Filosofi dibalik Rumah Karya Arsitek Andra Matin di Utara Bandung
Atap sirap dan Jati Belanda yang memberikan rasa nostalgia dan kehangatan bagi pemilik rumah karya arsitek Andra Matin.
20 Feb 2017


1 / 9
Di tangan Andra Matin, bangunan seperti sebuah teka teki. Publik boleh beranggapan sang arsitek ternama tersebut menganut gaya arsitektur modern dengan desain minimalis dan kaya akan permainan cahaya, tetapi sebenarnya tidak serta merta demikian. Dikatakan Andra, setiap ruangan harus memiliki karakter tersendiri sehingga penghuninya tidak akan cepat bosan berada di kediamannya. Hasilnya, kita tidak bisa dengan mudah menerka bagaimana Andra merancang tiap ruang di dalam rumah. Di mana ia bisa menciptakan ruangan yang lebih luas atau sempit, lebih terang atau gelap.  
Filosofi itu terbangun pada salah satu rumah karyanya di kawasan utara Bandung. Kota yang bagi Andra selalu berhasil membawa memori tersendiri. Andra yang menuntaskan pendidikan sarjana arsitektur di kota tersebut memercayai hal itu, “Rasanya tempat ini selalu punya ruang di hati.”
Beberapa tahun lalu, Elly Hutabarat, seorang pegusaha di bidang biro perjalanan datang kepada Andra dan berkata bahwa dirinya ingin membuat hunian di Bandung. Andra menyambutnya dengan suka hati. Terlebih Elly juga memiliki romantisisme tentang Bandung, serupa dengan apa yang ada di benak Andra.
Di tanah seluas 1.200 meter persegi itu, Andra membangun rumah dua lantai yang nyaris tanpa dinding dan tampak melayang di atas tanah. Apabila dilihat dari bagian depan bangunan, eksterior rumah seolah hanya dibentuk oleh sebuah atap sirap. Material atap dibuat dari kayu ulin berwarna cokelat kehitaman yang sanggup bertahan hingga setengah abad. Di sana juga tak terlihat jendela, melainkan hanya jajaran garis tipis yang berfungsi sebagai celah masuk cahaya matahari.
Sepintas lekuk fasad rumah seluas 300an meter ini tampak seperti bangunan futuristik. Tak ada yang menyangka bahwa bangunan ini justru terinspirasi dari rumah zaman Belanda yang ada di kawasan Ciumbuleuit pada akhir tahun 1940an. “Daerah Ciembuleuit sepertinya pernah menjadi tempat tinggal kaum elit Belanda di masa penjajahan. Ketika Indonesia merdeka, kaum birokrat dalam negeri mengambil alih rumah-rumah yang ada di sana. Jenis rumahnya berbeda dengan rumah bergaya kolonial yang ditemui di kawasan Dago Pakar.  Di Ciembuleuit rumah yang ada berkonsep vila. Bangunan terletak persis di tengah lahan hijau yang sangat luas,” tutur Andra yang menghabiskan sebagian besar waktunya di Ciembuleuit semasa tinggal di Bandung.
Tepat di depan fasad bangunan terdapat labirin beton yang berfungsi sebagai akses masuk ke dalam area rumah. Fasad bangunan yang terkesan gelap dan tertutup, serta akses masuk yang  berliku panjang memberi kesan bahwa rumah ini jauh dari kata terang dan lapang.
Kesan itu berubah ketika usai melewati labirin. Lorong yang diapit pohon-pohon tinggi mulai menuntun pada sebuah tangga yang terhubung pada area utama rumah. Ini ialah area terang dan terbuka. Terangnya warna kayu Jati Belanda yang menjadi material lantai dan langit-langit membawa kesan hangat.
Perapian ada di bagian tengah ruangan, menjadi pemisah antara ruang keluarga dan ruang makan. Perapian ini bukan aksesori, melainkan benar berfungsi sebagai penghangat ideal bagi cuaca daerah Dago Pakar yang sesekali terasa cukup dingin. Di hadapannya, terdapat sofa-sofa dan armchair putih yang mengundang untuk diduduki sembari menghangatkan diri. Rumah ini terasa sebagai vila tempat melepas penat. “Vacation house,” tutur Elly kepada Andra mengenai konsep hunian ini di awal pertemuan mereka.
Elly membayangkan kehangatan yang tercipta ketika ia dan kedua anaknya Winfred Hutabarat dan Edwin Hutabarat beserta keluarga dekatnya yakni adik kandung dan cucu-cucu adiknya berkumpul bersama di akhir pekan. Suasana yang cair itu sangat ditunjang dengan interior yang minim sekat dan pemandangan menawan yang membentang sepanjang ruang.
“Mereka yang ingin melihat pemandangan dengan leluasa bisa duduk di ruang keluarga atau berdiri di ujung teras. Jika hanya berdiri di dalam ruangan, pemandangan itu akan terhalang oleh atap yang rendah,” kata Andra. Atap rendah itu berfungsi untuk menghindari cipratan air hujan masuk ke area rumah.
Di ujung ruang lantai dua terdapat tangga menuju area mezzanine. Sekali waktu ruangan ini tampak sebagai ruang keluarga yang menyimpan koleksi buku pemiliknya dalam rak-rak yang mengelilingi ruang. Ketika keluarga tengah berkunjung, ruangan ini berubah menjadi tempat bermain sanak saudara Elly yang masih kanak-kanak.
Pemandangan utama dari ruangan ini bukan lagi lahan hijau dan kota Bandung. Di area ini, struktur utama rumah yang tampak seperti batang pohon menjadi daya tarik visual, mengingatkan pada interior hunian bergaya Skandinavia yang foto-fotonya biasa ditemukan di situs desain ternama. Gaya berbeda yang dihadirkan di lantai dua ini, jelas memberi kejutan manis bagi mereka yang pertama menjejakkan kaki ke sini. “Agar siapapun yang masuk ke dalam rumah, selalu tertarik untuk menjelajahi isi rumah yang memberi kesan berbeda-beda,” tutup Andra Matin. (JAR) Foto: dok. Pesona/Denny Ramon.
 

 

Author

DEWI INDONESIA