Opini: Pahlawan Baru Gede
Di saat mayoritas remaja sedang hepi-hepi berpesta, main TikTok, dan Netflix-an, segelintir anak “piyik” peduli ini lantang bersuara dan beraksi untuk menyembuhkan dunia.
23 Mar 2020




Greta Thunberg (17), Natasha Mwansa (18), Autumn Peltier (15), dan kakak beradik Melati (18) & Isabel Wijsen (16) adalah cewek ABG luar biasa. Di usia yang belum menyentuh kepala dua, mereka dengan passion dan caranya masing-masing berjuang untuk dunia yang lebih “manusiawi” untuk penghuninya. Meski kerap dicibir dan dilecehkan, toh mereka konsisten dengan komitmen menjadi agen perubahan.

Di World Economy Forum Davos 2020 lalu, kelima ABG (anak baru gede) ini dengan percaya diri mengutarakan aspirasi dan mendesak para pemimpin dunia untuk segera bertindak.  Mereka gerah karena politisi dan kepala pemerintahan hanya rajin lip service. Greta tanpa gentar menyuarakan kekecewaan sekaligus mengkritik pedas para penguasa, “Saat ‘rumah’-mu sudah hangat dengan percikan api, kepasifanmulah yang membuat si jago merah lantas mengamuk parah.” Ia mengutuk bahan bakar fosil dan menuntut perusahaan, bank, dan pemerintahan di seluruh pelosok dunia untuk membabat ekonomi berbahan bakar fosil, detik ini juga!

Tak perlu panjang lebar mengulas Greta. Hanya dalam dua bulan sejak viralnya aksi mogok sekolah di hari Jumat agar pemerintah Swedia mengurangi emisi karbon dengan mengacungkan poster sarat pesan lingkungan, 20.000 siswa di 270 kota mengikuti jejaknya. Dengan muka dingin ia berseru tegas “How dare you!” di September 2019, yang tak hanya menggetarkan gedung PBB dan ‘menampar’ 60 pemimpin negara. Perempuan muda pengidam sindrom Asperger ini pun sukses mengguncang dunia dengan Greta Effect-nya. Sederet apresiasi dan penghargaan pun diterima ABG yang menolak untuk bepergian dengan pesawat dan rela berlama-lama menumpang kapal laut ini, karena menurutnya, emisi karbon pesawat merusak lingkungan. Dari Person of the Year 2019 majalah TIME termuda dalam sejarah, pemenang Right Livelihood Award 2019 (yang dikenal sebagai Hadiah Nobel Alternatif) sampai penghargaan Duta Nurani dari Amnesty International, dan masih banyak lagi.

Isu lingkungan juga menjadi perhatian ABG tangguh asal Wiikwemkoong Unceded Territory di Manitoulin Island, Kanada, Autumn Peltier, yang populer dengan predikat “Water Warrior”.  Terinspirasi sehingga mengikuti jejak dan nama besar tantenya, Josephine Mandamine, si pejuang air bersih yang berjalan 17.000 km di sekitar Great Lakes karena dengan sungai dan danau yang tercemar. Telah digembleng oleh si tante, Autumn memulai advokasinya di usia delapan tahun. Ia tersentak saat membaca tulisan di sebuah kamar mandi “jangan minum dan menyentuh air, kecuali direbus terlebih dahulu.” Ternyata di negara maju sekelas Kanada, banyak penduduk kesulitan akses air bersih.

Populer dengan kutipan, “Kita tidak bisa memakan uang atau meminum minyak,” Autumn menjadi headline ketika di usia 13 tahun diundang untuk memberikan buah tangan kepada Perdana Menteri Justin Trudeau, justru ia memanfaatkan kesempatan itu untuk mengkonfrontasi dan menyuarakan kekecewaannya. “Saya benar-benar patah hati dengan pilihan Anda mendukung projek pipeline kontroversial. Anda pun belum berhasil memberi pasokan air bersih.” Sungguh berani!

Lain dengan Natasha Mwansa, seorang jurnalis remaja/aktivis kesehatan dan kesejahteraan anak asal Zambia. Keenceran otak, kemahiran berdebat, dan  passion-nya terhadap dunia jurnalistik, kesehatan, hak perempuan, dan kesejahteraan anak-anak membuat ia—di usia belia 14 tahun—didaulat menjadi duta muda PBB untuk United Nations Populations Fund (UNFPA). Kelihaiannya mengadvokasi kesehatan, dibuktikannya dengan menjadi penerima termuda World Health Organization’s Global Health Leaders Award. Ia juga aktif menggaungkan penyebaran informasi HIV dan AIDS dan sangat vokal menentang pernikahan bawah umur.

 

Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau dan Presiden Kenya, Uhuru Kenyatta dibuatnya terkesima sampai memberikan standing ovation di Women Deliver Conference, yang membahas tentang kesetaraan gender di Vancouver, Canada. Baik di Vancouver maupun Davos, ia menggarisbawahi pentingnya kolaborasi dengan generasi Z di tampuk pemerintahan. “Kami menguasai permasalahan dan memiliki solusi. Karena itu kami perlu dimasukkan dalam pembuatan aturan maupun keputusan, apalagi energi kami lebih besar,“ tuturnya lugas

Sedari tadi adalah anak-anak bule ya, apakah tidak ada representasi dari Asia atau Indonesia? Walau nama belakangnya asing, tetapi Melati jelas adalah nama Indonesia. Ya, pasti Anda ingat dua ABG asal Bali yang mengharumkan bangsa dengan kiprah mereka yang konsisten berperang dengan sampah plastik sejak 2013. Melati dan Isabel Wijsen, kakak beradik dengan organisasi Bye Bye Plastic Bags (BBPB) gigih berorasi dan melakukan workshop ke 16.000 siswa di 12 negara, untuk membangun awareness dan melakukan edukasi. Tak hanya bicara, mereka juga rutin melakukan tindakan nyata seperti menginisiasi beach clean-ups. Salah satu achievement mereka, berhasil menghimpun 12 ribu relawan dari 55 lokasi dan mengumpulkan 43 ton sampah di seluruh pantai pulau Dewata dalam sehari di acara bertajuk One Island One Voice.

Fantastisnya, dua ABG ini lewat proses pelik dan perjuangan panjang, mampu menjadi changemaker. Mereka berhasil melobi pemerintah daerah Bali dan membuahkan MOU pembatasan kantong plastik di 2018. Karena komitmen dan campur tangan duo yang berhasil memukau para petinggi PBB di New York saat melakukan orasi cemerlang di UN General Hall. Sejak 2019, Bali resmi mengeluarkan peraturan daerah pelarangan penggunaan kantong plastik sekali pakai, sedotan plastik dan styrofoam. Mengagumkan! Tak heran, bejibun penghargaan prestisius sudah Melati dan Isabel raih, dari CNN Heroes Young Wonders Award 2018 sampai Bambi Award dari Jerman.

Ingin seperti mereka atau mendidik anak agar bisa seperti mereka? Tidak telat dan tidak mustahil. Para pahlawan muda ini sedari kecil sudah dipaparkan pada keindahan lingkungan dan harapan untuk kehidupan yang ideal. Sehingga saat menyadari alam asri yang mendampingi masa kecilnya terusik atau terjadinya ketidakadilan, mereka langsung lantang bersuara. Mereka juga diajarkan berpikiran kritis dan mencari solusi. Perkenalkanlah anak-anak pada keindahan alam beserta isinya sedini mungkin, libatkan dalam diskusi tentang keadaan dunia saat ini, dan ingatkan bahwa peran mereka untuk melakukan perubahan itu sangat besar—seperti kelima kakak-kakaknya ini.
 
Joy Roesma & Nadia Mulya
Foto: Daria Shevtsova/Pexels (yg white green)
Markus Spiske/Unsplash
Goran Horvat/Pixabay (school strike)



 

 

 


Topic

Culture

Author

DEWI INDONESIA