Simak Kehangatan Rumah Modern Penuh Karya Seni milik Farah Balkis
Dibangun dengan penuh perhitungan tidak menjadikan rumah ini dingin, berbagai elemen dekorasi dan karya seni justru membuatnya terasa hangat dan begitu menarik.
4 Aug 2017


12 / 17
Ingatan Farah Balkis, seorang lighting designer, masih merekam jelas adegan saat ia memecahkan kaca jendela kamar sang adik. Waktu itu rumah orangtua mereka terbakar. Farah telah menyelamatkan diri tetapi si adik masih tidur di dalam kamar. “Jendela dipasang teralis dan tidak ada balkon tempat ia bisa melompat untuk menghindari api. Satu-satunya jalan ialah menahan napas dan melewati asap serta api yang berkobar di dalam rumah. Untung masih bisa keluar lewat pintu utama,” cerita Farah. Kejadian rumah terbakar bukan hanya sekali dialami. Hal itu cukup meninggalkan rasa trauma.
Setahun belakangan, Farah tinggal bersama suami, Paul Gunawan, di rumah pribadi mereka. Satu pesan penting yang Farah katakan kepada Paul saat membangun rumah ialah perancangan jalur evakuasi di setiap kamar apabila terjadi kebakaran. Area balkon kamar Farah berbentuk segi empat. Jika diibaratkan dalam gambar, tidak ada garis yang menutupi lebar di salah satu sisi. Bila berjalan sampai ke salah satu ujung balkon, yang terlihat lihat ialah taman yang terletak sekitar tiga meter di bawah lantai tempat kaki menapak. “Tinggal lompat kalau terjadi apa-apa. Kami juga menyimpan tangga,” kata Paul. Sementara Farah masih berkata bahwa ia perlu membeli pengait dan ransel berisi tangga darurat.
Kondisi stop kontak bahkan tak luput dari perhatian. “Orang terkadang menganggap sepele daya stop kontak dan daya listrik. Menggunakannya lebih dari kapasitas yang semestinya. Padahal penyebab kebakaran biasanya disebabkan karena korslet,” lanjut Farah.
Perhatian pada detail jadi hal yang terpancar jelas dalam hunian pasangan ini. Setiap benda dipilih secara berhati-hati dan diletakkan dengan perhitungan pasti. Walaupun demikian, tak serta merta membuat rumah terkesan dingin dan sukar untuk dinikmati.    
Ada bilah kayu Jati yang tertancap vertikal. Tegak lurus menembus area basement sampai ke lantai dua. Dari segi fungsi ia nampak seperti penyangga railing tangga. Tetapi jika berdiri di tiap lantai dan menghadap kayu, jajaran Jati  tampil layaknya elemen dekorasi penghangat atmosfer ruang. Pada railing, kayu terlihat lentur. Membentuk garis diagonal yang menyambung di ketiga lantai rumah. “Sulit sekali menemukan bentuk kayu Jati yang lurus sempurna. Kami mendapatkannya di Sragen, Jawa Tengah,” ujar Farah.
            Tersemat pula elemen seni yang tertuang dalam wujud daun pintu yang dibuat oleh seniman Rita Widagdo. “Bahan yang dipilih adalah kayu Nyato (semacam Jati) dengan urat yang lurus dan warna kuning madu. Permukaan pintu diukir sebagai anyaman bentuk-bentuk positif dan negatif, seluruh bidang bergerak namun cukup tenang. Mirip permukaan air bila dua sungai kecil bersatu. Diharapkan para pendatang yang berjalan menuju pintu merasakan suasana ‘welcome' melalui irama pola yang interaktif dan kontinu. Mengalir dengan gembira, merangsang untuk disentuh,” tulis Rita dalam catatan konsep yang diperlihatkan pada kami. Benar yang dikatakannya. Pintu yang tinggi itu membuat pendatang rela berdiri sedikit lebih lama untuk memandang dan menyentuh lekukannya. Setidaknya itu yang dewi lakukan ketika pertama kali bertemu pintu ini.
            Rita ialah ibu Paul. Saat rumah ini dibangun, Farah dan Paul memang punya keinginan untuk memajang karya Rita. Benda yang ditawarkan justru bukan patung, medium keahlian sang seniman. Ia memilih untuk membuat “selimut” bagi fasad bangunan modern ini. Bentuknya seperti motif tenun ikat. “Saya menambahkan screen yang terbuat dari layer-layer kayu dengan maksud supaya rumah tidak tampil sebagai kotak vertikal saja, namun  sanggup memperlihatkan bidang-bidang yang membentuk rumah melalui motif screen yang membawa sifat horizontal dan bergerak naik-turun mengelilingi rumah dari depan ke belakang. Saya harap motif screen bisa menghadirkan kesan hidup dan gembira, dan meningkatkan kekayaan unsur estetika pada rumah ini,” lanjut Rita.
             Dalam benak Farah, estetika arsitektur rumah tinggal tercermin pada fasad modern di Jerman. Khususnya aliran desain yang populer di abad 20, setelah perang dunia kedua yakni modernisme dan Bauhaus. Ia jatuh hati pada Ludwig Mies van der Rohe dan terkesan dengan German Pavilion yang dibangun di Barcelona, Spanyol, dalam rangka International Expo tahun 1929. “Begitu melihat paviliun itu, saya merasa menemukan bentuk rumah ideal,” ujarnya. Untuk rumah ini, ia mengadaptasi beberapa hal dari bangunan tersebut, diantaranya penggunaan kolom besar di pembagian ruang serta fasad yang terkesan ringan. “Salah satu tantangan besar ketika kami hendak memasang marmer sebagai eksterior rumah. Marmer itu dipasang tanpa semen karena semen akan membuat tampilan rumah menjadi “berat”. Marmer dipasang menempel pada besi struktur rumah. Setengah mati mencari orang yang bisa mengerjakan itu dengan rapi. Untung akhirnya kami bisa bertemu sosok itu.”
            Di tengah padatnya jadwal pekerjaan di Litac, lighting and audio consultant tempat Farah dan Paul bernaung, mereka selalu meluangkan waktu untuk berlibur dan menemukan kecintaan baru. Seperti saat datang ke Paris dan tak sengaja melangkah ke Serpette, pasar di akhir pekan. Awalnya Farah ke sana untuk mencari busana dan aksesori lantas ia menemukan area furnitur di mana ia bisa menemukan lagi karya van der Rohe di awal kariernya.
            Serpette menjadi tempat yang sangat menarik untuk dinikmati. Mereka membawa pulang RAR Chair karya Eames. Warnanya memang telah memudar, tetapi hal itu justru menandakan ketangguhan kursi ini. Bubuhan tangan Piet Mondrian dalam karpet bermotif Composition number 1 mengisi ruang bersantai Farah. Boks-boks baja hasil desain Tom Ford, kini menjadi rak televisi rumah tersebut. “Tom Ford mendesain boks untuk display butik YSL di Paris. Ketika butik harus direnovasi, benda  ini akhirnya dijual. Saat melihatnya, saya langsung meminta pekerja bangunan untuk memperluas tembok rumah 15 sentimeter agar benda ini bisa masuk. Boks- boks itu sangat berat. Satu boks saja harus diangkat enam orang.”
            Sebagai seorang lighting designer, Farah terobsesi pada lampu karya Poul Henningsen untuk label Louis Poulsen, PH Artichoke. Lampu berwarna coral saat ini menerangi ruang makan. Persis di atas meja makan kayu yang dilengkapi delapan Louis Ghost Armchair. “Ini ruangan favorit saya.” Sekali waktu ia mengadakan jamuan bersama teman teman. Di atas meja bisa terbentang masakan internasional sampai liwetan.
            Di rumah ini musik selalu berkumandang bila pemiliknya ada di dalamnya. Siang ketika dewi datang, Paul memutar playlist lagu yang populer dan bernada riang. Perjalanan kami di rumah ini menjadi tidak sepi. Ia menunjuk sketsa penari  karya Srihadi sambil menjelaskan keinginan untuk bisa memajang lebih banyak karya seni beberapa maestro lukis dalam negeri. Pikiran Farah masih tertuju pada Le Courbusier Chaise Lounce Chair dan Barcelona Chair karya van der Rohe. “Setiap melihatnya rasanya tak sabar untuk bisa membeli benda tersebut suatu hari nanti,” tutup Farah. (JAR). Foto: LIANDRO N.I. SIRINGORINGO.
 

 

Author

DEWI INDONESIA