Eksplorasi Mutiara Biru di Utara Afrika
Tak ada yang bisa memastikan mengapa kota ini berwarna biru. Namun keindahan dan kedamaiannya terasa hingga merasuk sukma.
15 Jun 2018


1 / 5
Nama Chefchaouen berasal dari dua kata bahasa Arab, chef yang berarti melihat dan chaouen berarti tanduk. Tanduk yang dimaksud mungkin merupakan analogi Pegunungan Rif yang tampak melindungi kota ini.

Cat biru pada dinding bangunan Chefchaouen membuat kota ini menarik perhatian. Ada banyak teori yang menjelaskan mengapa ini terjadi. Salah satu teori yang paling terkenal adalah warna biru dapat mengusir nyamuk. Ada lagi yang mengatakan kaum Yahudi yang mengecat dinding kota ini biru saat mereka bermukim di sini, ketika berlindung dari serangan Hitler di era 1930-an. Warna biru dikatakan sebagai simbol langit dan nirwana sebagai pengingat cara hidup spiritual.

Sebagai kota wisata, Chefchaouen tidak terlalu ramai jika dibandingkan kota-kota besar di Maroko seperti Marrakesh dan Fes. Saya bisa berjalan kaki menelusuri area kota tua tanpa merasa penuh sesak oleh turis. Berjalan tanpa tujuan membawa saya ke Chefchaouen Medina Square. Di tengah gang-gang sempit, area ini seperti embusan angin segar. 
Kami meneruskan perjalanan ke Plaza Uta el-Hammam, ini adalah area pusat kota, tempat seluruh kegiatan bisnis berpusat. Pintu masuk kota tua Chefchaouen ditandai dengan kasbah (benteng) yang dibiarkan telanjang seperti apa adanya, berwarna kemerahan, tanpa cat biru. Hasil kerajinan tangan yang kaya warna digelar di Plaza Uta el-Hammam; karpet, sepatu, tas, hingga lukisan. Di area ini juga terdapat banyak restoran dengan desain menarik dan menyuguhkan makanan yang terlihat menggiurkan. Salah satu restoran yang kami kunjungi bernama Aladdin. Kami memilih duduk di lantai paling atas dan menikmati pemandangan plaza dari atas.

Dari sana, kami berjalan menelusuri jalan setapak menuju Ras el Maa, sumber utama air di Chefchaouen. Sepanjang jalan, kami menikmati barang dagangan yang dijajakan di pinggir jalan. Meski seluruh kota berwarna biru, saya sangat terpesona dengan berbagai macam warna biru yang mereka gunakanan. Karpet-karpet digantung sepanjang jalan seolah menjadi tirai warna-warni di antara dinding kota yang biru ini.

Saat saya melemparkan pandangan jauh ke atas bukit di luar tembok kota tua, di sana terlihat satu bangunan masjid. Itu adalah Jemaa Bouzafar, begitu saya diceritakan. Ini adalah masjid peninggalan masa penjajahan Spanyol dulu. Saat ini, bangunan tersebut sudah tidak terpakai tetapi tangganya masih dapat dinaiki sehingga pengunjung bisa menikmati pemandangan kota yang biru.

Satu hal yang tak akan saya lupakan di Chefchaouen adalah waktu menikmati matahari terbit dan terbenam. Hampir semua penginapan memiliki rooftop terrace sehingga menikmati sunset bisa dilakukan tanpa harus meninggalkan penginapan. Di satu sore hari, saya dan teman-teman menghabiskan waktu di teras atas. Sambil mengobrol, menikmati teh mint dan camilan khas Chefchaouen, kami menikmati bergantinya warna langit. Perlahan warna biru kota mulai menghilang terganti oleh kerlipan lampu-lampu yang tampak kecil dari atas sini.
 
Teks & Foto: Nofi Triana Firman

Temukan ulasan lengkapnya dalam edisi terbaru majalah Dewi. Unduh majalah Dewi di Google Play Store atau Apps Store. 
 

 

Author

DEWI INDONESIA