Melestarikan Seni Ukir Kamoro
Kal Muller mendukung dan mengembangkan seni rakyat Papua.
19 Feb 2013


Lelaki kulit putih itu bertelanjang dada dan mengenakan semacam rok dari serat kayu. Usianya sekitar 70 tahun. Ia mondar-mandir dari ruang depan ke ruang belakang, tempat patung dan ukiran kayu dipajang di meja-meja dan lantai, memeriksa ini dan itu. Ia kemudian ikut menari bersama lelaki-lelaki suku Kamoro yang berpenampilan serupa dirinya di malam itu, 15 Februari 2013, di ruang tamu Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, sang tuan rumah pameran kesenian Kamoro.

Namanya, Kal Muller, ahli sastra Prancis yang lebih dari 17 tahun mendukung dan mengembangkan seni ukir Kamoro, satu dari sekitar 250 suku di Papua. Muller yang bekerja sebagai konsultan penambangan emas Freeport McMoran di Papua, lalu mulai mempelajari sekelilingnya, termasuk suku Kamoro. Seperti halnya suku di Afrika, Oseania, atau Dayak di Kalimantan, orang-orang Kamoro mempelajari seni ukir yang sederhana tapi memiliki kekuatan spiritual itu secara turun-temurun. Para pengukir atau disebut  maramowe dalam bahasa sukunya ini adalah juga para penari malam itu.

Seni ukir Kamoro nyaris punah di saat Muller datang, karena generasi muda menganggap hal  itu tak cukup mendatangkan uang bagi kehidupan mereka. Dalam jumlah terbatas, patung atau ukiran kayu Kamoro dijual sebagai cinderamata atau disimpan sebagai benda-benda pemujaan. Kal mendorong para pengukir untuk menghidupkan kembali seni khas Kamoro, yang belum dikenal seperti seni ukir Asmat, dan membantu mereka menafkahi keluarga dari hasil penjualannya. Kal pun menyelenggarakan sejumlah pameran di Indonesia. Patung serta ukiran kayu itu juga menunjukkan situasi alam dan kehidupan suku Kamoro, yang menurut Muller, populasinya sekitar 18 ribu jiwa. Binatang-binatang kayu tersebut  terdiri dari ular, buaya, ikan, dan burung, cerminan dari sungai dan hutan, yang akrab dengan mereka. (LC), Foto: Dok. Wamena gallery

 

Author

DEWI INDONESIA