian tajam mengkritisi Indonesia, kami melihatnya sebagai kritik membangun yang akan membantu negeri ini mendapatkan lagi kesaktiannya,” kata Rifky.

Meski tak secara spesifik bicara tentang Jawa, simbol-simbol tradisi Jawa, dipakai oleh Albert Yonathan, Entang Wiharso, dan Sri Astari. Albert misalnya, membuat ribuan stupa kecil dari gerabah yang disusun membentuk labirin dan mengingatkan kita pada Candi Borobudur. Bedanya, bila Borobudur berbentuk sirkular, “candi” Albert berbentuk persegi dengan hanya satu pintu masuk dan satu pintu keluar. Menurut Carla Bianpoen, art director pameran ini, labirin dengan hanya satu pintu keluar dipakai Albert untuk mendialogkan perenungannya tentang Indonesia. 

Menyimak karya Albert, kita memang akan segera bisa menangkap kesunyian dan kegamangan yang ia rasakan tentang berbagai pertanyaan tak terjawab atas pergeseran berbagai nilai yang terjadi dalam masyarakat. Kegamangan yang juga tampak pada karya Entang. Sebuah gapura besar yang di mukanya terpajang dua lemari berisi kepala  para presiden Indonesia yang pernah berkuasa. Wajah-wajah mereka terpiuh, seakan menyuarakan kegusaran Entang tentang carut-marut sejarah negeri ini. Adapun Astari menghadirkan pendopo berbentuk joglo yang disandingkannya dengan tujuh penari bedaya berwajah wayang.

‘Kesaktian’ dengan simbol yang lebih kontemporer ditampilkan oleh Eko dan Titarubi. Eko mempertanyakan kesaktian lewat perahu berkain layar robek dan beberapa penumpang yang terombang-ambing di atasnya. Figur berkepala robot, kubah masjid dan drum minyak menjadi simbol konflik individu dan konflik antarwarga.

Titarubi menyuguhi kita  hampir selusin bangku sekolah dari kayu terbakar yang di atasnya tergeletak sebuah buku super tebal. Di latar belakang, ia jajarkan lukisan arang bergambar hutan yang gelap.  Boleh jadi, Tita tengah bersedih hati untuk kesaktian yang tak mungkin dimiliki anak-anak bangsa ini tanpa pendidikan yang layak dan memadai.  (ISA), Foto: ISA     

 

Author

DEWI INDONESIA