Living Life to the Fullest ala Ben Soebiakto
Dari hobi menggambar, ia membangun jaringan bisnisnya dan menginspirasi generasi muda Indonesia berkiprah di industri kreatif.
13 Mar 2017


Pada 2010, ia mengalami masalah berat. Semua itu berawal dari keinginannya untuk membantu negara. “Saya menerima tawaran mengerjakan sebuah proyek besar dan bertemu sejumlah menteri yang namanya tidak boleh disebutkan di sini,” kisah Ben Soebiakto, Chief Marketing Officer dari Kapanlagi Network. Tanpa berpikir panjang, ia menyetujui tawaran tersebut. Tidak selembar pun dokumen ditandatangani. Saat proyek itu rampung dikerjakannya dan ia meminta pelunasan biaya yang belum dibayarkan, ia malah dituntut menyerahkan uang sebesar Rp 12 milyar dan diancam masuk penjara. Dunianya terguncang.
 
Selama tiga bulan ia tidak dapat memusatkan pikiran terhadap pekerjaan, sehingga memutuskan membayar seorang pengacara untuk membantu menyelesaikan perkara itu. Kepada pengacaranya, ia mengajukan syarat, “Saya tidak mau mendengar kabar apa pun, kecuali saya kalah atau menang.” Dua tahun kemudian, di pagi hari, teleponnya berbunyi.  Sang pengacara memberi sebuah kabar. “Dia bilang, Ben, selamat, kamu menang,” kenangnya.
 
Selama dua tahun proses hukum itu berlangsung, ia juga menyiapkan diri jika kekalahan datang. Ia giat membangun Fimela, majalah digital yang membidik fashion dan gaya hidup. “Sesuai perhitungan saya, andaikata kalah saya sudah cukup uang untuk membayar dendanya. Kalau tidak ada kasus ini, saya tidak akan membangun Fimela,” tuturnya. Pengalaman tersebut memberinya pelajaran berharga dalam berbisnis, “Perjanjian berlandaskan hukum itu harus ada.” 
 
Ia bercerita di  ruang rapat di kantornya yang berada di kawasan Dr Satrio, Jakarta Selatan.  Lanskap kota di bawah sana tampak jelas dari jendela-jendela kaca yang bening, bagaikan sebuah miniatur.
 
Sebelum peristiwa itu hidupnya tak pernah terguncang keras. Setelah peristiwa itu ia lebih matang. Katanya, “Masalah keuangan, masalah hukum, ditinggalkan rekan bisnis dan pegawai adalah bagian dari kehidupan seorang business man.”
 
Karena itu pula, ia senang membaca buku-buku biografi. Ia bercermin pada pengalaman sosok-sosok yang menginspirasinya, mulai dari Steve Job hingga Ciputra, “Steve mengalami kesulitan selama membangun Apple, bahkan dia dikeluarkan dari perusahaannya sendiri. Tapi Apple menjadi seperti hari ini, karena peran dia. Saya dengar usaha Pak Ciputra waktu krisis 1998 juga luar biasa parah. Ternyata ada orang yang mengalami nasib lebih buruk dari saya dan perusahaannya lebih besar dari saya. Pengalaman mereka memberi saya semangat.”
 
Sahabatnya, Dien Tirto Buwono, turut mendukungnya di saat-saat sulit. Dengan Dien, ia dapat berdiskusi tentang apa saja, “Saya cerita soal film, dia tahu. Saya cerita soal seni, dia tahu. Kalau fashion, dia yang mengajari saya malahan.” Melalui Dien, ia  berkenalan dengan para desainer dari dunia fashion dan akhirnya terhubung dengan Dian Muljadi yang menjadi rekan bisnisnya mendirikan dan merintis Fimela, media fashion dan gaya hidup di Indonesia.
 
Ben lahir dalam keluarga dokter di Surabaya dan menjalani kehidupannya hingga SMA di kota itu. Ia anak bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya kini tinggal di Belanda dan berprofesi sebagai dokter gigi.  Ayahnya berpikiran terbuka dan percaya bahwa minat seorang anak tidak dapat didikte. “Sejak kecil saya senang menggambar,” katanya. Di kelas, ketika guru menjelaskan dan rasa bosan datang, ia menyibukkan diri dengan menggambar. Ia pernah tidak naik kelas, tapi orangtuanya tidak marah. Mereka malah menanyakan keinginannya. Ia menjawab, “Desain grafis.” Pengalaman pertamanya di dunia bisnis terjadi saat SMA. Ia diajak bergabung dalam perusahaan yang dirintis kakak kelasnya dan menyalurkan hobi menggambarnya di situ. Setamat SMA, ia pergi ke Jakarta dan kuliah di jurusan desain grafis Universitas Trisakti.
 
Ia ternyata  semakin tertarik berbisnis, selain menekuni dunia kreatif. Akhirnya ia  bertekad membangun industri kreatif.  Konsekuensinya, ia harus belajar dari nol tentang mengelola sebuah perusahaan, menentukan arah dan membangun strategi,  “Dengan membuat perusahaan sendiri,  saya tahu bahwa harus menggaji orang setiap bulan,  harus tahu memberi mereka target kerja yang tidak boleh tinggi dan juga tidak boleh terlalu rendah.”
 
Ben yang menyebut dirinya dulu introvert dan tidak bisa berkonflik harus bertemu dengan berbagai orang serta meyakinkan mereka untuk berbisnis dengannya.  Suatu hari ia menemui Hanung Bramantyo, sutradara Indonesia yang membuat sejumlah film laris, dengan tujuan mengajak bekerja sama. Padahal ia tidak memiliki pengetahuan memadai tentang film maupun bisnis film.  Kepada Hanung, ia mengutarakan keinginannya menjadi investor untuk film cerita yang mengangkat kisah hidup Soekarno, pejuang kemerdekaan dan proklamator kemerdekaan Indonesia. “Saya berterus terang tidak tahu soal film dan ingin belajar bagaimana membuat film,” kenangnya. Hanung memberi solusi.  Ia diajak membuat film yang lebih kecil, supaya bisa belajar. Pada 2013 film Soekarno ditayangkan di bioskop. Sukses, meski tidak luput dari kritik.  Seorang saksi sejarah tidak terima sosok Riwu Ga digambarkan sebagai orang jahat di film itu. Riwu Ga adalah pengawal setia Soekarno.
 
Bagi lelaki ini mencoba hal baru menjadi sebuah tantangan yang memberinya semangat, “Waktu membangun Fimela, saya sama sekali tidak paham seluk-beluk media. Tapi saya punya pengalaman di marketing digital. Saya tahu bagaimana caranya agar orang mau membaca halaman per halaman di internet.”
 
Dalam 5 tahun terakhir ini ia  menyelenggarakan IdeaFest, sebuah acara yang digagasnya untuk menginspirasi anak-anak muda serta mendukung pertumbuhan industri kreatif di Indonesia.  Gagasan tersebut lahir dari rasa terima kasihnya terhadap industri kreatif yang telah memberi banyak untuk dirinya. Ia ingin membalas dengan cara mendukung siapa pun yang berminat menekuni industri ini. Berkat IdeaFest, Ben kemudian bertemu Presiden Joko Widodo untuk bercerita bahwa Indonesia memiliki potensi yang bisa dibanggakan dan membutuhkan dukungan pemerintah melalui regulasi.  “Sekitar 15 tahun lalu, waktu saya masih kuliah, sedikit sekali orang yang percaya bahwa industri kreatif itu industri yang menjanjikan, tapi hari ini terbukti dapat memberikan sumbangan besar terhadap negeri ini, seperti Gojek, Tokopedia, Bukalapak dan sebagainya.”
 
Passion,” katanya, menjawab pertanyaan tentang apa yang membuat ia tetap bertahan di tengah jatuh bangun di dunia usaha. Lima perusahaannya tutup, tapi 18  tetap hidup sampai sekarang.  Ia terus bergerak. Pada 2016 ia lebih banyak mencurahkan waktunya untuk mengelola Kapanlagi Network yang membawahi sejumlah media digital, seperti Merdeka, Fimela, Bolanet dan Kapanlagi. Pada tahun ini ia memilih berkonsentrasi untuk membangun sebuah fashion brand yang baru dan sangat segmented, “Khusus produk muslim. Akan launching mungkin menjelang Lebaran. Rekan saya benar-benar  mengerti syaria banking, hukum syaria, dan halal product. Saya juga menggandeng Jenahara (Nasution) untuk menjadi advisor kami.” Penjualan dilakukan secara online maupun offline store.
 
Keseimbangan adalah hal nomor satu dalam hidupnya. Ia tidak hanya banyak bekerja, tapi juga menikmati banyak perjalanan dan pesta. “Teman dekat saya bilang saya itu living live to the fullest,” katanya.
 
Andaikata karakter manusia dapat disepadankan dengan sebuah kota, maka dia memilih Tokyo mewakili dirinya. “Meskipun kota atau tempat favorit saya ada empat, yaitu Tokyo, Melbourne, Amsterdam dan Bali. Melbourne, Amsterdam dan Bali, laid back-nya kental sekali, sedangkan Tokyo yang paling metropolis. Tiap kota memiliki ciri budaya yang sangat kental dan cukup otentik.”
 
Sejak ia masih kecil, kehidupannya dipengaruhi budaya Jepang.  Menonton Doraemon. Membaca manga. Menyantap makanan Jepang seperti sushi, karage, yakitori.  Jepang dalam benaknya, “Rapi, tertata, well designed…” Pada Tokyo, ia melihat gambaran dirinya, “Di umur saya yang segini masih ada hyper-nya, karena Tokyo is hyperactive.” Setelah ini ia akan bergegas ke pertemuan lain. Kesibukannya padat. (LC) Foto: Dok. Shinta Meliza
 

 

Author

DEWI INDONESIA