Menilik Kediaman Pelukis Bayu Wardhana
Ia menyebut kediamannya sebagai rumah tumbuh. Seperti keluarganya yang tumbuh dari hanya berdua bersama sang istri, hingga genap menjadi 10 dengan kehadiran delapan putra putrinya.
22 May 2018


2 / 7
Bertandang ke kediaman pelukis Bayu Wardhana di Gamping Tengah, Yogyakarta, rasanya seperti berkunjung ke rumah sanak saudara. Kehangatan terpancar dari senyuman Bayu yang setia ditemani istrinya, Juni Wulandari, ketika menyambut kedatangan Dewi.
 
Berdiri di lahan seluas 1.000 meter persegi, Bayu menyebut rumahnya ini sebagai rumah  tumbuh. Awalnya, rumah ini hanya berupa tanah seluas 200 meter persegi. Namun ia sudah membelinya saat masih bujangan, sebelum menikahi Juni. Pembangunannya pun dilakukan secara konsisten kendati bertahap.
 
Bayu memang bukan arsitek namun ia ternyata memiliki cita rasa dalam membangun ruang. Hingga rumahnya kemudian berdiri kokoh. Seiring berjalannya waktu, beberapa tetangga rumahnya menjual lahan mereka sehingga Bayu dan Juni dapat melebarkan kediaman mereka. Karena kesuksesan ini, Bayu pun sering diminta tolong oleh teman-temannya untuk membantu pembangunan kediaman mereka.
 
Memasuki rumah ini, saya disambut oleh area terbuka yang cukup luas. Siang itu, hujan sedang turun membasahi kota Yogyakarta yang biasanya panas. Sambil berlari menghindari rintik hujan, saya memasuki rumah melalui pintu garasi yang dibiarkan terbuka lebar. Setelah melewati delapan anak tangga, Bayu dan Juni menyambut di teras rumah.
 
Rumah ini bukan rumah konvensional. Bergaya sedikit nyentrik, cocok dengan para penghuninya yang kreatif. Bayu dan Juni berbagi rumah ini dengan kedelapan buah hati mereka; Rilloko, Deidra Mesayu, Auraleon Madeira, Meshvara, Mamsvaha, Tsannamerra,
Mauradingga, Maullarore Aurora.

Selain memiliki ‘mata’ untuk merancang rumah, Bayu juga punya ketertarikan tersendiri terhadap barang-barang antik. Mengumpulkannya ia akui tak ubahnya investasi emas, lama-lama harganya menjadi tinggi. Ada gebyok, ranjang, peti, bahkan kayu jati yang masih perawan. Ia mencontohkan peti yang dulu ia beli seharga Rp400.000, kini bisa ditawar dengan harga Rp10 juta. Tetapi, namanya juga seniman, tetap saja ada nilai seni yang ia butuhkan dari benda-benda di sekelilingnya. Seperti kaca patri yang menghiasi pintu kamar mandi. Kaca tersebut dibelinya di Madura.
 
“Saya ingin mengambil bias sinarnya,” begitu ia memberi alasan. Berjalan menuju bagian  belakang rumah terdapat dapur dan area makan yang terbuka. Di sampingnya, terdapat sebuah bidang terbuka. Ada beberapa alat musik di sana. “Kebutuhan saya memang ada area untuk bermusik. Kami bisa memanggil band, bernyanyi bersama,” ujar Bayu.
 
Area ini menghadap taman yang berada di tengah rumah. Bayu memang senang acara kumpul-kumpul, bersama teman-teman, menikmati kambing guling. Rumah ini sengaja dibiarkan terbuka agar angin bisa dengan bebas berkelana. Hal ini juga memungkinkan alunan musik mengembara ke pojok-pojok rumah, menghibur seluruh penghuninya.
 
Total, rumah ini terdiri dari sembilan kamar. Area kamar empat anak perempuannya sengaja ia pisahkan di bagian depan rumah. Sementara area kamar empat anak laki-laki ada di bagian belakang. “Teman-teman anak laki-laki itu bisa pulang jam 2 pagi,” kata Bayu. Walau senang jika rumah ramai, ia tak mau hal itu mengganggu putri-putrinya.
 
(NOFI TRIANA FIRMAN)
Pengarah Visual: Erin Metasari
Foto: Alan Mahirma Lars
 

 

Author

DEWI INDONESIA