Wawancara Eksklusif Dewi dengan Tim Japan Fashion Week Organization
Simak cerita para ahli di bidang mode ini tentang kiprah di balik layar peragaan busana hingga potensi desainer Indonesia di Jepang.
5 Nov 2018


(ki-ka): Chiemi Kominato, Shigetaka Kaneko, Akiko Shinoda
1 / 3
Kerja sama antara Jakarta Fashion Week (JFW) dengan Amazon Fashion Week Tokyo semakin terjalin erat. Tahun ini, JFW kedatangan anggota komite Japan Fashion Week Organization yaitu Akiko Shinoda (Director of International Affairs Japan Fashion Week Organization), Shigetaka Kaneko (Fashion Show Producer dan Director of Shige Kaneko Office), dan Chiemi Kominato (Editor in Chief fashionsnap.com) untuk berbagi pengetahuan. Dewi berbincang dengan mereka untuk mengupas pengalaman di balik layar peragaan mode terbesar di Jepang tersebut.
 
Japan Fashion Week dikenal lebih berfokus kepada desainer muda daripada desainer yang sudah mapan dan “besar”. Apakah itu memang sudah menjadi arahannya sejak awal?

Akiko Shinoda: Sebelum adanya Japan Fashion Week Organization, pekan mode diselenggarakan oleh pada desainer, dengan lokasi yang mereka pilih sendiri. Namun hal tersebut tentu memakan sumber daya besar, serta waktu yang panjang. Sehingga kami memutuskan untuk memberikan sebuah wadah, sehingga dapat diakses pula oleh desainer baru.

Adalah sebuah kepuasan tersendiri bagi kami ketika dapat menemukan talenta baru untuk menstimulasi industri mode. Apalagi setelah pekan mode besar seperti Paris dan Milan, agar tetap segar dan berbeda, kami pikir lebih baik mengarahkan fokus pada desainer muda Jepang. Kami juga ingin menjadikan Jepang sebagai pusat tekstil dan material sehingga merupakan lingkungan yang kondusif untuk program inkubasi desainer muda.
 
 Boleh dijelaskan lebih lanjut mengenai program inkubasi desainer muda yang Anda lakukan?
Akiko Shinoda: Ada beberapa program berbeda dari komite. Salah satunya kami menyeleksi beberapa desainer muda terpilih dan memberikan mereka kesempatan untuk menunjukkan karya secara gratis. Kami juga mempunyai proyek yang bekerja sama dengan pemerintah, misalnya Pemerintah Kota Tokyo atau Cool Japan Program yang merupakan  program industri kreatif dari Pemerintah Jepang. Ada juga program di mana kami mengirim enam label untuk menampilkan koleksi mereka di showroom di Paris.
 
Apa tantangan terbesar dalam menyelenggarakan sebuah pekan mode di Jepang?

Akiko Shinoda: Yang pertama adalah pembiayaan. Butuh waktu lama untuk meyakinkan pemerintah agar mau berinvestasi di dunia mode. Sekarang ini, pemerintah Jepang sudah lebih terlibat dalam Japan Fashion Week, walau lebih bersifat per proyek. Padahal untuk memajukan industri mode, tentu butuh dukungan penuh dari sisi pemerintah. Kami berharap ke depannya bentuk keterlibatannya bisa lebih besar.
Sering juga terjadi argumen tentang waktu penyelenggaraan, yaitu pertengahan Maret dan pertengahan Oktober. Beberapa menganggapnya cukup terlambat untuk para buyer. Namun memang tak terlalu banyak sisa rentang waktu setelah pekan mode London, Paris, atau Milan, sehingga kami tak memiliki banyak pilihan.
 
Beberapa desainer Indonesia sempat menampilkan karyanya di Japan Fashion Week. Bagaimana reaksi terhadap para desainer Indonesia sejauh ini?

Chiemi Kominato: Show para desainer Indonesia menjadi sesuatu yang segar, karena orang Jepang masih belum terlalu banyak yang mengetahui cara berpakaian dan cara hidup orang Indonesia secara spesifik. Ada rasa penasaran besar untuk mengetahui lebih dalam tentang Indonesia. Modestwear, misalnya, adalah salah satu yang masih cukup baru dan asing bagi orang Jepang.
 
Apa yang perlu dilakukan desainer Indonesia jika ingin menembus pasar Jepang?

Chiemi Kominato: Desainer perlu memahami identitas, kultur, dan cara hidup orang di Jepang. Pasar Jepang juga sangat memperhatikan detail, seperti sensibilitas detail, teknik detail, hal-hal yang menonjolkan ketepatan dan keahlian. Selain itu, brand harus tetap mengekspresikan identitas negaranya pada produknya.

Akiko Shinoda: Masih perlu lebih banyak informasi mengenai dunia mode Indonesia untuk para buyer maupun konsumen. Orang Jepang cenderung hanya mengetahui satu sisi dari Indonesia saja. Selain dari desainer, Jakarta Fashion Week juga masih bisa meningkatkan eksposur.
 
Adakah hal tertentu yang harus lebih ditonjolkan?

Shigetaka Kaneko: Masyarakat Jepang masih belum familiar dengan brand spesifik, sehingga masing-masing harus lebih bisa menonjolkan signature of the brand. Setiap brand harus memiliki satu area terkuat yang difokuskan sehingga ciri khasnya lebih kuat. Misalnya menggunakan teknik tradisional tapi dengan kain modern dan desain modern. Itu salah satu contohnya. Menggunakan teknik yang sudah ada namun tetap mampu menciptakan sesuatu yang baru. Penting untuk tidak pernah berhenti belajar dan terus mempunyai kemauan untuk mencari sesuatu yang baru. (SA) Foto: Dok. JFW
 
 

 

Author

DEWI INDONESIA