Kisah Perjalanan Parfum
Potret setiap masa terbentuk oleh berbagai elemen dari gaya busana, arsitektur, musik, termasuk pula baunya. Tahun ini aroma bunga masih menjadi daya tarik yang terus dieksplorasi.
18 Jan 2014


Sejarah memang mencatat bahwa Michael Edwards, seorang konsultan dalam industri fragrance, adalah orang terakhir yang menciptakan metode klasifikasi parfum berdasarkan aroma pada tahun 1983. Metodenya yang disebut dengan Fragrance Wheel ini membagi wewangian dalam lima grup yaitu Floral, Oriental, Woody, Fougère, dan Fresh. Dan masing-masing grup ini pun dikategorikan lagi ke dalam beberapa sub grup, dengan skema visualisasinya menyerupai bentuk roda dimana grup-grup ini mengelilinginya. Dalam grup Fresh, misalnya, terdiri dari 3 jenis sub grup aroma yang termasuk dalam golongan ini yakni Citrus, Green, dan Water.  

Meski begitu, penggolongan jenis fragrance ini sifatnya tidak baku. Sebuah aroma yang tertulis pada botol atau bahkan sebagai nama parfum itu sendiri mungkin tak serupa dengan parfum lain yang tertulis memiliki aroma bunga yang sama. Ini sangat dipengaruhi oleh top, middle, dan base notes, hingga ke dry down - yang telah bereaksi dengan aroma tubuh dan hanya akan tercium oleh diri Anda sendiri. Inilah yang membuat setiap parfum memiliki karakteristik yang unik sehingga Gandrasta Bangko, seorang penikmat parfum yang juga memperdalam ilmu ini, menyatakan ketidaksetujuannya dalam pemberian label gender untuk parfum. Menurutnya, dalam memanjakan indera penciuman tak mengenal jenis kelamin, karena pada akhirnya setiap wewangian tersebut akan membentuk aroma yang sangat personal dan berbeda.

Dan dalam urusan fragrance pun sama halnya dengan dunia fashion dan make-up, juga memiliki pergerakan tren yang terus berubah. Bila ditilik dalam setiap dekade terjadi gelombang arus wewangian yang berbeda dalam kurun waktu tertentu. Ini membuktikan bahwa klasifikasi yang dibuat oleh Michael Edwards tidak sepenuhnya berlaku untuk sepanjang masa. Dan klasifikasi-klasifikasi baru telah banyak bermunculan dengan interpretasi yang tidak terbatas. Pada dekade tahun 90-an wewangian yang dicari adalah aroma yang simpel, murni, dan cukup ringan. Ada kalanya pula aroma gourmand - menyerupai wangi makanan seperti kue dan cokelat – menjadi populer berkat Thierry Mugler dengan Angel-nya.

Arus ini mulai bergeser memasuki abad ke-21, dimana alam sekitar semakin diapresiasi dengan kemunculan parfum beraroma bunga-bungaan dan buah-buahan, seperti Flower by Kenzo dan Le Feu D’Issey Light dari Issey Miyake. Arus feminitas ini semakin deras pada tahun 2003-2004 dengan konsep yang semakin provokatif lagi seperti terlihat pada Dior Addict dan Coco Mademoiselle dari Chanel.

Dan semenjak tahun 2008 hingga kini konsep dan nilai-nilai baru dalam ekologi dan lingkungan sustainable semakin banyak diusung, tentunya tanpa meninggalkan kebutuhan untuk tampil berbeda dari yang lain. Sehingga fragrance kini banyak ditandai dengan tambahan limited edition, eksklusif, vintage (dengan spesifik mencantumkan tahun pembuatan seperti wine), atau wewangian custom-made. Namun hampir semuanya sepakat dalam mengeksplorasi aroma bunga dan mentransformasikannya menjadi sebuah identitas sekaligus mood builder yang hendak dicapai. Seperti parfum-parfum yang diluncurkan tahun ini, Boucheron Place Vendôme Eau de Parfum, Jimmy Choo Flash Eau de Parfum, Marc Jacob dengan Daisy Garland, Kenzo Flower In The Air, Ivoire Pierre dari Balmain, dan masih banyak lagi, yang sangat kaya akan permainan aroma bunga. (NV) Foto: Dok. dewi

 

Author

DEWI INDONESIA