3 Label dari Indonesia Mewakili Indonesia di Kompetisi International Woolmark Prize Kawasan Asia Pasifik
Major Minor Maha, Toton Dan Vinora berhasil menarik perhatian para juri di International Woolmark Prize di Hong Kong.
13 Sep 2016



Sejak awal tahun 1950-an, ajang International Woolmark Prize (IWP) telah menjadi salah satu momen mode bergengsi yang menjadi pijakan lahirnya banyak desainer-desainer tersohor. Dari Karl Lagerfeld yang menerima penghargaan kategori mantel di usia 21 tahun, juga Yves Saint Laurent yang menerima penghargaan untuk desain gaun di tahun yang sama kala masih berusia 18 tahun.

Tahun ini, untuk pertama kalinya, Indonesia berpartisipasi dalam ajang International Woolmark Prize, kawasan Asia Pasifik—bersama Jepang, Korea Selatan, Cina, dan Hong Kong. Femina Group pun didaulat untuk mengkurasi sejumlah nama sebagai bakal calon peserta yang nantinya akan dipilih untuk berlaga pada kompetisi tersebut. Label Toton besutan Toton Januar dan Haryo Balitar serta Major Minor Maha bentukan Ari Seputra, Sari Seputra, dan Inneke Margarethe, terpilih untuk bersaing di kategori busana wanita. Sedangkan Vinora Ng lewat label Vinora didaulat untuk berkompetisi dalam kategori busana pria.

“Sebelumnya, kami di-training di Hong Kong untuk mengenal material wol Merino ini dari fiber sampai menjadi kain. Setelah itu kami kembali ke Indonesia, di mana kami harus membuat satu busana,” jelas Ari Seputra dari Major Minor Maha. Pada proses pembuatan busana yang akan dikompetisikan, Ari mengaku menempuh proses panjang karena harus menciptakan kain kreasi sendiri. “Dengan trial and error, kami menjahit benangnya itu sendiri. Semua proses dilakukan dengan menggabungkan pendekatan hand woven yang dilakukan oleh perajin di Garut serta mesin modern di pabrikan di Solo.”

Sama halnya dengan Major Minor Maha, Toton Januar yang bersaing dalam kategori yang sama pun mengungkapkan jika menciptakan kain mereka sendiri dan mengolah materi wol adalah tantangan baru bagi labelnya, Toton. “Kami semua tidak ada yang punya latar belakang tentang wol. Wol adalah suatu fiber yang asing buat kami, sebenarnya. Namun dengan Woolmark mengundang kami ke kantor mereka dan membagi pengetahuan mereka, kami jadi punya bekal cukup. Dan yang paling penting lagi, kami juga diperkenalkan dengan supplier dari Hong Kong dan Cina, tidak hanya untuk ajang IWP, tapi juga untuk ke depannya jika kami ingin membuat koleksi menggunakan wol,” terang Toton yang pada tahun ini memenangkan kategori busana wanita untuk IWP kawasan Asia Pasifik dan akan mengikuti kompetisi tahap akhir menghadapi juara dari negara-negara lain seperti Inggris, Australia, dan Amerika. 

Lewat obrolan dengan dua orang juri, desainer Christopher Raeburn dan desainer Korea Selatan Juun. J, Hidayat Jati selaku Liaison Project IWP-Jakarta Fashion Week, mengungkapkan jika kedua juri tersebut dibuat kagum oleh kepiawaian tiga label perwakilan Indonesia yang subtil dan halus dalam mendesain, namun memiliki visi desain yang jelas, tegas, dan berselera. “Modern tapi asal-muasalnya jelas, tanpa harus terlihat etnik yang berat. Dan untuk technical level-nya, mereka cukup tercengang dengan treatment wolnya,” ungkap Jati Hidayat. Dalam cakupan yang lebih luas, ia mengungkapkan jika keikutsertaan dan kemenangan Indonesia akan membawa dampak tersendiri. “Dampaknya, landasan bagi berbagai pengembangan dan perbaikan. Diuji untuk naik kelas! Dan yang menguji adalah orang-orang serta lembaga internasional. Efek ke bawahnya tak kalah banyak. Pengetahuan baru bagi para perajin lokal kita adalah salah satu dari banyak efek samping positif bagi industri mode kita,” tutupnya.  (RW) Foto: Dok. The Woolmark Company
 

 

Author

DEWI INDONESIA