Mengenal Kisah Dibalik Ruang Bekerja Conclave
Didesain dengan mengantisipasi kebutuhan pengguna, ruang bekerja Conclave mengeksplorasi material lokal sebagai elemen dekorasi.
17 Jul 2016


1 / 5
“Kami membayangkan conclave, momen pertemuan para kardinal di dunia untuk memilih Paus di sebuah ruang tertutup,” ujar Marshall Utoyo, salah satu pendiri Conclave di pertemuan pertama kami  sekitar satu setengah tahun lalu. Suasana orang-orang berkumpul, bukan unsur keagamaan dari pertemuan itu telah menginspirasi Mashall dan rekannya memberi nama co working space atau ruang kerja komunal ini, yang terletak di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.  

Bersama sang rekan Aditya Hadiputra, Marshall berharap individu yang tengah bekerja di ruang yang sama dapat bertemu untuk berkolaborasi.
“Ketika para pekerja lepas dan pengusaha baru datang kemari, mereka memiliki kesempatan untuk saling berkenalan sampai akhirnya membuat usaha bersama. Esensinya ada di sana,” tutur Aditya, dalam sebuah perbincangan akhir Mei lalu.

Fenomena  ini marak dua tahun terakhir, seiring perkembangan pesat dalam industri kreatif di kawasan Asia Tenggara. Ruang kerja komunal  merupakan solusi bagi individu-individu untuk bekerja dan melakukan aktivitas penunjang pekerjaan mereka, termasuk rapat dengan klien atau calon investor hingga presentasi di depan khalayak. Conclave, salah satunya.

Sadhya Hanindita, sang desainer interior, pandai merancang ruang yang seketika memikat perhatian mereka yang datang. Keramik dengan pola geometris menjadi aksen pada ruangan dengan dinding beton. Lobi dengan langit-langit setinggi sekitar 10 meter dari permukaan tanah itu dikelilingi kaca. Belasan kap lampu yang terbuat dari bambu menggantung di langit-langit tersebut. Bambu yang biasa menjadi material dipan, kini dieksplorasi hingga menjadi elemen dekorasi yang fungsional. Sebelum mulai bekerja, orang-orang kerap berhenti di bawah kap lampu dan menyempatkan diri memotret ruangan untuk diunggah hasilnya ke media sosial.

Beberapa perubahan interior pun terjadi sejak Conclave dibuka.  Kini di lantai dasar terdapat perpustakaan dan tiga ruangan yang  tengah disewa oleh orang-orang yang tengah merintis bisnis atau populer disebut ‘Start Up’. Ruangan yang disewa itu sebelumnya berfungsi sebagai kantor tim pendiri Conclave dan studio foto. “Perubahan ini seiring dengan permintaan yang muncul dari masyarakat. Keinginan membuat studio foto yang bisa digunakan untuk pekerja kreatif dikesampingkan dulu karena adanya permintaan untuk membuka kantor. Ruang kerja operasional juga kami relakan untuk pengusaha yang lebih membutuhkan ruang tersebut,” cerita Aditya.

Ruang kerja komunal terletak di lantai dua. Meja-meja berjajar memenuhi sebagian besar ruangan yang seringkali penuh pengunjung. Suara yang terdengar hanya ketukan jari-jari pada tuts laptop.

Di samping ruang kerja komunal ada auditorium dengan kapasitas maksimum 120 orang. Pemutaran film dan diskusi berlangsung rutin di auditorium tersebut. “Kami membuat program baru untuk merangkul komunitas yang lebih besar. Dua minggu sekali kami mengadakan Cinema Conclave dan Sharing at Conclave,” tutur Egi, Marketing Manager Conclave.  Cinema Conclave ialah sesi pemutaran film independen Indonesia. Diskusi dilakukan setelah film diputar dengan melibatkan sutradara, pemain, ataupun produser film yang ditayangkan. Sharing at Conclave ialah diskusi yang membahas berbagai macam tema dengan pembicara dari kalangan pebisnis pemula atau pengusaha muda yang berkantor di Conclave. Diskusi terbuka untuk umum. “Agar mereka bisa berbagi pengetahuan dengan masyarakat,” lanjut Egi. Di luar agenda rutin ini, auditorium kerap digunakan sebagai tempat rapat internal berbagai perusahaan besar atau mapan, bahkan bertaraf internasional.

Bagi Aditya perkembangan terakhir itu mengejutkan. Ia tak mengira bahwa perusahaan-perusahaan tersebut memilih ruang kerja komunal untuk mengadakan pertemuan dan berkantor.

Pada 2012 Marshall dan Aditya mendirikan Conclave, yang awalnya dipicu kesulitan mereka sebagai mahasiswa dalam mencari tempat ideal untuk mengerjakan tugas kuliah. Kebutuhan individu terhadap ruang bekerja yang nyaman kemudian berkembang sebagai peluang bisnis bagi keduanya.

Setelah berhasil memperoleh investor, mereka melakukan survei mengenai co working space di Singapura, Filipina, Korea, Hong Kong, Jepang, dan Australia. Semula mereka memilih Filipina sebagai tempat memulai bisnis tersebut, mengingat ruang kerja jenis ini sudah cukup dikenal di sana. Tetapi mereka kemudian mengubah keputusan. Berdasarkan hasil riset mereka selanjutnya, Jakarta ternyata lebih menjanjikan. Di kota terbesar dan terpadat di Asia Tenggara ini ternyata banyak perintis bisnis baru yang tentunya membutuhkan ruang bekerja ideal.

Setelah berdiskusi dengan Aditya, Sadhya menemukan konsep desain untuk Conclave. Ia merancang ruangan yang bergaya industrial untuk membangun suasana nyaman serta efisien. Rujukannya adalah kota New York, yang desain ini diaplikasi secara luas. Tata ruang kemudian disesuaikan dengan kebutuhan. Meski perubahan fungsi ruang sudah banyak terjadi, Conclave tidak melakukan renovasi. Desain ruangnya ternyata sejak awal dirancang untuk mengantisipasi perkembangan yang mungkin terjadi.

Aditya hanya punya satu impian, yang perwujudannya akan berdampak signifikan terhadap konstruksi keseluruhan bangunan. Kelak ia ingin menambah auditorium, yang bisa digunakan sebagai ruang kelas. “Agar menginspirasi mereka yang datang untuk melakukan sesuatu atau mencipta sesuatu,” katanya. (JOAN AURELIA) Foto: Liandro N.I. Siringoringo 

 

Author

DEWI INDONESIA