Cerita Sejauh Mata Memandang dan fbudi Mendaur Mode
Istilah “sustainable fashion” menjadi frase yang terdengar begitu oksimoron. Bagaimana sesuatu yang begitu eksesif mendapuk dirinya bisa berkesinambungan dengan lingkungan dan hajat hidup manusia? Apakah mungkin? Bagaimana manifestasinya? Bukankah ide ten
12 Jun 2020


Saya pikir, liputan ini akan berakhir sebagai pepesan kosong. Alias mbulet, membicarakan masalah tanpa perspektif baru. Pikiran ini didasari dari bagaimana term “sustainable fashion” adalah sebuah oksimoron. Ide akan fashion yang kita kenal hingga hari ini adalah ide tentang ekses. Contoh, kita memang butuh pakaian. Itu adalah satu dari tiga kebutuhan pokok kita sebagai manusia. Tapi kita tak butuh pakaian dengan aksen frill atau sentuhan ruffle yang mengaksentuasi siluet feminin perempuan modern seharga jutaan, apalagi hingga puluhan juta rupiah. You get the idea. Dan ya, kami pun menjadi salah satu bagian dari masalah ini.

Apalagi ide tentang “sustainability” kemudian digunakan sedemikian rupa hingga akhirnya kehilangan maknanya. Salah satu desainer yang telah lama vokal berseru tentang sustainable fashion, Stella McCartney pun mengakui kata yang satu itu kini sudah terlalu sering digunakan. “Tiba-tiba istilah itu ada di mana-mana dan orang-orang tak lagi benar-benar memahami apa maknanya,” katanya dalam salah satu seri webinar Vogue Global Conversation.

Persoalan kompleks tentang keberlangsungan hajat hidup masyarakat ini memang telah direduksi menjadi slogan pemasaran. Konsep besarnya lantas jadi tak lebih dari cantolan label yang membuat banyak dari kita merasa lebih baik karena telah “berkontribusi” untuk “menyelamatkan planet”. Pengamat kebijakan publik dan ekonom lingkungan, Andhyta F. Utami menjelaskan pada akhirnya kesadaran akan sustainability di kalangan kelas menengah baru sampai pada tahap afirmasi atau validasi status dan sosial. Itu mengapa kemudian fokus diskursus tentang konsep keberlangsungan hajat hidup di kalangan kelas menengah, khususnya di dunia mode, menyempit pada perihal lingkungan.

Padahal ada elemen-elemen lain yang juga perlu ditilik ketika kita benar-benar ingin mewujudkan dunia mode yang berjalan seiring sejalan dengan keberlangsungan hajat hidup orang banyak. Felicia Budi, desainer di balik brand fbudi misalnya menjelaskan baginya ada sustainable fashion tidak hanya mengurusi perihal ekologi, tetapi juga sisi sosial dan ekonomi. “Selain tiga poin itu, masih ada hal lain yang perlu dipikirkan, yaitu perihal kebudayaan dan hak kekayaan intelektual,” jelas Felicia kepada Dewi di butik sekaligus workshop-nya awal tahun ini.


 

Bagi Felicia, urusan sustainable fashion memang tidak hanya mencakup apa-apa yang terlihat, tetapi juga elemen-elemen yang tidak kasat mata. Sebabnya karena justru hal yang intangible ini yang nantinya akan mewujud dalam karya-karya mereka. Jangan sampai dalam merancang karya, seorang desainer mencuri kebudayaan atau kekayaan intelektual desainer lain. Pun jangan sampai tujuan besar mencapai mode yang terus berkesinambungan, justru membatasi ekspresi diri atau malah membuat mereka burn out. “Apa gunanya kita mencapai keseimbangan secara ekonomi, ekologi, dan sosial, tetapi desainernya burn out. Itu pada akhirnya tidak sustainable juga,” kata Felicia pasti.

Desainer di mata Felicia memang punya peran kunci dalam mewujudkan industri mode yang bisa terus berkesinambungan. “Kita juga harus mikirin, gimana pengolahan post-consumer.” Argumen Felicia didasarkan pada salah satu masalah terbesar dari industri mode adalah perihal limbah. Mulai dari limbah yang dihasilkan selama proses produksi, hingga limbah dari pakaian yang sudah tak lagi terpakai.

 


Topic

Fashion

Author

DEWI INDONESIA