Simak Deretan Koleksi Busana dengan Inspirasi Busana Wanita Timur Tengah
Sejumlah desainer dunia membuat inovasi dengan inspirasi budaya dan busana ala Timur Tengah.
20 Jun 2017


1 / 3
Dari sebuah tradisi keyakinan menutup diri dari ihwal duniawi, modest fashion kini menjadi industri subur yang digarap banyak label mode. 

Memanasnya situasi politik di Amerika Serikat tahun lalu, dengan jargon-jargon salah satu kandidat presiden kala itu yang sangat kontroversial terhadap isu agama dan ras, mengingatkan kita pada kejadian 9/11 beberapa tahun silam. Sentimen anti Islam merebak. Tekanan dan prasangka pada sebuah golongan radikal, membuat sejumlah orang tergerak untuk mewartakan keimanan mereka lebih lagi kepada dunia. Salah satunya adalah dengan gaya berbusana. Tanpa harus bernegosiasi akan keyakinan tentang cara berbusana yang Islami, wanita Muslim di dunia berinovasi lewat modest wear yang mencerminkan wajah Islamic fashion yang ramah.

Meski begitu, fashion secara umum dinilai belumlah terlalu ‘ramah’ atau membuka pintu mereka kepada modest wear—sedikit berbeda dari yang terjadi sekarang usai berbagai isu politik bernuansa SARA di Amerika.

Merujuk pada arsip historis, anggapan sikap dingin dunia mode terhadap modest wear memang tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, sejumlah desainer besar dunia kerap mendulang inspirasinya dari gaya berbusana wanita timur. Di tahun 1930 misalnya, untuk koleksi bertajuk Circus, couturier Elsa Schiaparelli (bersama Salvador Dali) membuat sebuah gaun dengan kain tudung kepala. Inspirasinya ia ambil dari gaya wanita India dan gaya klasik Arabia yang di masa itu belum familiar di mata dunia. Di tahun 1897, Azzedine Alaïa yang dikenal sebagai pelopor bandage dress, mempresentasikan koleksi yang pula terilhami oleh gaya busana menjuntai panjang, lengkap dengan kerudung kepala. Ide desain serupa juga dihadirkan oleh Yves Saint Laurent yang menggali gaya berbusana wanita Timur Tengah ke dalam koleksi couture musim dingin pada 1989. Di tahun yang sama, Sonia Rykiel melansir koleksi busana tertutup. Meski begitu, tampilan megah dan opulence dari Yves Saint Laurent menyita lebih banyak atensi dari sosialita di Timur Tengah—yang banyak menjadi klien VIP sejumlah couturier seperti Gianni Versace dan Yves Saint Laurent kala itu. Hingga di tahun 1991, Sonia Rykiel kembali mempresentasikan koleksi knitwear serba tertutup dengan menggandeng sejumlah wanita berwajah Timur Tengah untuk berjalan di show-nya. Rykiel lah sosok pertama yang mendulang inspirasi mendesain yang didorong oleh perhatiannya akan isu sosial yang ada di Paris—imigran dari negara-negara Timur Tengah. Pagelaran busana musim panas tersebut pun menjadi salah satu presentasi yang paling dikenang dari sosok mendiang Rykiel hingga kini.
Meski ilham yang mendasari koleksi yang dibuat oleh desainer-desainer di atas lebih dilandaskan pada karakteristik busana sebagai bagian dari kultur budaya—dalam hal ini wanita di Timur Tengah, Semenanjung Balkan, Asia Selatan, dan kawasan Afrika—bukan prinsip atau peran busana sebagai bagian dari cerminan keimanan tertentu. Namun, aksplorasi gaya berbusana yang tak melulu berkiblat ke barat ataupun berpaku pada lekuk tubuh wanita, sedikit-banyak membuka jalan dan meluaskan wawasan para pecinta mode mengenai ihwal busana tertutup ala wanita timur. 
Busana boleh saja tidak memiliki agama tentu. Meski begitu, banyak agama dan kepercayaan yang meyakini jika hal berbusana punya kaitan erat dengan filosofi hidup, value, dan kepercayaan yang hakiki—layaknya yang diaplikasikan oleh wanita Muslim di Cina, Pakistan, hingga Saudi Arabia, wanita Yahudi di Mesir, atau wanita Kristen Ortodoks di Syiria. Semua meyakini, bahwa berbusana adalah bagian dari ibadah dan bentuk keimaman mereka yang tidak bisa dipaksakan atau dicampuri oleh pihak lain.
Kaidah akan sebuah busana yang sesuai dengan prinsip keimaman, tentu punya beberapa fondasi yang tidak bisa ditawar. Pada wanita Muslim, busana yang dianjurkan adalah yang tertutup (bagian kulit, leher, kepala, dada dan area yang berhias misalnya telinga) serta memiliki proporsi longgar yang tidak menonjolkan siluet tubuh pemiliknya. Busana dengan karakteristik tersebut kini lebih dikenal dengan sebutan modest wear—sesuatu yang mengingatkan kita jika esensi dari berbusana sopan-bersahaja nan Islami ialah menarik diri dari sorotan.
Wilayah, budaya, sosial, sejarah, serta demografi, membuat busana Muslim menerima banyak pengaruh berbeda (di masing-masing negara) dan karenanya menjadikan tafsir serta model busana Muslim sangat dinamis—meski tentu dalam satu benang merah, yaitu menutup diri. Pasar wanita Muslim yang subur dan luas, interaksi dunia yang kian mudah dan dekat (teknologi informasi), serta banyak faktor pendukung lainnya; membuat industri mode kini melihat modest wear tidak lagi hanya sekadar pelengkap atau ‘pemanis’ dalam kajian inspirasi koleksi rumah-rumah mode raksasa ataupun label high-street dunia. (RW) Dok: Dewi
 

 

Author

DEWI INDONESIA