Ghea dan Kisah Oei Hui Lan
Ghea Panggabean meluncurkan koleksi piranti Romantic Peranakan.
4 Oct 2012


1 / 3
“Semalaman saya nggak bisa tidur. Masih tidak percaya, acara peluncuran tableware Romantic Peranakan kemarin malam bisa berlangsung seperti yang saya inginkan. Hebat sekali kerja energi.”

Cetusan itu meluncur jujur dari bibir Ghea Panggabean di beranda Hotel Tugu Blitar sepulangnya ia dari Candi Penataran mengikuti The Lost Temple Dinner pada Sabtu (29/9) malam lalu. Malam sebelumnya (28/9) Ghea menggelar peluncuran tableware “Romantic Peranakan” yang ia buat bersama perusahaan keramik Keramindo Raharja. “Beberapa tahun lalu saya sempat juga meluncurkan produk tableware bermotif jumputan yang saya beri tema Pelangi Palembang. Tahun ini ketika tawaran untuk membuat tableware datang lagi, saya segera saja mengambil Romantic Peranakan, desain tren saya tahun lalu sebagai tema,” kata Ghea dalam konferensi pers yang diadakan beberapa saat sebelum acara peluncuran dimulai. Warna-warna pastel cerah khas budaya peranakan seperti hijau, merah muda, dan kuning diterapkan Ghea dalam koleksi piranti saji terbarunya itu.

Ruang Raja Gula, dan ruang Bangsal Merah Bupati di Hotel Tugu dipilih sebagai tempat menata piranti saji itu dalam dua meja panjang yang dihias serasi.  “Sejak mulai berencana membuat koleksi tableware kedua ini, saya berpikir tempat yang paling tepat untuk meluncurkannya ya di Hotel Tugu Malang ini. Selain atmosfernya sangat peranakan, kota Malang sendiri punya sejarah penting dalam pertumbuhan budaya peranakan di Indonesia,” katanya. Myra Sidharta, psikolog yang juga pakar sejarah Melayu Tionghoa yang juga datang bersama rombongan Yayasan Warna Warni Indonesia mengiyakan ucapan Ghea itu dengan menjelaskan sejarah kaum Babah dan Nonya di kota apel itu. Usai Myra memberikan ulasannya, Ghea menyuguhkan teh dalam mangkuk teh rancangannya pada para pendukung acara tersebut sebagai penanda diluncurkan koleksi piranti sajinya yang bisa didapatkan di butiknya di jalan Subang 12, Menteng serta beberapa deratment store seperti Sogo Plaza Senayan, Alun-alun, D’designers serta Aseana Boutique di Kuala Lumpur, Malaysia.

Tak hanya pameran table setting yang dibuat untuk menandai peluncuran tersebut, Ghea juga menggelar peragaan koleksi busananya yang bertema sama. The Sahara di Hotel Tugu disulap jadi runway yang unik untuk trunk show  puluhan busana rancangan desainer yang selalu setia dengan desain etniknya. “Hal yang paling membuat haru adalah, Pak Anhar sendiri yang turun tangan menata panggung peragaan persis seperti yang saya inginkan. Untuk show kali ini saya memang ingin membuatnya seperti sebuah tonil Cina dan bukan cuma peragaan busana,” kata Ghea.  Maka terjalinlah cerita tentang seorang putri Tionghoa yang tengah bercengkrama dengan sahabat-sahabatnya  di sebuah taman bermandi cahaya purnama. Busana yang terinspirasi dari cerita Oei Hui Lan, putri saudagar gula Oei Tiong Ham diperagakan dengan anggun oleh Manda Panggabean dan beberapa model dari Malang dan Surabaya. Sebuah persembahan indah untuk budaya peranakan di tempat yang tepat. “Saya terberkahi. Semua seperti sudah ditakdirkan untuk menjadi,” dan Ghea tak bisa menutupi keharuannya. (ISA)

Foto: Endah Tjahjanti (Kontributor), ISA

 

Author

DEWI INDONESIA