Kisah Indahnya Mencintai Perbedaan yang Dikemas Dalam Buku
Kumpulan buku-buku yang mengisahkan tentang adanya perbedaan yang seharusnya kita cintai
26 Apr 2017


1 / 5
Mencintai perbedaan Agama dan budaya manapun tentu saja mengajarkan untuk menyebar kebaikan dan bertoleransi terhadap siapa saja, tak peduli suku, ras, agama, dan warna kulit. Hal ini pula yang diingatkan kembali oleh buku yang berjudul Known And Strange Things (2016) karya novelis berkebangsaan NigerianAmerika, Teju Cole. Buku yang berupa kumpulan essai ini mengulas secara luas mengenai seni, literatur dan politik, namun kental dalam pembahasan mengenai SARA. Ketika di Amerika memanas isu black lives matter, essai-essai Cole terasa sangat relevan dalam membahas mengenai lika liku kehidupan masyarakat berkulit hitam, yang disorot Cole mulai dari Barack Obama hingga Boko Haram. Ada pula kisah fotografer Afrika-Amerika, Roy DeCavara yang ‘dipaksa’ untuk membuat film dengan kalibrasi khusus bagi orang berkulit putih.Dan kisah James Baldwin, warga Swiss yang berkulit hitam dan tinggal di lingkungan yang mayoritas berkulit putih.Buku ini memberikan gambaran jelas dan kerap mengejutkan, mengenai bagaimana masyarakat membahas topik seputar ras dan warna kulit. Berbekal pengalaman dari perjalanannya ke dua negara yang terus menerus konflikyakni Israel dan Palestina, Cole menuangkan pemikirannya dengan halus, sehingga mampu menuntun pembaca untuk memahami berbagai topik sensitifdengan cara yang bijak, mengajak kita untuk lebih terbuka dalam bersikap dan lebih cerdas dalam bertindak.Begitu pula di dalam buku karya Kathryn Stockett yang berjudul The Help (2009),sang penulis mengajarkan banyak hal mengenai perbedaan yang membuat manusia menjadi buta terhadap keindahan dibalik perbedaan. Bercerita mengenai kehidupan para pembantu berkulit hitam yang bekerja untuk keluarga kulit putih, di tahun 1960an di Mississippi, Amerika Serikat yang dinarasikan oleh tiga orang perempuan.Cerita ini rasanya sukses menggambarkan kompleksitas kehidupan manusia.Karena buku ini bukan hanya mengenai ketidakadilan dan mempertahankan hak asasi, tapi juga mengenai kebencian, kekerasan dan ketidakpercayaan yang diredam dengan cinta, keterikatan, dan ketergantungan antar manusia. Dibalut dengan sudut cerita yang apik dan tajam, membuai pembaca untuk ikut tertawahingga akhirnya menangis penuh haru. “What if there is no right way to be brown, besides the brown you are, soil nut clove wheat bark pluto.”Sepotong puisi dari buku kumpulan Vivek Shraya yang diberi judul Even This Page Is White (2016) itu bukanlah puisi penuh cinta kasih. Dengan ‘brutal’, sang penyair menuntut pertanggungjawaban kita sebagai manusia yang menerapkan pengamatan dan anggapan berdasarkan warna kulit dan ras. Ia mengajak pembaca untuk untuk paham mengenai gesekangesekan yang diakibatkan oleh rasisme, dan identitas manusia. Tak hanya karena warna kulit, perbedaan pendapat dan pemikiran pun dapat menjadikan seseorang sanggup menindas manusia lainnya. Pada bukunya yang berjudul Pulang (2013), Leila S. Chudori menceritakan dua peristiwa bersejarah di Indonesia yang saling terhubung, yakni peristiwa September 1965, dan berakhirnya kekuasaan Orde Baru di tahun 1998. Melalui dua peristiwa ini, leila mengupas pergolakan yang terjadi akibat kemarahan publik akan keinginan mereka untuk bersuara dan berpendapat, yang dibungkam secara paksa oleh pemerintah. Para pembaca akan diberikan kejutan-kejutan yang menyesakkan dada lewat pengalaman pedih para tokoh yang dikisahkan. “Dia ditolak oleh pemerintah Indonesia, tetapi dia tidak ditolak oleh negerinya. Dia tidak ditolak oleh tanah airnya.“ adalah salah satu potongan kalimat dari Pulang yang begitu menggetarkan jiwa. Leila S. Chudori memenangkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori prosa pada tahun 2013, lewat karyanya ini. (HS) Foto: Dok. Istimewa
 

 

Author

DEWI INDONESIA