Merayakan Hari Perempuan, Meluncurkan Program Pemberdayaan
Lima organisasi perempuan Indonesia dan AusAID bekerjasama untuk menanggulangi kemiskinan, sebagai sumber utama kekerasan terhadap perempuan.
14 Mar 2013


Pemerintah Australia melalui AusAID di Indonesia meluncurkan program pemberdayaan ekonomi perempuan yang diberi nama Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan atau MAMPU. Bekerja sama dengan lima organisasi perempuan Indonesia (Migrant Care, Komnas Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, PEKKA dan Kapal Perempuan) dan International Labour Organization, program ini diluncurkan pada 7 Februari 2013 lalu di Serambi Salihara, Jakarta. Tujuannya, mensejahterakan perempuan miskin di Indonesia untuk mengurangi kekerasan terhadap mereka.

“Untuk masalah serumit kemiskinan ini, kami harus bekerjasama dengan mereka yang sudah biasa berhubungan dengan lembaga-lembaga lokal. Program ini memiliki kegiatan di lapangan yang riil dan buktinya nanti bisa dibawa ke pembuat kebijakan untuk ditindaklanjuti,” ujar Kate Shanahan, koordinator unit program MAMPU di AusAID.

Kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia jumlahnya meningkat hampir dua kali lipat dalam setahun.  Menurut  Desti Murdijana dari Komnas Perempuan,  tercatat lebih dari 216 ribu kasus  pada 2012, sedang tahun 2011 sebanyak lebih dari 119 ribu kasus.

 “Dari jumlah itu, 66 persen kasus di ranah personal atau  KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), 30 persen di ranah komunitas dan sisanya 4 persen di ranah negara. Apa sebabnya ini terjadi? Karena lembaga layanan untuk para korban tidak tersedia di tempat terpencil,” katanya, seraya menambahkan bahwa jumlah itu sebenarnya berkali-kali lipat dalam kenyataan, karena kekerasan terhadap perempuan ibarat piramid, hanya puncaknya saja yang terlihat.

Perempuan yang menjadi pencari nafkah di luar negeri atau biasa disebut buruh migran juga rentan terhadap kekerasan.  “Jumlah mereka ini 80 persen dari 6,5 juta tenaga kerja Indonesia di luar negeri, “ tutur Anis Hidayah dari Migrant Care, organisasi pembela buruh migran. Meskipun pemerintah telah meratifikasi  Konvensi Buruh Migran, tapi praktiknya belum dapat diandalkan untuk melindungi hak-hak mereka.

Missiyah dari Kapal Perempuan berkata, “Adalah negara dan masyarakat sipil, dua payung ini yang menentukan apakah angka (kekerasan) itu akan berkurang. Misalnya negara memberi perlindungan sosial,  masyarakat sipil berperan memastikan kepada pemerintah dan lain-lain agar hak-hak dasar perempuan terpenuhi. “

Pengalaman organisasi-organisasi perempuan ini juga menunjukkan bahwa advokasi dan pendidikan yang mereka lakukan belum mencapai hasil yang menggembirakan. Apa sebabnya? Selama ini tiap organisasi menjalankan programnya masing-masing dengan dengan isu-isu yang berbeda. Sebut saja beberapa: kesehatan reproduksi, pelibatan perempuan dalam politik, kekerasan dalam rumah tangga, advokasi buruh migran dan pendampingan korban kekerasan. Tapi program mereka tidak bertemu dalam satu platform bersama.

"Setelah kami semua duduk bersama dan berdiskusi baru kami mengerti bahwa akar dari semua masalah yang dihadapi perempuan adalah kemiskinan, sehingga program MAMPU ini jadi relevan," tutur Dian Kartikasari dari Koalisi Perempuan.

Sesungguhnya, masalah kemiskinan dan penanggulangannya bukan hal baru di Indonesia. Pemerintah Suharto dulu amat terkenal dengan slogan 'politik no, ekonomi yes', yang tentu bersifat lintas gender itu. Bedanya, program MAMPU tidak bertujuan menghalangi perempuan berpolitik, melainkan menyiapkan basis ekonominya yang dianggap pula sebagai tumpuan pemberdayaan perempuan di semua lini. Meskipun kata "kemiskinan" itu sendiri terasa ganjil di sebuah negeri yang kaya sumber alam ini. 
 (LC) Foto: The Age

 

Author

DEWI INDONESIA