Jalan Menantang Dominique Diyose Menapaki Ladakh
Simak perjalanan Dominique Diyose menyusuri medan sulit di Ladakh.
17 Aug 2018


1 / 3
Di tengah perjalanan menuju ketinggian 5.320 meter di atas permukaan laut (mdpl), saya merasa pandangan mulai berkunang-kunang. Teman perjalanan saya terlihat seperti cahaya putih samar-samar, mirip dengan alien. Saya sadar, ini tanda-tandanya sebentar lagi saya akan pingsan karena kekurangan oksigen. Untungnya, suami saya—yang saat itu masih menjadi tunangan saya, Ivan Handoyo, dengan sigap memberi saya minum dan membuka tenda agar saya bisa beristirahat sejenak. Setelah satu jam terlelap, saya pun merasa cukup fit untuk melanjutkan perjalanan sambil terpana dengan pemandangan gunung es Kang Yatse di kejauhan.

Saya, Ivan, dan seorang teman kami sedang berada di Ladakh, India bagian Utara. Kami memilih rute trekking Markha Valley. Jalur ini dimulai dari Spituk di ketinggian 3.200 mdpl hingga mencapai titik tertinggi pada 5.320 mdpl di Kongmaru La. Para pendaki yang memilih jalur ini harus memastikan mereka kuat untuk melaluinya. Walau dianggap rute yang cukup mudah, jalurnya panjang dan melelahkan.

Sebelum memulai perjalanan, kami tinggal di kota Ladakh selama lima hari untuk proses aklimatisasi, sambil mencari pemandu lokal. Kami memang lebih senang mencari pemandu ketika sudah sampai di tujuan dibanding mengaturnya sebelum keberangkatan dari tanah air. Dengan begitu, kami bisa merasa lebih akrab, seperti teman lama.
Kendati telah melakukan aklimatisasi–upaya adaptasi memasuki lingkungan baru yang akan dimasuki, dalam konteks ini ketinggian tertentu, kemungkinan tubuh tidak kuat menghadapi tipisnya oksigen yang tersedia di ketinggian masih tetap ada. Yang tidak boleh diremehkan oleh para pendaki adalah kekurangan oksigen atau hipoksia. Tanda-tandanya pandangan kabur, pernapasan makin cepat atau tersengal-sengal, serta tubuh menjadi lemas. Persis seperti apa yang saya alami.

Di Indonesia, saya lumayan sering naik gunung bersama teman-teman. Yang terakhir saya kunjungi sebelum menuju Ladakh adalah Gunung Raung, Jawa Timur. Namun berada di antara barisan pegunungan Himalaya selalu ada di puncak daftar saya. Rasa sakit yang saya rasakan selama pendakian, rasa dingin yang tak tertahankan, semuanya terbayar dengan pemandangan yang begitu megah.

Perjalanan di jalur Markha Valley berlangsung dengan cara trekking dari desa ke desa. Dalam penggambaran sederhana, jalur ini kira-kira seperti bukit. Perjalanannya akan terus menanjak hingga mencapai puncak tertinggi, kemudian menurun. Karena kemiripan kondisi dengan Nepal, perbandingan kedua tempat ini tak terelakkan.
Saya melihat Ladakh lebih raw jika dibandingkan dengan Nepal. Medannya benar-benar berat. Perjalanan dari satu pos ke pos lain, jauhnya minta ampun. Di sini, yang dikatakan pos adalah desa. Tidak ada penanda resmi yang menyatakan kita sudah sampai di pos tertentu. Di setiap pos di Nepal selalu terdapat restoran kecil dan penginapan. Sementara di Ladakh, kami menginap di rumah warga. Biasanya ada beberapa rumah yang dijadikan home stay. Apa pun yang mereka masak, itulah yang akan menjadi makan malam kami. Pemandu kami yang akan memberitahu rumah mana saja yang bisa kami tinggali untuk malam itu, karena tidak ada penandanya.

Jangan karena mendengar kata penginapan lantas langsung terbayang kamar hotel, karena penginapan di Ladakh sebagian besar adalah kamar yang kosong. Masuk ke kamar, kami mulai membuka sleeping bag untuk tidur.

Perjalanan ini adalah perjalanan penuh tantangan. Untuk menghadapinya, kami perlu daya tahan tubuh dan juga ketabahan hati yang tinggi. Selain menantang fisik karena jarak antarpos yang sangat jauh, rasa bosan pun kerap datang. Bayangkan saja, selama kira-kira 14 hari di perjalanan, yang kami makan itu-itu saja; kentang rebus, telur rebus (jika sedang ada), keju slice, dan biasanya dilengkapi jeruk.

Pepatah mengatakan bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Begitulah perjalanan kami di Ladakh, proses pengembaraan yang sulit ini terbayar ketika melihat alam sekitarnya. Bagaimana mungkin di satu daerah saya bisa melihat pemandangan gunung es di sebelah kanan, dan tanah yang gersang di sebelah kiri. Beberapa lansekap penuh dengan bebatuan, berdebu, lalu beberapa saat kemudian saya menginjak tanah bernuansa plum di bawah langit berwarna biru cerah. Jika merasa haus, tinggal mengambil air di sungai yang jernih dan terasa segar, walau kami tetap membawa alat saring air.

Satu hal yang saya nikmati setiap kali melalukan perjalanan seperti ini, saya akan bertemu orang-orang yang menarik. Ketika sedang duduk di depan danau menikmati perjalanan, kami bertemu dengan Carlos, pria asal Spanyol. Ivan setelah itu menyebutnya bionic man. Dia bercerita ketika kecil jantungnya lemah sehingga ia sering sakit. Di tubuhnya lalu dipasang sebuah alat (entah apa namanya), yang membuat ia tidak mudah capek. Jadi ia bisa trekking dengan cepat sekali. Ketika kami dalam perjalanan menurun dari ketinggian 5.230 mdpl menuju pos berikutnya, Carlos sudah jauh mendahului kami. Karena khawatir, ia kembali ke jalur pendakian untuk mencari kami dan menemani kami ke penginapan. Kami juga bertemu dengan pasangan asal Swedia, yang mengambil rute yang sama dengan kami. Meski tidak punya alat super dalam tubuh mereka, saya tetap kagum. Mereka bukan pasangan muda lagi, boleh dibilang sudah berumur, namun masih sangat kuat untuk melakukan perjalanan.
 

 

 

Author

DEWI INDONESIA