Feminitas, Mode dan Feminisme
Mengenal lebih dekat korelasi feminitas, mode dan feminisme.
17 Apr 2017


Victorian Costume
2 / 2
Feminitas, mode, dan feminisme. Tiga hal yang sesungguhnya memiliki fondasi sama, yaitu wanita, namun sejarah mencatat jika ketiganya tidak melulu seiya-sekata. Sedikit berbeda dari feminisme, di banyak sub kultur feminitas acap kali dikonotasikan dan punya korelasi pada mode. 

Para ahli filsuf sependapat jika feminitas diterjemahkan sebagai kesadaran wanita akan keberadaan dan sifat-sifat dasar mereka yang dipercaya oleh masyarakat: wanita haruslah lemah lembut, sabar, penuh kebaikan, santun, molek, dan berbagai hal lain yang merupakan kebalikan dari maskulinitas. Berbagai sifat tersebut pun dituangkan lewat ragam medium berbeda, salah satunya adalah cara wanita ‘seharusnya’ berbusana. Dari sinilah, kita kemudian mengenal beragam gaya berbusana yang populer di berbagai belahan dunia. Jika di Eropa demam busana megah dengan petticoat dan korset ala era Victorian Inggris—kemudian beralih ke La Belle Époque di Prancis yang menjadi transisi pada gaya Edwardian yang lantas meluas ke benua Amerika—maka  Asia memiliki kimono, hanbok, atau bahkan lianl? (lotus shoes) yang, percayalah, tak kalah rumitnya dari berbagai kostum sehari-hari wanita Eropa.

Berbagai busana di atas merupakan salah satu bentuk simbol feminitas seorang wanita di masyarakat zaman dahulu. Kesabaran dalam proses berdandan setiap harinya atau keanggunan akibat limitasi gerak, dianggap sebagai identitas atau acuan kelas bagi wanita yang memberi daya tarik bagi para pria—tanpa melihat pendidikan atau wawasan sosial. Sebuah nilai yang sangat berharga di masa tersebut. Tak sedikit bahkan menjadikannya tujuan hidup. Norma sosial yang menuntut seorang wanita menikah di usia tertentu membuat seisi keluarga akan panik jika anak gadis mereka tidak bisa menarik perhatian pria. Ditambah lagi, hierarki wanita dan pria di bidang hukum dan ekonomi yang tak setara membuat sulit bagi wanita untuk memiliki mimpi lain selain menjadi istri yang baik.

Kegusaran tersebut lantas melahirkan keinginan wanita untuk tampil setara dengan para pria di mata hukum, politik, dan ekonomi. Berbagai kritik pada logika tatanan masyarakat yang dianggap pincang dengan membatasi ruang gerak wanita di berbagai lini berbuah sebuah gerakan yang dikenal sebagai gerakan feminis (dimulai di abad ke-18). Walaupun pendapat feminis bersifat pluralistik, namun satu hal yang menyatukan mereka adalah keyakinan bahwa masyarakat serta tatanan hukum dan sosial bersifat patriarki—pria sebagai otoritas utama. Seperti yang diungkapkan Vivian Idris, founder dari Biru Terong Initiative (sebuah lembaga yang fokus pada pelestarian budaya tanah air), “Perjuangan dan gerakan emansipasi ini tidak lahir begitu saja. Setiap gerakan yang terjadi adalah bentuk ‘perlawanan’ terhadap sebuah situasi. Di Indonesia, pada umumnya menganut sistem patriarki di mana segala usaha yang dilakukan oleh kelompok masyarakat didominasi oleh pria karenanya kebijakan yang dihasilkan adalah kebijakan yang berpihak kepada pria. Karena anggota masyarakat terdiri tidak hanya dari pria tapi juga wanita, yang bukan hanya pelengkap penderita tapi mempunyai peran penting dalam terbentuknya sebuah society yang berfungsi dengan baik, maka sudah sewajarnya diciptakan kondisi yang mendukung perempuan dalam menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Jadi saat wanita menginginkan emansipasi, sebenarnya yang dituntut adalah kesetaraan dalam berbagai hal seperti kesempatan, pelayanan, pendidikan, dan hal-hal lain.” 

Di dunia mode sendiri, semangat feminisme dibawa oleh berbagai gagasan mode yang mendobrak norma-norma berbusana pada wanita.  (RW) Foto: Dok. Chanel, Dok. dewi
 

 

Author

DEWI INDONESIA