Dea Sulistyo Berkisah tentang Pencarian Makna Hidup di Sedona
Mengikuti langkah kaki dan kata hati, Dea Sulistyo meditasi diri di hamparan perbukitan berbatu Sedona.
18 May 2017


1 / 6
Saya adalah seorang brand marketing communication, bisa juga disebut sebagai fasilitator untuk kebutuhan personal branding, atau self development melalui workshop. Saya memang gemar untuk meng-influence banyak orang, agar dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi hidup mereka.
 
Bisa dikatakan, perjalanan saya menuju Sedona dimulai dari perkenalan dengan Rumah Remedi Indonesia beberapa tahun lalu. Namun tak serta-merta saya langsung ke sana.  Hal ini dimulai ketika saya berada pada titik mengkritisi setiap hal yang terjadi dalam diri saya. Siapa saya sebenarnya? Apakah saya diciptakan hanya untuk hidup di dunia, kerja, lalu wafat?
 
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu lantas terus berulang dalam benak saya. Bahkan untuk hal yang sekiranya tak penting dipertanyakan pun tak luput dari pemikiran saya. Saya percaya ketika kita bertanya dan meminta, maka akan datang jawabannya. Benar saja, datanglah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya melalui lingkungan sekitar. Dimulai ketika saya dikenalkan kepada Mas Heri dan Intan, yang menjadi pengelola Remedi Indonesia, cikal bakal Rumah Remedi. Saya ikut salah satu workshop mereka di 2011, yaitu Basic Awareness - melihat hidup dari segala sisi yang berbeda hingga menjadi utuh.
 
Dulu saya selalu berpikir negatif atas apa yang terjadi dalam diri. Susah sekali rasanya berpikir positif atau mengambil hikmah dari apa yang terjadi. Misal ketika terjebak macet panjang, lalu saya disuruh berpikir positif, supaya macetnya terurai. Mana mungkin, saya pikir begitu. Hal seperti itu rasanya mustahil. Nah, ketika mengikuti pelatihan itu, kami diajari tentang metode melepaskan energi negatif. Caranya bagaimana? Saya sendiri baru tahu kalau caranya macam-macam, salah satunya adalah Sedona Method. Ini cikal bakal keberangkatan saya menuju "tanah suci" para pencari ketenangan.
 
Sedona Method ditemukan oleh Lester Levinston. Ia seorang pengusaha sukses yang kemudian divonis sakit parah dan hanya dapat bertahan beberapa bulan saja. Kemudian ia memutuskan untuk pergi ke Bukit Sedona dan tiga bulan ia berada di sana, Lester dinyatakan sembuh total dari seluruh penyakitnya, berumur panjang, dan sehat.
 
Mendengar cerita mengenai Sedona Method ini saya begitu penasaran. Secanggih itukah Bukit Sedona? Mulai lah saya melakukan penelusuran dan pencarian melalui internet. Dari situ saya tahu kalau Sedona berada di Arizona, Amerika Serikat. Saya semakin bersemangat. Memang saya sudah sering bolak-balik New York untuk urusan pekerjaan dan saya jatuh cinta pada kota tersebut.
 
Namun, butuh waktu hingga 5 tahun sejak mendengar Sedona Method, baru saya bisa benar-benar datang ke tempat itu. Saya merasa, terkadang manusia memang sering sekali memaksakan kehendaknya, padahal belum pas waktunya. Padahal pada waktunya, ketika kita sudah siap, pasti kita akan berada di sana. Jadi saat saya akhirnya pergi ke Sedona pada 2016 kemarin, saya percaya memang itulah waktu yang tepat. Bahkan saya juga percaya akan dipertemukan dengan orang-orang tepat yang akan memuluskan langkah menuju Sedona.
 
Semua berawal saat tanpa sengaja saat membuka website inspirator Abraham Hicks, ternyata mereka akan mengadakan seminar di Atlanta pada akhir Oktober. Abraham Hicks terkenal dengan law of attraction-nya. Saat itu juga saya langsung membatin, jika memang saya harus ke sini, pasti jalannya lebih mudah. Kurang dari satu jam, tiket pesawat, hotel, tiket seminar, semua sudah ter-booking, bahkan harga yang saya dapat tidak begitu menguras kantong. Maka rute perjalanan pun menjadi Atlanta, New York, Phoenix, dan berakhir di Sedona.
 
Perjalanan ke Sedona dari Phoenix ditempuh melalui jalur darat selama dua jam. Saya menyewa satu mobil dengan seorang supir merangkap tour guide yang bernama Alex. Ia seorang mantan penerbang Air Force One.
 
Arizona merupakan wilayah padang rumput dengan tebing-tebing batu, dan Sedona memiliki kekhususan tanahnya yang berwarna merah. Ini dikaitkan dengan adanya sebuah mineral yang terkandung di dalam tanah Sedona yang berfungsi untuk membantu proses pembersihan jiwa. Saya bisa merasakan kalau energi yang ada di Sedona sangat berbeda, peaceful dan calming. Saya tak hentinya mengucap banyak terima kasih kepada Tuhan dan semesta yang telah mendukung perjalanan ini hingga akhirnya berhasil melakukan meditasi di Bukit Sedona. Ada sebuah perasaan bahagia dan utuh sebagai seorang manusia.
 
Alex kemudian menjelaskan pada saya, bahwa di Sedona terdiri dari ragam bukit yang berbeda-beda untuk dijadikan tujuan meditasi. Bahkan dipercaya ada satu batu yang mampu mengabulkan permintaan material, seperti rumah atau mobil! Mendengarnya pasti banyak orang yang tak percaya. Saya sempatkan mampir ke tiga bukit batu, Bellrock – yang tak hentinya membuat saya tertawa bahagia dan tak henti bersyukur, Catedral Rock – tempat saya bermeditasi dan berdoa di sebuah gereja kecil di sini, serta merasakan turun hujan, dan Thunder Mountain – yang dihuni sebuah pohon hias yang dibuat oleh seorang pemeluk Buddha di sepanjang Andante Trail dan diisi dengan berbagai kata-kata penghiburan seperti hope, faith, love, happiness, believe, dan dream. Sungguh indah.
 
Dari perjalanan Sedona ini, selain memperdalam Sedona Method, saya menemukan tentang ego manusia yang selalu ingin memiliki semua hal. Perjalanan ke Sedona kian menyadarkan saya bahwa dengan hidup di dunia, semua sudah sangat melimpah oleh banyak hal, tidak perlu memiliki semuanya.
 
Di hari terakhir, tepat di belakang penginapan (saya menginap di Village of Oak Creek, Arizona) ada sebuah art show. Saya sempatkan untuk melihat ke sana sebentar. Di sebuah toko kristal, salah seorang penjualnya bertanya apakah ada tanda kemerahan di alas kaki saya, dan saya pun serta merta mencari dan menemukan tanda tersebut. Si penjual tersenyum lebar dan berkata “Itu artinya kamu akan kembali lagi ke Sedona.” Saya terperangah, namun dalam hati turut mengiyakan. Selesai melakukan transaksi dan beranjak kembali ke penginapan, si penjual mengucap salam “much love to you!” Saya terharu mendengarnya dan membalas dengan ucapan yang sama, sembari membatin ‘Sedona, saya pasti akan kembali.’ (TA) Foto: Dea Sulistyo
 

 

Author

DEWI INDONESIA