Legenda Sangkuriang di Teater Jakarta
Memperingati setegah abad berdirinya, Paduan Suara Mahasiswa Universitas Parhyangan Bandung menggelar Drama Musikal Sangkuriang.
5 Feb 2013


1 / 5
“Tidak mungkin tuan meminang hamba. Tidak mungkin anak mengawini bunda.” Kalimat itu terus diujarkan dengan nada bingung dan panik oleh Dayang Sumbi (Sita Nursanti/Christine Tumbuan) pada putranya Sangkuriang (Farman Purnama/Gabriel Harvianto). Tapi sang putra yang telanjur jatuh cinta pada Ibundanya itu menutup mata dan telinga. Sangkuriang terus merayu Dayang Sumbi agar sudi menerima pinangannya. Dayang Sumbi berusaha menolak dan menggagalkan rencana Sangkuriang dengan memberi syarat membangun telaga dan perahu dalam semalam. Ia alpa kalau putranya punya sekutu siluman hutan yang membantunya mewujudkan permintaannya. Ibu yang malang itu begitu putus asa dan memilih jalan pintas demi menggagalkan keinginan putranya. Dayang Sumbi memasrahkan nyawa pada sebilah kujang, -belati khas daerah Jawa Barat-. Sangkuriang yang sedih dan geram kehilangan pujaan hatinya juga memutuskan menikam diri dengan kujang.

Tragis. Tapi begitulah akhir kisah Drama Musikal Sangkuriang yang dipentaskan oleh Paduan Suara Mahasiswa Universitas Parahyangan (PSM – Unpar) Bandung di Teater Jakarta selama tiga hari (1-3/2) akhir pekan lalu. “Lega karena pementasannya berjalan lancar,” kata Avip Priyatna,  konduktor yang memndu Jakarta Concer Orchestra yang memainkan musik gubahan Dian H.P. “Sebenarnya sejak 2004 kami sudah punya keinginan mementaskan drama musikal ini. Tapi baru sekarang kesampaian,” kata Avip tentang drama musikal yang memakai Libretto gubahan Utuy Tatang Sontani ini. Akhirnya keinginab itu terwujud dan menjadi puncak peringatan 50 tahun PSM Unpar. Rangkaian peringatan itu sendiri menurut Avip telah dimulai sejak 2012 lalu.

Selain komposer dan penyanyi andal seperti Dian HP dan Sita Nursanti, PSM – Unpar juga menggandeng seniman-seniman juga desainer andal untuk menangani tata artsitik panggung serta kostum pertunjukan mereka. Sunaryo mendesain properti panggung dengan minimalis. Putih menjadi warna dominan. Tak banyak detail yang ditampilkan. Pepohonan hutan hadir dalam bentuk yang tak kusut. Begitu pula kostum yang didesain dengan rapi oleh Deden Siswanto. Warna-warna tanah seperti menjelmakan tuanya legenda. Namun paduan properti dan busana itu tak memupus kesan ringkas dan modern terlebih ketika tembakan citra multimedia Yusuf Ismail, seniman video art yang tengah menanjak kariernya beradu pengaruh dengan tata cahaya Iskandar K. Loedin.

“Kami memang sengaja tidak menghadirkan ke-Sunda-an cerita ini secara kental supaya bisa dinikmati oleh audiens yang lebih luas,” Wawan Sofwan, sutradara perunjukan ini mengatakan. Nunasa Parahyangan memang seperti perekat saja dalam pentas Sangkuriang. Tak banyak adegan yang dibungkus tradisi. “Ini juga alasan kami memakai libretto Pak Utuy. Beliau menghilangkan banyak simbol primordial dan gender di dalamnya. Tak ada kasta dalam naskahnya. Bahkan ibu dan anak pun sama-sama menyapa dengan kata tuan dan hamba,” kata Wawan. Ia mengaku amat terbantu oleh libbreto yang ditulis Utuy dengan indah. “Kami, terutama Bu Dian, sangat mudah mendedah naskah ke dalam komposisi musik dan cerita,” ungkap sutradara yang juga seorang penulis ini. Meski tak menemukan citarasa Sunda yang kental dalam cerita, penonton tetap bisa merasakan itu dalam mata rantai pertunjukan yang didukung oleh Djarum Apresiasi Budaya dan Djarum Foundation ini. (ISA), Foto: Tiki Boediono

 

Author

DEWI INDONESIA