Sutradara Adriyanto Dewo Berbagi Cerita Lewat Sinema
Kenali lebih jauh kecintaan sutradara Adriyanto Dewo terhadap film, film yang membuatnya tersentuh dan mimpinya membuat film tanpa naskah.
11 Aug 2015


Tahun lalu ia meraih penghargaan sutradara terbaik di Festival Film Indonesia lewat film Tabula Rasa. Ini adalah film panjang pertamanya. Bercerita tentang seorang anak rantau dari Papua yang pergi ke Jakarta untuk meraih mimpi. Film ini juga merupakan film lokal pertama yang berbicara tentang kuliner Indonesia, sementara bagi sang sutradaranya sendiri, Tabula Rasa adalah besutan yang berbicara tentang kerinduan.

 

“Para tokohnya, orang-orang yang keluar dari kampungnya. Di daerah perantauan, mereka merindukan sesuatu tetapi tidak tahu rindu akan apa dan tidak tahu juga kapan bisa pulang. Makanan di sini dihadirkan karena hal tersebut senantiasa membawa memori,” kata Adri. Selama hampir satu bulan proses syuting, dengan nada bicaranya yang pelan dan tenang ia selalu mengingatkan para pemainnya bahwa film tersebut tentang kerinduan. 

 

Adri lahir dari ayah berdarah Jawa Timur dan ibu berasal dari Jawa Tengah. Ia anak terakhir dari tiga bersaudara. Sejak kecil ayahnya yang berprofesi sebagai arsitek, mengajari Adri menggambar, sementara kakaknya mengajari bermain musik. Seiring berjalannya waktu, aktivitas menggambar menjadi kegiatan favorit Adri hingga seusai sekolah ia berniat untuk mengambil jurusan animasi. Kedua orangtuanya mendukung minat Adri di bidang seni khususnya perfilman. Terlebih lagi ketika itu, industri film dalam negeri tampak menjanjikan dengan tenarnya film Petualangan Sherina karya Riri Riza dan Ada Apa Dengan Cinta karya Rudy Soedjarwo.

 

Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (FFTV-IKJ) lantas menjadi pilihan. Impian Adri masuk jurusan animasi runtuh di sana. Suatu hari, IKJ mengadakan acara nonton bersama film lawas berjudul Bicycle Thieves karya Vittorio di Sica. Berkisah tentang Antonio Ricci, pria kelas menengah dengan kesulitan ekonomi pasca Perang Dunia II yang kehilangan sepeda baru miliknya. Film tersebut penanda era keemasan perfilman Italia. “Seluruh film hanya menceritakan proses dia mencari sepeda itu bersama anak laki-lakinya. Film itu dibuat tahun 1948. Setelah menonton, saya tersentuh. Saya merasa, kok bisa film yang dibuat pada tahun tersebut, masih bisa ditonton dan menyentuh penontonnya sampai hari ini,” kenang Adri penuh kagum. Dari sana ia sadar bahwa lebih baik mengambil jurusan penyutradaraan, “Belajar intinya dulu. Menurut saya intinya ada di penyutradaraan.” Jawabnya dengan pandangan mata yang sayu, tipe pandangan mata yang bisa saja semakin lama semakin menghanyutkan lawan bicaranya.


Pada tahun tersebut Adri satu-satunya mahasiswa yang mengambil program pendidikan strata satu di jurusan tersebut. Ia tak gentar. Mulai masa perkuliahan, Adri segera melahap berbagai film, terutama film-film yang jarang diputar di pasaran dan juga film-film yang termasuk penting pada eranya. Di kampus, ia bertemu dengan dosennya, sutradara Nan T. Achnas yang kemudian menjadi sutradara wanita yang ia idolakan. “Saya suka sutradara yang membuat film dengan menonjolkan sisi personal tanpa diintervensi kepentingan lain,” ucapnya santai.  

 

Sembari menyelesaikan kuliah, Adri banyak membantu sejumlah produksi film, ia pernah bekerja paruh waktu di rumah produksi milik Lola Amaria. Saat itu, Lola hendak membuat film Minggu Pagi di Victoria Park yang mengambil lokasi di Hong Kong. Adri ikut kesana untuk membuat video behind the scene film tersebut. Selama di Hong Kong, imajinasi Adri berkembang lagi dan hal tersebut memudahkan rencana awalnya untuk membuat film pendek ketika kamera tidak lagi dipakai untuk mengambil gambar.

Di Hong Kong ia bertemu dengan sejumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang memiliki anak dan suami di kampung halamannya tetapi juga punya pasangan sejenis di perantauan. “Saya bertanya ‘Kenapa bisa begini?’,‘Kenapa orang lebih bebas ada di negeri orang?’” pertanyaan-pertanyaan ini berhasil ia rangkai dalam gambar sehingga melahirkan film pendek Nyanyian Para Pejuang Sunyi. Film berdurasi 7 menit yang dibintangi Lola Amaria dan Titi Rajo Bintang. Film ituhanya berupa adegan hitam putih tanpa dialog. Tahun berikutnya, film pendek tersebut membawa Adri meraih penghargaan Best Director Short Film Competition, The 6th Indonesian Film Festival Melbourne, Australia. Masih melalui film yang sama, ia berkesempatan datang festival film untuk pertama kalinya diBerlin, Jerman.

 

Tahun berikutnya, ia kembali membuat film dengan tema dan teknik sejenis dengan judul Waiting for Colors. Film pendeknya itu menjadi bagian dalam omnimbus Sanubari Jakarta dan sempat ditayangkan di bioskop. Untuk film tersebut, Adri mendapatkan penghargaan Best Short  Film Hanoi International Film Festival 2014 yang membuatnya bertandang ke Hanoi dan melihat banyaknya karya sutradara muda di sana. Hal tersebut membuat pria berkulit sawo matang dan berpenampilan santai ini makin berharap agar sutradara muda kian bermunculan di Indonesia.

Sama seperti film-film pendeknya, Tabula Rasa pun berkelana ke berbagai film festival di sejumlah negara. Diantaranya Cinemasia Amsterdam, Film that’s feed – Milano Africa, Asia, Latin America film festival 2015, Cannes Chinephiles / Antipodes 2015, dan On the silk road – Shanghai International Film Festival 2015. (Joan Aurelia) Foto: Nurulita. Pengarah Gaya: Ruben William.

 

Author

DEWI INDONESIA