Perias Pengantin Tienuk Rifki, Maestro Tata Rias dari Yogyakarta
Simak kisah perias pengantin Tienuk Rifki, perias pengantin yang namanya semakin melambung setelah merias Anissa Pohan.


Perjalanan di jalur rias pengantin selama 40 tahun membuktikan perias pengantin Tienuk Rifki sebagai perias andal di jagat seni tata rias tradisional. Lahir 29 Juni 1950 di kota Sleman, Yogyakarta, perias pengantin Tienuk Rifki seolah ditakdirkan menjadi perias pengantin. Gairah tinggi begitu dirasakan kala jari-jemari Tienuk melukiskan keindahan melalui pulasan di wajah pengantin wanita.

Bagaimana awalnya Anda terjun ke dunia rias pengantin?
Setelah saya lulus SMA, saya langsung menikah dan mengikuti berbagai kursus. Mulai dari kursus jahit, kursus masak, hingga kursus kecantikan. Tapi yang sesuai tampaknya hanya kursus kecantikan karena sampai sekarang saya tidak jago memasak dan tidak pula pandai menjahit. Ha ha ha. Dulu saya buka salon kecil di deket rumah dan merias pengantin-pengantin di lingkungan tetangga sekitar. Lama-lama, ada yang bilang mengapa saya tidak mencoba ikut kursus rias pengantin Jawa. Saya pun memberanikan diri mengikuti kursus rias pengantin. Selain mengikuti kursus, saya magang pada Ibu Trenggono Sosronegoro, seorang empu paes Yogyakarta. Sempat juga berguru pada Ibu Dahlan Saleh. Saya membantu merias sebagai tenaga magang. Awalnya merias pemegang kipas, hingga akhirnya merias pengantin sendiri. Setelah itu, saya beranikan diri mengikuti lomba rias pengantin. Saya menang hingga tingkat nasional, yang membuat nama saya dikenal.

Pengalaman Anda merias keluarga Keraton?
Tahun 1983 saya mulai merias di Keraton Yogya, yakni Gusti Joyokusumo dengan Gusti Prabukusumo. Rias pengantin yang awalnya dipegang Empu Keraton sepuh, lalu masuk saya dengan membawa sesuatu yang baru. Muncul bentrokan. Di keraton masih mempertahankan make-up tradisional dengan pemakaian bedak warna kuning dan tidak menggunakan eye shadow. Sementara saya membawa make-up modern dengan pemakaian eye shadow dan bulu mata palsu. Karena kebetulan Kanjeng Ratu Mas itu modern, maka saya diperbolehkan make-up modern di dalam Keraton. Sejak itu saya menjaga tradisi dengan tetap menerapkan warna bedak kekuningan, namun memberi tambahan eye shadow, blush-on, bulu mata palsu, dan sasak dengan hairspray. Riasan Paes Ageng Yogya sendiri sendiri cukup terkenal, apa lagi ketika Anissa Pohan, menantu mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, saya rias memakai Paes Ageng Yogya. Sempat ada sebutan ‘Paes Ageng Anissa’ saking terkenalnya.

Dalam pakem rias pengantin Yogya, seberapa jauh ia berubah dan berkembang?
Yang boleh berkembang hanya make-up dan busana. Busana diperbolehkan memakai kebaya, tidak sebatas kain dodot. Tapi kalau cengkorongan (desain rias wajah di bagian dahi) dan ‘jahitan’ mata berupa garis-garis warna kecokelatan, keduanya tetap harus ada. Bagian alis juga tidak boleh berubah, yaitu alis wejangan rangga. Bentuknya seperti tanduk rusa yang melambangkan keperkasaan namun dikenakan oleh pengantin wanita.

Waktu pertama kali belajar pakem rias Jogya, adakah tantangannya?
Tantangannya banyak sekali. Dulu tahun 1975, zaman belum modern dan canggih seperti saat ini. Sekarang ada teknik tertentu memakai pomade atau lem. Jelas lebih mudah. Tantangan lainnya, saya harus terus melakukan inovasi dalam merias wajah. Paes Ageng kan sudah dikenal masyarakat luas, jadi bagaimana caranya kita mengembangkan riasan ini sehingga menjadi lebih menarik. Tapi, ada catatannya. Saat mengajar, saya tetap mengajarkan riasan asli sesuai pakem supaya orang tidak lupa dengan akarnya. Nanti saat merias, sah-sah saja untuk dikembangkan.

Konon ada tirakat atau ritual yang kerap dilakukan perias pengantin. Anda sebagai perias pengantin, apakah yang Anda lakukan?
Tergantung masing-masing perias. Saya beragama Islam, sehingga saya cukup berdoa. Untuk tirakat, saya masih menjalaninya. Saat hendak merias, saya sempatkan berpuasa lebih dulu. Ini lebih untuk kepentingan saya sendiri. Berpuasa agar mampu menahan emosi, lebih sabar, dan legowo. Kalau kita merias dengan prihatin tentu hasilnya lain. Membuat wajah cantik itu tidak susah. Yang susah itu adalah bikin manglingi! Pengantinnya sendiri, akan lebih baik jika sebelumnya berpuasa. Berpuluh-puluh tahun saya merias pengantin, ketika saya merias pengantin yang berpuasa, auranya keluar.

Apa rencana Anda ke depan?
Saya ingin mengembangkan tata rias pengantin, khususnya Yogyakarta supaya berjalan lurus dan tidak jauh melenceng dari pakem. Untungnya, regenerasi pun tidak sedikit. Saya mempunyai banyak asisten dan murid-murid yang pulang ke kampung halaman lalu terkenal sebagai perias. Saya senang dan ikut bangga jika mereka semua berkembang. Karena harus ada yang mempertahankan agar tradisi tidak hilang. (Indah Ariani/ Rianty Rusmalia) Foto: Dok. Tienuk Rifki

 

Author

DEWI INDONESIA