Identitas dan Pembebasan Melalui Karya Seni
Menikmati Seni Modern dari Chicago ke London.
10 Jan 2017


Jika Anda pernah mengalami kesulitan untuk mengapresiasi kehebatan seorang seniman, sehingga sukar menemukan istilah yang tepat untuk menyebutnya, maka Joyce Pensanto adalah sosok itu. Selama beberapa dekade perempuan ini dijuluki sebagai “pelukisnya para pelukis”.  Ia meraih berbagai ulasan dari para kritikus di berbagai belahan bumi dan itu tergambar dalam sebuah survei museum pada tahun 2013.  Lukisan-lukisannya sangat ekspresif. Semangat pemberontakannya tampak jelas. Guratan catnya kental dan biasanya menampilkan karakter-karakter fiktif dari dunia pop culture seperti Bart Simpson, Mickey Mouse, dan Donald Duck. Untuk pameran di Museum of Contemporary Art Chicago, Pensato membuat sebuah lukisan mural di dinding lobi lantai dua museum ini, yang dinamai Felix and Lincoln, yang penyelesaiannya memakan waktu antara tahun 2012 hingga 2016. Ia telah memamerkan foto-foto studionya sebelum ini,  yang menampilkan cipratan cat dan gambar-gambar serta obyek-obyek inspiratif padadinding dan lantai. Namun, pada mural ini ia memperluas citra fotografi studionya untuk proporsi-proporsi yang monumental.  Muralnya menampilkan dua sosok Abraham Lincoln muda di atas lukisan Felix the Cat, lagi-lagi tokoh fiktif favoritnya.  Karena ditampilkan dalam skala besar, maka percikan cat dan material-material yang tampak berserak atau acak itu menempatkan pengunjung seolah berada dalam studio sang seniman di Brooklyn dan tenggelam dalam energi penciptaannya. Selain itu, sosok Lincoln, sang presiden yang asal Chicago dan pahlawan anti perbudakan tersebut, sangat relevan sebagai pengingat terhadap iklim politik Amerika Serikat sekarang yang menampakkan kembali ketegangan antara aparat dan warga kulit hitam yang berujung pada kekerasan.
Beranjak dari Chicago, kita mampir di Tate Modern di London yang menampilkan karya-karya  Robert Rauschenberg, seniman yang telah mengubah wajah seni  modern Amerika selamanya di paruh kedua abad ke-20 dan pengaruhnya masih terasa serta menginspirasi para seniman hingga hari ini. Pameran restrospektif  Rauschenberg kali ini menandai masa enam dekade ia berkarya hingga kematiannya pada 2008.
Karya-karyanya menampilkan mulai dari boneka kambing hingga apa yang ditemukannya di jalan-jalan kota New York, yang menampakkan kecemerlangan dan keberanian ide, teknik dan kekayaan imajinasinya menggabungkan sesuatu yang ikonik dan sehari-hari atau tak saling berhubungan dalam sebuah komposisi, seperti sosok presiden John F. Kennedy yang berada di sisi 1.000 galon bentonit. Rauschenberg bahkan membuat sebuah lukisan yang dikirim ke bulan.
Namun, di The Frank Museum of Art yang berada di Otterbein University kita akan merasakan atmosfir seni kontemporer yang berbeda dari Asia. Dua seniman Tibet, Tsherin Sherpa dan Tulku Jamyang memamerkan karya-karya mereka di sini pada 25 Januari hingga 22 April 2017 nanti. Pameran yang dikuratori Ariana Maki ini diberi tajuk Between Us: Relationship and Identity in Tibetan Contemporary Art. Figur-figur sakral keagamaan ditampilkan dengan interpretasi kekinian dan bahkan kontroversial, ketika Tulku Jamyang justru menjadikan dirinya sendiri sebagai model sosok Buddha yang telanjang.  Karya-karya mereka mengeksplorasi identitas diri pada pertemuanbudaya antara tradisi dan modernitas.
Bagi mereka yang ingin belajar tentang seni peran untuk menampilkan akting yang realistik di panggung dengan sistem Stanilavski, Komunitas Salihara membuka kembali Kelas Akting Salihara tahun ini.  Peserta kelas dibatasi 20 orang dan akan memperoleh pelatihan intensif serta berkelanjutan dari Iswadi Pratama, seorang sutradara dan direktur artistik Teater Satu, Bandar Lampung. Teater Satu pernah meraih penghargaan Grup Teater Terbaik dari majalah Tempo pada 2008 dan 2012. Pendaftaran dapat dilakukan melalui
[email protected]  dan paling lambat pada 6 Januari 2017. Foto: MCA, Tate Modern, Otterbein University, Komunitas Salihata
 

 

Author

DEWI INDONESIA