Perombak Sejarah Jakarta
Sastrawan AS Laksana mengejek narasi besar dengan racikan humor.
20 Feb 2013


Mereka datang 243 tahun sebelum negeri mereka menemukan kakus. Mula-mula mereka singgah untuk mengisi air minum dan membeli arak dari kampung Pecinan di tepi barat sungai; lima tahun kemudian mereka kembali merapatkan kapal mereka ke pantai dan menetap di sana seterusnya. Tuan Murjangkung, raksasa berkulit bayi yang memimpin pendaratan, membeli dari Sang Pangeran tanah enam ribu meter persegi di tepi timur sungai. Di sana ia mendirikan rumah gedong dan memagar tanahnya dengan dinding putih tebal dan menghiasi dinding pagarnya dengan pucuk-pucuk meriam.

Kalimat-kalimat tadi merupakan petikan  salah satu cerita dalam Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu yang memeriahkan dunia kesusastraan Indonesia sejak Januari 2013 lalu. Murjangkung tak lain dari nama petinggi perusahaan dagang Belanda VOC, yang memerintah Batavia di masa lalu, dalam pengucapan Bumiputra, orang-orang biasa, dalam imajinasi AS Laksana. Pendeknya, inilah sejarah Jakarta versi lain. Kumpulan cerita  AS Laksana ini hadir  dalam wujud e-book dan cetak. Pembaca dan pecinta sastra dapat membeli buku tersebut secara online. Penerbitnya?  Sang penulis sendiri.  Alasannya?  Ia tidak ingin terikat dengan aturan toko buku yang mengedarkan buku dalam waktu tertentu.  “Selain itu, versi e-book dapat diperoleh orang-orang yang kesulitan mengakses toko buku atau koleksi toko buku di kotanya amat terbatas. Internet memudahkan mereka,” katanya.

Buku pertama AS Laksana, Bidadari yang Mengembara, juga sebuah kumpulan cerita,  meraih penghargaan buku sastra terbaik pilihan Majalah Tempo pada 2004 dan disebut berbahasa cemerlang serta memiliki kemahiran berakrobat dengan tata bahasa,  piawai memadu humor, kelisanan, dan budaya massa. Cara bertuturnya mengajak pembaca berdialog, sebagai musuh ataupun sekutu imajiner.

Dalam Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu, ia kembali menyuguhi kita cerita-cerita keseharian yang melatari suatu peristiwa penting atau momen sejarah, yang tidak dihiasi orang-orang mulia atau semacam pahlawan tanpa cela, melainkan sosok-sosok tragis-jenaka. Ia menuturkan kenyataan sejarah yang lain. Siapkah Anda mengetahui bahwa dulu Lapangan Banteng itu bernama Lapangan Pudel? (LC) Foto: Dok. AS Laksana

 

Author

DEWI INDONESIA