Jerome Kurnia: Unfiltered
Berangkat dari seni film Jerome Kurnia membaca diri mereka di dunia maya dan mencipta sela antara maya dan nyata
22 Oct 2020




"Film pertama saya itu Bumi Manusia, tapi yang tayang duluan Dilan 1991,” jelasnya. Keduanya adalah film Indonesia terbesar yang rilis tahun lalu. Perjalanan karier Jerome memang tidak mengenal istilah tes ombak. Produksi-produksi besar menjadi tempatnya menjajal kemampuan. Padahal, ia tak pernah benar-benar berencana menjadi seorang aktor. Seklise apapun kedengarannya, garis nasib berkata lain. Judul-judul box office Indonesia sudah masuk dalam daftar filmografinya.

Dari dua proyek itu pula laki-laki berdarah Jerman ini secara tak sengaja menemukan passion-nya. “Pada saat saya kecemplung dalam dunia perfilman sebagai aktor itu saya mulai merasa dari semua pekerjaan yang saya kerjakan, ini satu-satunya yang bisa membuat saya senyum di pagi hari. Bangun pagi benar-benar kayak ‘Ayo semangat!’” katanya dengan mata berbinar.

Semangat itu yang lantas mendorongnya menjajal pengalaman-pengalaman baru di bidang seni peran. Misalnya proyek film independen yang ia kerjakan awal tahun ini. “Ini jadi sarana eksplorasi diri saya sebagai aktor dan untuk membuat cerita yang benar-benar saya suka dan percaya,” ujar laki-laki kelahiran 1994 ini. Ia melakukan itu semua demi mengasah kemampuannya sebagai aktor. Ia tidak mau pemilihannya sebagai karakter hanya didasarkan pada penampilan. “Kalau sampai dicap kayak, ‘Oh Jerome kayak gini aja,’ itu menurut saya agak bahaya juga. Karena [sebagai aktor] Anda diuji bukan sekadar dari look, tapi juga kemampuan untuk menjadi satu karakter,” jelasnya.

Itu mengapa sebisa mungkin ia mencari peran-peran dengan latar-latar berbeda. Perannya di Bumi Manusia misal, meskipun secara garis besar mirip dengan perannya sebagai Chicco Salim di Gossip Girl Indonesia, tetap memiliki perbedaan latar yang menjadikannya berbeda dengan peran sebelumnya. “Keduanya sama-sama punya daddy issue dan punya defense mechanism dengan menolak semuanya. Duaduanya juga anak SMA, tapi tentu anak SMA di abad ke-19 dan hari ini berbeda,” paparnya

Hari ini segala yang terjadi di dunia nyata berkelindan dengan apa-apa yang terjadi di dunia nyata. Termasuk dalam urusan mendapatkan peran. Bukan rahasia jika jumlah pengikut di media sosial bisa jadi penentu seorang aktor mendapatkan peran. Pemasaran film menjadi pertimbangannya. Meski tidak semua rumah produksi punya pertimbangan serupa. Toh, sebagaimana pekerja di sektor lain hari ini, tampilan di dunia maya menjadi muka yang juga perlu dijaga. “Ya lebih self-conscious karena kan itu apa yang orang lihat. Bagian dari pekerjaan juga. Itu first look Anda,” kata Jerome tegas. Maka dari itu menurutnya ia tidak bisa terlalu idealis dengan apa yang ia unggah. “Tapi juga enggak boleh terlalu kompromis, itu juga enggak boleh.”

Kurasi menjadi kuncinya. Ia mencotohkan, sebelum mengunggah satu post ia akan mengambil satu langkah mundur. Menimbang, apakah idenya akan diterima dan dipahami oleh khalayak. Di saat yang bersamaan ia juga berusaha untuk tetap jujur dengan apa yang ia suka. “Kalau enggak, Anda jadi enggak mengenal diri sendiri. Tapi kalau Anda terlalu idealis, orang mungkin jadi enggak bisa terima atau enggak bisa relate.” (Shuliya Ratanavara) Foto: Grego Gery

 

 

Author

DEWI INDONESIA