Jalinan Waktu dalam Peragaan “M.A.S.A” oleh Senayan City
Salah satu peragaan busana persembahan Senayan City menampilkan Major Minor, Sean Sheila x Byo, dan Friederich Herman
24 Oct 2019


Friederich Herman
1 / 19
Seperti namanya, peragaan “M.A.S.A” oleh Senayan City menyajikan interpretasi atas waktu. Tema yang tak begitu rumit, tapi tak lantas membatasi imajinasi. Pemaknaan kita atas waktu boleh jadi sederhana. Paling sering kita memaknai waktu sama dengan momentum, sebuah titik pertemuan waktu dengan ruang. Tanpa konteks ruang dan peristiwa, “waktu” menjadi konsep yang begitu absurd.

Bagi Senayan City misalnya, peragaan “M.A.S.A” adalah sebuah penanda sepak terjang dukungan salah satu pusat perbelanjaan premium di Jakarta ini terhadap industri mode Tanah Air. Semacam memorabilia.

Empat desainer digandeng Senayan City untuk merayakan momentum ini. Friederich Herman, Sean Sheila yang berkolaborasi dengan Tommy Ambiyo, serta Major Minor masing-masing menampilkan koleksi yang terinspirasi waktu.

Peragaan tersebut dibuka koleksi rancangan Friederich Herman. Utopia, slow future, retro-futurism, uniform dressing, dan Orwell menjadi beberapa kata kunci yang digunakan Friederich untuk menggambarkan koleksinya. Masa depan menjadi sumber inspirasi Friederich. Dalam merancang koleksi ini ia membayangkan satu waktu di masa yang akan datang dengan tatanan masyarakat yang serba tertata dan teratur. Dengan kata lain sebuah utopia.

Kata “Orwell” dan uniform dressing mungkin akan membawa imajinasi kita pada keadaan distopia alih-alih utopia. Langsung terbayang deskripsi Orwell akan gaya berpakaian masyarakat dalam buku 1984 yang dibagi berdasarkan kelas-kelas, dibedakan dengan warna.

Nyatanya kata Orwell tersebut tak ada hubungannya dengan estetika yang ditampilkan. Melainkan merujuk pada sisi lain utopia. “Oleh karena itu pakaian-pakaian uniform ini saya berikan aksen yang kontradiktif,” jelasnya dalam kesempatan konferensi pers.

Layaknya kekacauan yang menunggu untuk pecah di balik masa-masa damai, Friederich menghadirkan detil-detil yang “mengganggu” bentuk pakaian. Misalnya potongan lengan yang dibuat asimetris. Lengan pendek di satu sisi, dan lengan berpotongan batwing di sisi lain. Ia juga menabrak-nabrakkan pola satu dan yang lain.

Peragaan lalu dilanjutkan dengan koleksi persembahan Major Minor. Deretan pakaian warna cerah masih mengisi runway. Ditilik dari segi tema, Major Minor sama sekali tak membawa unsur waktu dalam koleksi ini. “Temanya kite, layang-layang,” kata Ari Seputra usai konferensi pers sebelum peragaan digelar, 23 Oktober 2019.

Serangkaian koleksi dari Major Minor ini memang dibuat seringan layang-layang dengan material katun tipis.  Elemen layangan tidak hanya hadir melalui pemilihan material. Siluet ringan bak melayang ditampilkan dengan rok-rok berpotongan A-line serta permainan volume untuk atasan. Bentuk layang-layang juga secara harafiah menjadi siluet utama beberapa gaun yang dihadirkan Ari Seputra dalam koleksi ini.

Meski tak bicara soal waktu dalam koleksinya, peragaan ini tetap menjadi sebuah momen penting bagi Major Minor. Ari menyatakan peragaan ini semacam menjadi penanda babak baru bagi labelnya tersebut. Salah satunya adalah karena Major Minor kini berada di bawah naungan Danliris, sebuah perusahaan tekstil asal Jawa Tengah.

“Ini menandakan perjalanan baru buat kami,” kata Ari. Ia menjelaskan bersama Danliris, ia merasakan banyak peluang terbuka. Terutama yang hubungannya dengan eksplorasi material, mengingat Danliris merupakan perusahaan garmen yang memproduksi kapas hingga menjadi tekstil.

“Kami jadi bisa bereksperimen dengan motif-motif baru, bahan-bahan baru, teknik-teknik baru,” lanjutnya. Termasuk eksplorasi pembuatan aksesori. Salah satunya adalah eksperimen mereka membuat sepatu dengan aplikasi kain serupa rumbai-rumbai.

Sebagai penutup, Sean Sheila menghadirkan koleksi mereka hasil kolaborasi dengan Byo. Koleksi persembahan dua alumni Dewi Fashion Knights ini melihat waktu sebagai hal yang kontinu. Sesuatu yang berkesinambungan. Bahwa masa depan adalah buah dari masa lalu.

Ini ditunjukkan lewat kolaborasinya dengan Byo di mana Tommy Ambiyo membuat aksesori tas khas Byo menggunakan bahan dari material tas-tas lama tak bertuan. Koleksi ini semacam menjadi kelanjutan dari peragaan Sean Sheila di DFK 2018. Tak hanya tema, komitmen mereka pun untuk membuat koleksi yang timeless dan selalu menciptakan ekosistem produksi yang berkesinambungan juga terus dirawat. (SIR). Foto: Jakarta Fashion Week.

 


Topic

JFW

Author

DEWI INDONESIA