Heti Sunaryo, Perias Pengantin Sunda Lebih dari Tiga Dekade
Simak kisah perias pengantin Sunda Heti Sunaryo yang merias pengantin sampai Chicago.


Di jagat perias pengantin Sunda, Heti Sunaryo merupakan salah satu nama yang paling dicari. Sepanjang kariernya sebagi perias selama lebih dari tiga dekade, kliennya tak hanya berada di Bandung, tapi juga kota-kota lain di Indonesia dan mancanegara seperti Melbourne hingga Chicago dan Seattle. Heti yang telah banyak makan asam garam dunia rias pengantin berbagi kejadian unik seputar mengasah kepiawaian dan kesigapannya merias sejak 1983.    

 

Kapan Anda mulai menjadi perias pengantin?

Di awal pernikahan saya tinggal di Bandung dengan suami yang saat itu menjadi dosen muda di ITB. Saat itu saya berguru rias pengantin pada ibu Hj. R. Nannie Rikmasari dan ibu Hj. Dra. Dodos Ariawati Sachrodji. Suatu hari ada keponakan yang menikah dan meminta saya untuk meriasnya. Itu pertama kali saya merias pengantin secara profesional. Banyak tamu yang menghadiri pernikahan keponakan saya memberi komentar yang membesarkan hati. Setelah itu, karier saya sebagai perias pengantin seperti mengalir. Saya melakukan ini sebagai hobbi yang saya senangi, namun selalu berusaha melakukannya secara profesional agar hasilnya maksimal.

 

Dari banyak pengalaman, mana yang meninggalkan kesan mendalam bagi Anda?

Setiap tahun menjelang Ramadhan saya kerap diminta merias calon pengantin nikah masal untuk para duafa dan tuna netra. Bahagia sekali bisa ikut berpartisipasi. Ini penting untuk menjaga keseimbangan lahir dan batin, sebagai ibadah yang bisa saya lakukan. Waktu awal merias pengantin tuna netra, saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka. Selama proses merias pikiran saya berkecamuk, namun setelahnya, rasa haru yang sangat luar biasa. Ternyata mereka mempunyai rasa humor yang tinggi tanpa ada rasa rendah diri. Celetukan mereka lucu-lucu dan up to date seperti anak-anak gaul. Kadang mereka cerita masa ketika mulai pacaran, sampai membayangkan malam pengantin.

 

Pernah bertemu klien yang ‘tidak biasa’?

Suatu kali saya merias pengantin pecinta kucing. Saat sedang merias wajah, tiba-tiba telepon genggamnya berdering, mengabarkan bahwa kucingnya sekarat. Calon pengantin itu berteriak-teriak panik dengan lawan bicaranya, meminta agar memanggil ambulans untuk membawa kucingnya ke tempat pernikahan. Setelah telpon ditutup saya meneruskan merias. Sepuluh menit kemudian, telpon genggamnya berdering lagi dengan kabar kucingnya mati. Calon pengantin itu langsung menangis sejadi-jadinya, membuat saya panik karena waktu pernikahan sudah semakin dekat dan riasan matanya mulai rusak. Meski sedikit gusar, saya berusaha tenang dan membujuknya untuk tenang pula. Saya kembali melanjutkan merias wajahnya sambil terus berdoa dalam hati, dan berusaha mengajaknya berbincang-bincang supaya dia berhenti menangis. Ha…ha…ha…

 

Apa hal yang Anda anggap sebagai kendala bagi seorang perias pengantin?

Bekerja sebagai perias pengantin  biasanya dilakukan pada akhir pekan yang jadi hari keluarga. Ketika anak-anak masih kecil saya sering menolak karena keluarga lebih diutamakan. Tapi sejalan dengan waktu, akhirnya saya menemukan ritme dan kiat untuk mengatasi hal ini. Salah satunya dengan membuat jadwal kegiatan keluarga yang direncanakan setahun kedepan bersama suami dan anak-anak. Beruntung kami semua orang yang lebih mementingkan kualitas ketimbang kuantitas kebersamaan.

 

Ke mana permintaan merias pengantin paling jauh yang pernah Anda terima?

Saya bersama ibu Mimin Mintarsih pernah dipercaya untuk merias pengantin Sunda di Washington, Melbourne, Seatle, Chicago. Pernah suatu saat kami sibuk mencari bunga untuk siraman hingga lupa waktu. Ketika pulang ternyata pintu gerbang Town House yang kami tempati sudah otomatis terkunci, tidak ada orang yang bisa dimintai tolong. Alhasil teman saya naik pagar yang cukup tinggi supaya bisa membuka kunci pagar dari dalam. Banyak waktu yang tersita gara-gara peristiwa tersebut, karena kami berdua masih harus mendekor tempat untuk pengajian dan siraman dengan barang-barang yang kami bawa dari Indonesia. Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan dengan baik walau hanya tidur 2 jam. (Indah Ariani). Foto: Dok. Heti Sunaryo

 

Author

DEWI INDONESIA