Mengintip Keseruan Dibalik ArtJog 2016 di Yogyakarta
Menatap lebih dekat gelaran kesenian tahunan ArtJog 2016 di Yogyakarta
22 Aug 2016


1 / 7
Mercu Suar Dari Yogyakarta
Di Art Jog, pasar seni niscaya saja datang dengan membawa sederet wacana. Meski nyeleneh, nyatanya ia tetap menarik minat kolektor untuk datang dan berburu koleksi.

Di gelarannya yang kesembilan, Art Jog makin menarik perhatian stakeholder  seni rupa Indonesia dan mancanegara yang terlihat menjadikan ajang yang digagas oleh Heri Pemad itu sebagai acara yang wajib dikunjungi. Sejak awal diadakan, Art Jog telah mendulang polemik karena konsep penyelenggaraan yang berbeda dengan pasar seni lain yang melibatkan galeri dan bukan langsung seniman. Di Art Jog yang tahun ini menggandeng Bank Mandiri sebagai sponsor dan karenanya namanya menjadi Mandiri Art Jog ini, seniman, tanpa melalui galeri bisa berpameran di pasar seni yang langsung mempertemukan mereka dengan para kolektor. Meski cukup kontroversial, nyatanya Art Jog dapat berjalan, bertahan dan menjadi salah satu ajang layak simak. Jumlah penikmat seni dan kolektor yang datang pun meningkat secara signifikan. “Jumlah kolektor yang datang ke  Art Jog tahun ini jauh lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Dari mana saja saya nggak hapal. Tapi jumlahnya jauh lebih banyak dan kebanyakan kolektor luar negeri,” Heri Pemad, penggagas Art Jog mengatakan.

Menurut Heri, animo kolektor terhadap karya-karya yang ditampilkan di Art Jog cukup tinggi. Karya-karya dengan harga tinggi, umumnya justru jadi incaran kolektor asing. “Karya mahal di sini yang beli kebanyakan kolektor asing,” katanya. Menurut pria yang juga mendirikan Heri Pemad Art Management ini, ia selalu yakin, karya yang bagus akan selalu mempunyai pasar. Meski banyak yang beranggapan pasar seni tengah sepi, Heri selalu yakin anggapan itu sebagai sesuatu yang tak pernah terbukti. “Orang bilang pasar sepi, tidak terbukti. Saya selalu bilang, yang sepi itu karya yang bagus bukan pasarnya. Kalau ada karya bagus yang dikemas dalam acara yang bagus juga, itu akan menjawab pertanyaan kenapa pasar sepi. Kalau ada event bagus, berhasil mendatangkan karya-karya bagus, pasar pasti akan ramai. Jadi karya bagus itu selalu ada,” kata Heri di sela-sela Art Jog 2016 yang tahun ini mengambil tema Universal Influence.

Radio Astronomi dan Perburuan Alien
Pada Art Jog 9 tahun ini, untuk pertama kalinya Taman Budaya Yogyakarta (TBY) tak lagi digunakan sebagai lokasi acara. Rencana untuk memindahkan lokasi Art Jog dari TBY ke lokasi yang lebih luas sudah dilontarkan Heri Pemad sejak Art Jog kedelapan pada 2015 lalu usai diselenggarakan. “Dengan jumlah pengunjung yang meningkat sangat signifikan beberapa tahun terakhir, sepertinya Art Jog perlu lokasi yang lebih memadai,’ kata Heri yang saat itu sudah menyebut Jogja National Museum (JNM) sebagai lokasi Art Jog berikutnya. JNM yang juga berada di pusat kota Yogyakarta itu dulunya adalah kampus Institut Seni Rupa Indonesia yang banyak melahirkan seniman-seniman besar Indonesia. Bambang yang dulu berkuliah di situ mengaku memiliki melankoli sendiri tentang pemilihan lokasi ini. “Ada keinginan kami berdua untuk mengembalikan ASRI seperti zaman dulu di mana interaksi seniman berkumpul dan melihat karya itu bisa dikembalikan lagi. Aura seniman nongkrong, dan ngobrol itu memang cocoknya di JNM ini. Lewat Art Jog, aura itu yang ingin dikembalikan. Supaya JNM juga hidup lagi,” kata Bambang.  

Karena bekas kampus, ruang pameran di JNM memang terbilang unik karena berbentuk ruang kelas yang tiap ruangannya terhubung dengan sebuah pintu. “Namanya tempat baru, tentu ada tantangan tersendiri yang harus diatasi, terutama soal layout ruangan yang berupa ruang-ruang dengan luas tertentu karena ruangan ini bekas ruang kelas,” kata Bambang. Kendala tersebut antara lain menurut Bambang adalah pintunya yang kecil dan ruangan-ruangan berukuran tanggung sehinga perlu disiasati secara cermat, terutama tentang luas ruangannya.

“Ruangannya tanggung. Besar sekali tidak, tapi minta kecil sekali juga susah. Maka untuk alur pengunjung, kami sengaja membuatnya dengan logika pengunjung memang datang dari kelas ke kelas,” kata Bambang.
Namun suasana hangat yang ingin dibangun itu memang terasa, dan mulai terlihat ketika acara private preview diadakan beberapa jam sebelum pembukaan. Sejak siang hari, JNM sudah ramai pengunjung yang segera merubung performance art dari seniman Tisna Sanjaya. Di dekat tempat Tisna menggelar karya, sebuah mesin pesawat yang terhubung dengan sebuah pipa putih berukuran gigantis menyala. Baling-balingnya berputar dalam kecepatan sedang, dan mengirimkan angin ke jarak beberapa meter di sekelilingnya. Pipa besar berwarna putih itu rongganya berakhir di depan pintu masuk JNM tempat perhelatan Mandiri ART JOG digelar untuk kemudian pipa raksasa putih itu bersambung lagi di pintu keluar mengantar pengunjung ke bagian belakang JNM di mana sebuah menara setinggi 36 meter di mana pada pucuknya terdapat lampu suar yang cahaya bisa menjangkau radius 10 kilometer dari tempatnya memancar. 

Di bagian bawah menara tersebut, terdapat sebuah ruang kecil tempat karya komisi berjudul Indonesia Space Science Society (ISSS). Karya tersebut dibuat oleh Venzha Christiawan yang sejak 1999 secara tekun melakukan eksplorasi seni media baru. Untuk Art Jog 2016, Venzha yang juga pengagas laboratorium seni media baru yang diberi nama House of Natural Fiber (HONF) di Yogyakarta ini membuat sebuah radio astronomi yang dilengkapi instrument penangkap signal dan frekuensi untuk ‘mengusut’ jejak kehidupan lain di luar bumi manusia. “Karya Venzha ini membuat pengunjung penasaran ingin mendengar frekuensi dari luar angkasa. Memang gelombang ultrasonic adalah gelombang yang tidak bisa didengar telinga kita dengan baik, tapi ini membuat banyak yang ingin tahu,” kata Bambang tentang karya komisi itu. Menurutnya, karya Venzha kali ini berbeda dengan karya-karya lainnya. “Untuk ISSS ini, Venzha tidak lagi hanya membuat prototype, tapi berusaha membuat alat yang dapat mendeteksi kehidupan di luar bumi seperti memindai keberadaan alien dan sebagainya. Ia juga mengumumkan mulainya Indonesia Space Science Society (ISSS) seperti SETI di Amerika,” kata Bambang lagi. ISSS sendiri dibuat Venzha untuk mengangkat isu yang sangat global, yakni sebuah aktivitas besar di balik perkembangan dunia astronomi. Ia ingin mengajak pengunjung Mandiri Art Jog membayangkan berbagai tingkat spekulasi dan hipotesa tentang kemungkinan adanya kehidupan di luar bumi. Lewat ISSS, Venzha yang sejak beberapa tahun terakhir menjalin hubungan baik dengan berbagai lembaga space science di berbagai Negara seperti Amerika dan Korea ini ingin mencoba membuat platform yang akan membuka kesempatan bagi siapa saja untuk berkreasi dan berbagi di bidang astronomi serta space science.   

Angka Tertinggi
Selain karya komisi dari Venzha, karya-karya dari seniman lain dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Jepang, Australia juga Swiss cukup menangguk perhatian. Pengunjung tekun memasuki satu demi satu ruang kelas untuk menyimak 97 karya yang dipamerkan. Seniman yang ikut berpameran dalam Mandiri Art Jog kali ini merupakan undangan yang diajak oleh penyelenggara. “Dulu ada dua macam peserta, aplikasi dan undangan. Kalau yang sekarang semua undangan,” kata Bambang Toko.

Pemilihan seniman, menurutnya dilandaskan pada keberadaan seniman dalam memberi pengaruh pada lingkungannya, di zamannya.  “Untuk pemilihan seniman,  kami melihat, apakah seniman ini memberi pengaruh pada lingkungannya, di zamannya. Misalnya Pak Joko Pekik yang bicara tentang ketidakadilan sosial di era 60-70an, atau misalnya, tahun-tahun setelahnya pada aliran Seni Rupa Baru, ada F.X. Harsono, sampai ke generasi-generasi di bawahnya karena kami ingin range seniman yang ikut dalam Ar Jog kali ini cukup lebar, dari yang tua sampai yang muda,” Bambang menjelaskan. Seniman-seniman muda yang diundang untuk turut serta pun, menurutu Bambang paling tidak memberi pengaruh pada komunitas kecilnya. “Jadi memang perkara yang kami angkat itu tentang pengaruh mempengaruhi. Karena range pengaruhnya luas,  ada yang memang bicara soal sosial politik, ada yang ngomong soal pasar, ada yang ngomong soal kebudayaan, ada yang punya si Mark, tidak secara spesifik bicara tentang sesuatu isu, tapi lebih pada persoalan teknis, tapi dalam prosesnya, tetap ada korelasinya karena kita seperti masuk ke lorong dan kita tidak sadar kalau sedang dipengaruhi. Tita Rubi misalnya. Kapal, samapai sekarang masih tetap jadi wahana pembawa pengaruh,” katanya lagi. 

Bagaimana untuk seniman asing yang ikut dalam Art Jog kali ini? “Saya justru menabrakkan pertanyaan, apakah seniman-seniman asing itu mempengaruhi penonton.  Beberapa tahun terakhir Art Jog mengundang top artist dari luar negeri utnuk memamerkan karya seperti Yoko Ono, Marina Abramovich dan sebagainya. Tahun ini, ada seniman luar tapi nggak ada yang top artist. Jadi yang bertarung adalah karyanya. Ada 10 seniman dari Jepang, Filipina, Malaysia, dan Swiss. Beberapa malah kemudian tidak dibahas. Pengunjung tidak lagi membahas seniman itu berasal dari mana, tapi lebih pada daya tarik visual. Ada juga karya seniman asing yang dilihat pun tidak karena karyanya dianggap tidak menarik,” kata Bambang. Menurutnya, persoalan visual masih menjadi bagian yang paling menarik perhatian.

Di malam pembukaan, Uji “Hahan” Handoko membuat keseruan dengan menggelar lelang karya. Lukisan yang memanjang di dinding itu dilelang dari jumlah satu lot hingga 18 lot dengan harga yang dimulai dari 100 ribu hingga 1,8 juta rupiah. Pengunjung dan kolektor yang datang malam itu memadati ruangan dan sibuk berebut karya di lelang sementara Hahan dibantu beberapa orang sibuk mengukur dan menggunting kanvas yang laku terjual.

Di usianya yang kesembilan, Art Jog memang terasa ingin disajikan secara spesial. Baik Heri dan Bambang seperti sepakat bahwa angka Sembilan yang merupakan angka tertinggi dalam system numeral dasar itu membawakan harapan untuk berbagai pencapaian di masa mendatang. Itu sebabnya, gelaran Art Jog kali ini ditandai dengan mercu suar. Itu seperti sebuah analogi tentang posisi Indonesia yang telah menjadi penting dalam peta seni rupa internasional. Di mana dari Yogyakarta, peristiwa seni rupa seperti Art Jog telah memberi dampak pada kehidupan sosial secara umum sekaligus menjadi kekuatan baru di dunia. Art Jog dengan segala upaya dan konsistensinya seperti ingin menyatakan keinginannya menjadi bagian dari kekuatan yang ikut mewarnai dinamika seni ruma Indonesia, juga dunia. (Indah S. Ariani), Foto: ISA, Dok. ART JOG
 

 

Author

DEWI INDONESIA