Pelukis Arin Dwihartanto Terpesona Resin
Ia bereksperimen dengan medium yang tak lazim dan berisiko.
9 Sep 2013


Pada 2008 itu, Arin baru saja menyelesaikan master seninya di sekolah seni rupa bergengsi, Central Saint Martin’s College of Art and Design di London. Hingga sebelum menemukan resin, Arin yang karya-karya awalnya terasa kental terpengaruh komik dan manga Jepang itu menggunakan cat minyak yang lama sekali kering. “Itu sering sekali mengganggu pikiran saya dan membuat ingin sekali menemukan bahan lain yang bisa memberi solusi. Maka ketika saya tak sengaja menumpahkan resin dan melihat betapa cepat cairan itu mengering, saya segera mencoba mengeksplorasi kemungkinan yang bisa saya buat dari material itu,” kisahnya.

Pameran bersama berjudul Ganti Oli: Contemporary Paintings from Indonesia yang berlangsung nyaris sepanjang bulan Agustus 2008 di galeri Valentine Willie, Singapura, menjadi titik baru dalam perjalanan berkarya Arin. Tiga lukisan berbahan resinnya mendapat perhatian serius di dunia seni rupa. “Sambutan baik itu membuat saya bersemangat mempelajari resin lebih dalam,” ujarnya.

Di London, ia mendapat banyak kemudahan untuk memperoleh informasi tentang resin. Di lain pihak, ketatnya regulasi keselamatan dan kesehatan mengharuskan Arin menerapkan standar kerja paling aman dengan resin. “Yang sesungguhnya material beracun yang bisa sangat berbahaya bagi kesehatan bila proses kerjanya tak dilakukan sesuai prosedur,” katanya.  

Di studio kecilnya yang berada di sebuah distrik seni London, tempat banyak seniman  muda menyewa studio, Arin mencoba mengolah berbagai kemungkinan yang bisa ia buat bersama resin. Sayangnya, informasi dan pengetahuan yang leluasa ia peroleh di sana tak dibarengi kemudahan mendapatkan bahan dan bantuan kerja. “Sejak pindah ke London dan memulai kuliah di Saint Martin’s saya memang seperti kembali ke titik nol baik dari segi pengetahuan mau pun pengalaman kerja. Apa yang saya pelajari di ITB (Institut Teknologi Bandung) seperti dinihilkan dan dipaksa kembali mempelajari seni rupa dunia dari dasarnya. Begitu pula ketika praktik,” kata Arin, yang sempat frustrasi di enam bulan pertamanya di Saint Martin.

Beberapa tahun dari peristiwa itu, Arin menggelar pameran dari satu galeri ke galeri lain di lima benua. Salah satu karyanya dari pameran Frozen|Stratum yang menggunakan debu Merapi sebagai pigmen warna dikoleksi Museum Guggenheim yang kerap dijuluki the temple of the modern art itu.

Ia juga bereaksi terhadap hal-hal yang meresahkan dirinya di dunia seni rupa. “Pernah saya mengeluarkan uang cukup besar untuk membeli karya saya waktu kuliah, di sebuah balai lelang. Bukan tak senang karya saya beredar di lelang, tapi saya kaget dengan harga yang terlalu tinggi yang mereka tawarkan. Menurut saya harga itu tak masuk akal dan bisa berbahaya buat kelangsungan proses kreatif saya,” katanya. (ISA) Pengarah Gaya: Rhino Madewa, Fotografer: Galih Sedayu, Busana: Kaos: Zara, Jaket: Otoko Lokasi: Studio CA3A, Cigadung, Bandung

 

Author

DEWI INDONESIA