Simak Keseruan Nonita Respati Saat Belibur ke Sri Langka
Cerita Nonita mengunjungi Sri Langka untuk menggali lebih dalam seni membatik kuno di masa lampau.
18 May 2017


1 / 5
Bepergian ke suatu tempat adalah suatu kesenangan, dan saya menyenangi tempat – tempat yang tidak biasa ketimbang destinasi yang sudah lazim dikunjungi. Saya senang bepergian sendiri. Februari 2016 silam, saya pergi ke Sri Langka. Sebelum berangkat, saya mengunduh aplikasi mobile Withlocals di handphone saya. Aplikasi ini menjadi semacam pemandu lokal yang menyiapkan itinerary berdasarkan ketertarikan penggunanya. Ini karena saya ini tipe orang yang kurang menyukai jasa agen travel. Karena kadang saya ingin berlama-lama di suatu tempat, tapi harus beranjak ke lokasi lain mengikuti jadwal.
 
Saya tertarik ke Sri Langka sebab ada industri batik di sana. Meski konon tidak sebesar di Indonesia, saya penasaran ingin tahu seperti apa proses pembuatan batik di sana. Perjalanan kali ini sesuai dan sejalan dengan apa yang saya lakukan dengan Purana, lini busana batik yang saya dirikan sejak tahun 2008.
 
Saya cukup nekat karena tidak satu pun orang di Sri Langka yang saya kenal.  Tiba di sana, tujuan pertama saya mengarah ke Galle, salah satu kota besar dan tua. Sri Langka sebagai negara bekas jajahan Inggris sangat terasa ketika melihat bangunan – bangunan kolonial berjajar rapi di Galle. Penduduk setempatnya pun mahir berbahasa Inggris. Kemudian saya menjelajah daerah batik di Ambalangoda, yang berlokasi di wilayah Galle, daerah bagian Selatan Colombo. Tujuan saya ke Dudley Silva Batik.
 
Di Dudley Silva, mulailah saya mempelajari kesukaan saya sejak dulu, yaitu batik. Di sini saya belajar bagaimana teknik mewarnai ala orang Sri Langka. Saya mengetahui bahwa di sini, wadah untuk menyelupkan kain batik itu sangat rendah-rendah. Kotaknya pun terbilang kecil. Di tanah air, saya pernah ke tempat pengrajin batik di Klaten, sekitar 2,5 jam dari Yogyakarta, mereka biasanya pakai wadah berupa gentong-gentong yang sangat besar. Dan otomatis pewarna yang dipakai pun banyak. Mereka juga mencelupkan seluruh kain masuk ke dalam tempat rendaman warna.
 
Batik Sri Langka dan batik Indonesia sama-sama berkaitan dengan segala sesuatu yang membentuk karakter negaranya. Ada faktor demografi, cuaca, flora, fauna, dan unsur mata pencaharian penduduknya yang tergambar di dalam motif batik. Misalnya ada motif ikan yang diwujudkan karena salah satu mata pencaharian penduduknya adalah nelayan. Di Indonesia kita kenal ada batik mega mendung yang memiliki motif awan berdesain khas Cina seperti yang sering ada di lapisan permukaan gentong-gentong Cina. Ini disebabkan ratusan tahun lalu, pengaruh budaya dari pedagang Cina yang sempat singgah di Cirebon.
 
Motif batik di Sri Langka juga sering bergambar hewan-hewan yang dianggap suci. Sama seperti yang saya lihat di Indonesia. Bedanya, Sri Langka cenderung menerapkan unsur budayanya ke dalam motif batik dengan apa adanya. Kalau di Indonesia tidak. Motif kawung dan hampir semua batik kuno klasik di Indonesia punya simbol-simbol dengan makna filosofi.
 
Saya melihat warna-warna yang dipakai sebagai motif batik di sini cenderung monoton. Antara warna hitam dan putih, atau dicampur dengan biru tua. Jika memakai warna-warna terang, pengrajin batik di Sri Langka menggunakan warna kuning, merah, oranye, putih, dan hitam.
 
Di Indonesia pembuatan batik lazimnya memakai canting. Karena itu, ongkos produksinya relatif mahal. Ketika di Sri Langka, saya cukup terkejut ketika saya hendak belajar proses bikin batik. Ternyata di sini bikin batik itu menggunakan kuas. Alasannya, batik di sini tidak bisa dijual dengan harga mahal. Dan karena sedikitnya jumlah pekerja di workshop batik, bisa jadi mereka berusaha menghemat waktu  Namun yang tercipta adalah kreasi yang berbeda dengan menggunakan kuas. Caranya, kuas dicelupkan ke cairan pewarna. Kemudian dicipratkan ke atas kain. Ciri khas batik Sri Langka, ketika pengerjaannya sengaja dibikin retakan pada motifnya. Sehingga ketika dicelupkan ke warna, warna-warna itu masuk ke celah retakan dan membentuk pola yang menarik. Saya mencoba menerapkan teknik ini untuk koleksi Purana Spring Summer 2017 pada September 2016 silam.
 
Setelah perjalanan ke Dudley Silva, hari berikutnya saya berkelana ke Dambulla Cave Temple. Lokasinya ada di bagian timur Colombo dan sebelah utara Kandy. Konon ini gua paling besar yang terpelihara dengan baik di Sri Langka. Batunya setinggi 160 meter. Yang menarik dari gua ini ada lukisan di langit-langit gua dan stupa yang inspirasinya dari Gautama Buddha dan kehidupannya. Lapisan batunya tampak natural. Lukisan di dalam gua ini pun didominasi warna-warna yang sama pada batik Sri Langka. Merah, kuning, oranye, putih, dan hitam.
 
Setiap perjalanan selalu menyisakan pengalaman spiritual. Saya berpikir saat menyaksikan kokohnya Dambulla Cave Temple. Bagaimana cara mereka hidup? Seperti apa pendidikan yang mereka miliki? Bagaimana cara mereka berinteraksi, dan apa yang mereka sembah? Hal-hal semacam ini selalu menggugah batin. Ketika saya tengah mengagumi lukisan-lukisan di Dambulla Cave, saya tertegun, bagaimana caranya bisa ada lukisan seindah dan sedetail itu di zaman yang belum terjamah listrik?
 
Perjalanan kali ini, saya sempatkan juga mengunjungi Sigiriya Rock Temple yang bikin saya menangis saking kagumnya. Sigiriya ini adalah benteng dan istana batu yang letaknya di distrik Matale, Sri Langka. Dan menjadi salah satu dari tujuh situs warisan dunia UNESCO. Kita perlu menaiki ratusan anak tangga untuk menuju puncak Sigiriya. Ketika sampai di atas gunung, batu raksasa berdiri kokoh di sana. Lelah akibat naik tangga pun seolah-olah hilang entah ke mana. Saya lupa dengan rasa letih ketika mata saya memandang pemandangan yang luar biasa indah. Dari puncak Sigiriya, lanskap gunung, sawah, dan pemandangan kota membuat saya terdiam karena keindahannya.
 
Penutup kunjungan ke Sri Langka, saya datangi museum yang memajang semua perhiasan dan pakaian kerajaan Sri Langka. Segala sesuatu yang menyimpan percikan sejarah masa lalu selalu berhasil menarik hati saya. (RR) Foto: Dok. Nonita Respati
 
 

 

Author

DEWI INDONESIA