Riri Riza dan Sukses Makassar SEAScreen Academy
Benih perfilman tengah disemaikan di wilayah timur Indonesia. Wadahnya bernama Makassar SEAScreen Academy.
28 Sep 2012


Mengambil model ‘sekolah’ film semacam Asian Film Academy dan Berlin Talent Campus, Rumata’, rumah budaya yang didirikan sutradara Riri Riza dan penulis Lily Yulianti Farid pada 2010 lalu, menggelar Makassar SEAscreen Academy pada 1 hingga 5 September lalu. Tujuh sutradara dari lima Negara, Kan Lume (Singapura), John Torres (Filipina), Aditya Assarat (Thailand), Tan Chui Mui (Malaysia), Mouly Surya (Indonesia) dan Lola Amaria (Indonesia) menjadi mentor untuk 20 sineas muda yang berasal dari daerah di wilayah timur Indonesia seperti Lombok, Sumbawa, Palu, Kendari, Papua, dan tentu saja Makassar.

“Karena baru pertama kali, SEAScreen kali ini memang masih sangat eksperimental baik untuk kami, penyelenggara mau pun para mentor yang mendampingi peserta. Tapi justru di sini kami membangun pondasi sembari mengevaluasi apa yang perlu ditambah dan diperbaiki di penyelenggaraan kedua dan selanjutnya,” kata Riri Riza.

Dibantu Mira Lesmana yang didaulat sebagai kepala sekolah dan Phillip Cheah (Singapura) sebagai patronnya, SEAScreen menurut Riri menjadi sebuah wadah pembibitan yang unik. “Wilayah Timur ini cenderung belum semaju Jakarta, Bandung, Yogya atau Bali yang sudah lebih maju industry filmnya. Di sini kami dihadapkan pada pengetahuan dan pemahaman yang berbeda-beda antara peserta yang satu dengan lainnya. Tantangan yang harus kami atasi adalah bagaimana kesamaan pandang dapat ditemukan. Tapi ternyata, justru di situ nilai tambahnya. Beruntung juga, para mentor yang membantu kami tak patah arang, tapi justru antusias menerima tantangan ini,” Riri menjelaskan.

Ia mengaku senang dengan kebersamaan yang terbangun sepanjang enam hari yang menyenangkan. Banyak perubahan yang terjadi sepanjang hari-hari itu. “Peserta yang awalnya ingin kami bagi hanya dalam dua kelompok saja, membelah diri menjadi tiga kelompok. Begitu pula, rencana yang ingin melibatkan peserta hanya sebagai pengamat proses produksi para mentor, berubah total dan tiga kelompok itu membuat sendiri film mereka secara utuh dengan supervisi dari mentornya,” kata Riri dengan suara bungah.

Riri mengaku seperti melihat semangat yang pelan-pelan menggeliat di langit timur Indonesia. “Semangat ini yang ingin kami jaga dan terus tumbuhkan. Itu sebabnya, kami hanya akan membuka seleksi peserta dari wilayah timur saja karena ada hela napas yang sama yang ingin kami sinergikan di sini. Acara enam hari itu membuat yakin bahwa kami haru mengadakan acara ini lagi tahun depan. Bahkan kalau bisa, SEAscreen tak hanya diadakan di Makassar saja, tapi juga berpindah ke daerah lain di timur Indonesia,” katanya.

Selain Makassar SEAscreen yang berjalan mulus, program Artist in Residence –diikuti oleh seniman asal Belanda Gertjan Zuilhof- yang menyertai pembukaan galeri Rumata juga mendapat respon yang baik dari masyarakat seni rupa di kota para Bissu itu. “Terharu sekali ketika pembukaan galeri, sekitar lebih dari 40an seniman Makassar berkumpul dan seakan menemukan ruang yang selama ini mereka cari,” Riri mengenang. Tanpa berbesar kepala, Riri merasa keberadaan Rumata’ mengusik semangat seniman Makassar yang selama ini kesulitan menemukan ruang berkspresi. Langkah yang diayunkan Riri, Lily dan Rumata mereka, semoga saja menjadi pemicu mekarnya dunia seni di tanah Angin Mamiri. (ISA)

Foto: Dok. Makassar SEAScreen/Wirasandi Ruslan

 

Author

DEWI INDONESIA