Simak Buku Pilihan Editor dewi tentang Suku, Perang, dan Cinta
Inilah empat buku pilihan berkisah tentang pergejolakan perang dan cinta.
10 Jan 2017



Sebastian Junger  telah meliput salah satu medan perang paling melelahkan dan berkepanjangan di dunia, yaitu Afghanistan. Ia menerbitkan buku reportase yang merekam pengalamannya di sana, War (2010). Efek samping pun terjadi. Majalah Time menobatkan buku tersebut sebagai satu dari 10 buku non fiksi pilihan di tahun yang sama. Jauh sebelum ia mendatangi wilayah-wilayah konflik, Junger menulis The Perfect Storm: A True Story of Men Against the Sea (1997), sebuah liputan tentang awak kapal perusahaan penangkapan ikan yang hilang di laut dan misi penyelamatan mereka. Buku ini banyak dipuji.  Sebelum itu ia juga pernah menulis buku reportase mengenai pemerkosaan dan pembunuhan. Selain menjalani pekerjaan jurnalis dan menulis buku, Junger membuat film dokumenter. Restrepo (2010) merupakankaryanya bersama Tim Hetherington. Ia kemudian membuat Korengal (2014) dengan menggunakan rekaman-rekaman gambar Hetherington. Kedua film ini memperoleh pujian serta penghargaan. Namun, Hetherington meninggal tertembak pada tahun 2011 ketika tengah meliput perang di Libya. Junger kehilangan rekan terbaiknya.
Pengalaman langkanya bertemu Ahmad Shah Massoud ditulis Junger untuk Majalah Vanity Fair. Massoud adalah tokoh legendaris dalam perang Afghanistan dan kelak dikenang sebagai pahlawan nasional Afghan. Ia meninggal dunia akibat bom bunuh diri yang diledakkan para pembunuhyang menyamar jadi wartawan untuk mewawancarainya.
Buku Junger, Tribe: On Homecoming and Belonging, terbit tahun lalu. Temanya bergeser dari situasi di zona konflik. Ia mengisahkan masalah-masalah yang dihadapi para veteran perang. Mereka tidak hanya harus mengatasi gangguan stres pasca trauma akibat kenyataan buruk penuh tekanan di zona-zona perang ketika kembali dalam kehidupan sipil, melainkan menghadapi kondisi masyarakat di tempat asalnya yang telah terbelah oleh masalah sosial, kelas sosial, dan rasisme. Padahal di medan tempur, mereka bersatu, saling bantu dan setia satu sama lain, tidak terpecah oleh perbedaan. Saat bertugas mereka justru menjalankan nilai-nilai agung dalam tradisi suku di masa lampau yang telah memudar di dunia modern. Buku ini menggali apa yang dapat kita pelajari dari masyarakat suku tentang kesetiaan, kepemilikan, dan pencarian abadi manusia terhadap makna hidup.
 
Masih sekitar perang, membaca sebuah novel yang belum pernah Anda baca dan tidak harus terbit baru-baru ini saja akan menjadi cara mengetahui bahwa karya sastra sering abadi bagai cinta sejati yang tak pupus meski dua sejoli terpisah oleh situasi yang pelik, jarak maupun waktu yang sangat panjang. Demikian pula cinta Teto dan Atik dalam novel YB. Manguwijaya, Burung-Burung Manyar(1981).  Mereka bertemu saat masih kanak-kanak. Orangtua mereka bersahabat. Ayah Teto seorang letnan KNIL, sedang ayah Atik pegawai dinas Kebun Raya Bogor. Ibu Teto Indo-Belanda, ibu Atik keturunan bangsawan Jawa. Namun, kehidupan mereka berubah drastis ketika tentara pendudukan Jepang datang. Masing-masing keluarga dan individu menjalani situasi yang tak terbayangkan.  Sejak itu Teto dan Atik terpisah.  Seiring waktu, Teto yang telah dewasa menjadi tentara KNIL dan suatu hari ia ikut menyerang Yogyakarta, wilayah Indonesia pasca Perjanjian Renville. Berseberangan dengan Teto, Atik  bekerja untuk Sutan Syahrir di pihak Republik, yang tengah dalam perjalanan dengan ayahnya saat serangan udara terjadi. Ayah Atik pun meninggal dunia. Meski dalam kecamuk perang, sering Teto teringat Atik dan berusaha mencarinya. Tetapi mereka baru bertemu kembali saat Atik sudah menikah dan memiliki dua buah hati. Situasi ini menjadi pelik, karena keduanya masih saling mencintai. Sementara suami Atik, Janakatamsi, mengetahui sejarah keduanya.
 
Berbeda dengan Mangunwijaya yang mengisahkan peristiwa sejarah dari sisi orang-orang biasa, Hendri Tejamengisahkannya dari sudut pandang salah satu pelaku utama sejarah. Ia menulis novel, Tan, yang terinspirasi sosok paling misterius dalam sejarah Indonesia, Tan Malaka.  Lelaki ini lahir dan tumbuh di negeri yang tengah dijajah.  Kesadaran Tan menjadi seorang revolusioner tumbuh ketika ia bersekolah di Negeri Belanda. Di negeri itu ia hidup dengan mengandalkan beasiswa yang terbatas hingga terpaksa menyewa kamar murah dan ternyata mempertemukan dirinya dengan aktivis-aktivis buruh. Sementara itu gerakan kaum buruh di Eropa sedang mengalami pematangan. Di Belanda pula Tan jatuh cinta dan dicintai. Perempuan yang menarik hatinya adalah Fenny van de Snijder, yang tak lain dari kekasih sahabatnya sendiri. Cinta itu berakhir, karena Tan memutuskan kembali ke Hindia Belanda. Ia juga sudah diincar pemerintah Belanda, karena aktivitas politiknya.  Namun, di negeri sendiri ia justru makin terlibat dalam perlawanan terhadap kolonial dengan membangkitkan semangat buruh-buruh perkebunan untuk melawan pengusaha dan penguasa kolonial. Novel ini memadu kemelut politik dan cinta sang tokoh utama, sehingga membuat kita larut dalam alur cerita berliku. Sosok Tan terasa begitu nyata, melalui penyajian detail yang kuat. Dialog-dialognya begitu hidup. Tragedi menjadi penutup kisah. Dalam kenyataan, belum ada yang bisa memastikan bagaimana Tan Malaka meninggal dunia dan di mana ia dimakamkan.
 
Namun, Mahfud Ikhwan tidak mengisahkan masa-masa pergolakan fisik di masa lalu, ia menulis kisah cinta di masa modern yang dibayangi konflik antar aliran, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, dalam novelnya Kambing dan Hujan. Menurut penuturan Mahfud, ia terinspirasi oleh kumpulan cerita pendek Kuntowijoyo Hampir Semua Subversi ketika menulis novel tersebut, yang salah satu cerita mengisahkan konflik antar komunitas santri dan abangan di sebuah desa di Jawa. Kenangan dari pengalaman masa kecil Mahfud di desa kecil yang riuh pun ikut terpanggil kembali,  di tempat  semua harus serba dua, “Masjid dua, sekolah dua, kakus umum dua, tim sepakbola dua, dan tak jarang hari rayanya juga dua. Terletak di salah satu kawasan Pantura Jawa yang didominasi kaum modernis, desa saya adalah sentranya Nahdliyin. Di desa kecil itu terdapat persaingan yang unik, laten, seru, dan seringkali lucu antara mayoritas Nahdliyin yang menggebu dan minoritas Muhammadiyah yang ngeyel dan angkuh.” Cinta sepasang anak manusia bersemi dan memperoleh tantangan di tengah situasi ini. (LC)Foto: Indiewire
 
Buku-buku pilihan:
Tribe – Sebastian Junger
Burung-Burung Manyar –YB Mangunwijaya
Tan –Hendri Teja
Kambing dan Hujan – Mahfud Ikhwan
 

 

Author

DEWI INDONESIA