Kenali Lebih Dekat Creative Director Coach Stuart Vevers
Direktur kreatif Coach, Stuart Vevers, menjadikan sinema Amerika sebagai referensi koleksi spring 2015.
22 Feb 2015


Stuart Vevers, Direktur Kreatif Coach
1 / 11

Film-film David Lynch menjadi salah satu inspirasi Stuart Vevers, Direktur kreatif Coach. Alur yang tidak linear, cerita yang kelam dan tidak bahagia,  dan sosok-sosok yang tragis atau ganjil adalah khas film Lynch yang populer pada dekade 90-an. Stuart Vevers juga terkesan pada film Tony Scott yang dibuat berdasarkan naskah Quentin Tarantino, True Romance (1993). Perempuan bernama Alabama Whitman yang diperankan Patricia Arquette di film tersebut memberinya sejenis inspirasi. Alabama bukan perempuan di ‘zona aman’, Ia harus bekerja untuk menyenangkan pria. Vevers ingin menampikan surealisme Lynch dan pesona Alabama secara spiritual dalam karyanya. Ia mencoba memahami Amerika dari perspektif lain, yang memperlihatkan kegilaan, kenaifan, kegetiran, dan tragedy dari perjuangan hidup manusia untuk meraih kebebasan, bukan Amerika sebagai mimpi indah yang membuai.

Stuart Vevers bekerja sebagai direktur kreatif Coach, label Amerika terkemuka yang memproduksi aksesori dan ready to wear, setelah sempat bergabung sebelumnya dengan Mulberry dan Loewe. Ia menggantikan Reed Krakoff yang telah membentuk citra elegan dan klasik Coach selama 16 tahun. Tentu saja, ia harus memberi kesegaran ala Vevers pada produk-produk Coach, perusahaan yang berdiri 73 tahun lalu dan berawal dari pembuatan dompet berbahan kulit itu, tetapi ia tidak dapat sepenuhnya lepas kendali dan salah satu tantangannya adalah berhadapan dengan konsumen yang telah terbiasa menikmati gaya Coach-Krakoff.

Pada 4 September 2014 lalu, galeri Chelsea di 547 W 27th Street, New York City, ditata dalam warna-warna yang bersenyawa dengan film Lynch. Para model pun memperagakan koleksi Coach untuk Musim Semi 2015. Koleksi kali ini memberi kejutan, jauh menyimpang dari masa Krakoff. Keseluruhan tampilan dari 26 koleksi tadi menunjukkan persilangan antara gaya jalanan yang membuat kita teringat pada gadis-gadis berbusana santai dan sedikit bohemian di jalanan kota New York dengan kemewahan dan keangkuhan para perempuan bermantel bulu. Seperti menyatukan dua kelas sosial. Hasilnya? Karya bercita rasa urban, agak eksentrik, dan memberi peluang pada individualitas.

Jaket dan rok denim A-line, dipadankan dengan blus lengan panjang biru pucat nan feminine dari bahan bulu kambing Angora. Paku-paku kecil menghias jaket dan rok, memberi sentuhan maskulin pada sisi femininnya. Bergaya androgini. Lagi-lagi Vevers menggabung dua sisi yang berbeda. Rumusnya, tiada aturan yang kaku dalam padu-padan ketika kebebasan telah menjadi acuan. Sepatu atau sandal bertumit tebal-datar itu memiliki pernyataan senada: tidak ingin formal. Warna-warna pucat terlihat dominan di setiap rancangan, meliputi biru, hijau, peach, kuningan atau pink.

Sejumlah orang kemudian membandingkan desain Vevers dan Krakoff pasca peluncuran koleksi ini. Ada yang menganggap Coach telah semakin meninggalkan sisi elegan yang menjadi ciri label tersebut serta menyayangkannya. Sebagian lagi menyambut dengan suka-cita dan positif. Namun, perubahan adalah sebuah proses dan jalan panjang. Menjalaninya jauh lebih terhormat ketimbang menjadi epigon. (LINDA CHRISTANTY), Foto: Dok. Coach, Dewi

 

Author

DEWI INDONESIA