Azhari Aiyub dan Bivitri Susanti, Dua Aktivis Kemanusiaan yang Perlu Anda Ketahui Kiprahnya
Azhari Aiyub dan Bivitri Susanti terdiri dari pemintal kata-kata dan ahli hukum yang aktivitasnya meluaskan pemahaman serta kepedulian kita terhadap manusia dan kemanusiaan.
14 Jan 2016


2 / 2
Azhari Aiyub

Azhari Aiyub
ialah sastrawan Indonesia yang telah ikut memberi pencerahan dan kebaruan dalam dunia sastra kontemporer kita melalui cerita-cerita pendeknya. Selain menulis prosa, dia juga menulis esai budaya dan puisi. Pada 2005 Azhari menerima Free Word Award dari Poets of All Nation di Belanda untuk puisinya, “Ibuku Bersayap Merah”. Dia mendirikan lembaga kebudayaan Komunitas Tikar Pandan di Aceh pada 2003, dua tahun sebelum konflik politik antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka berakhir.

Orangtua Azhari Aiyub, adiknya dan seluruh sanak saudaranya hilang karena tsunami pada 26 Desember 2004. Ada atau tidak ada hubungan dengan tragedi itu, dia menciptakan narasi baru tentang tuhan dan kebenaran yang lain dalam karya-karyanya. Selain itu, Azhari juga salah satu penggagas sekaligus pengelola Museum Hak Asasi Manusia pertama di Indonesia dan juga Asia Tenggara, yang berdiri pada 23 Maret 2011 di Banda Aceh. Kumpulan cerita pendeknya Perempuan Pala diterbitkan dalam Bahasa Inggris dan diberi pengantar oleh antropolog James T. Siegel. Feminis Prancis terkemuka, Helene Cixous, menyatakan bahwa dia belum pernah membaca cerita yang ditulis dengan cara dan perspektif Azhari. 

Bivitri Susanti

Bersama beberapa senior yang terdiri dari para pengacara profesional, Bivitri Susanti mendirikan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada 1 Juli 1998.  Sekarang sudah 30-an orang yang bekerja untuk lembaga ini. Mereka melakukan berbagai riset dan menerbitkan buku demi mendukung praktik hukum yang adil. Situs hukumonline.com pun diluncurkan untuk mengantisipasi kebutuhan masyarakat yang semakin akrab dengan dunia digital.

Bivitri Susanti  bertekad memperbaiki insititusi hukum dengan mendirikan sekolah hukum independen, yang mampu menghasilkan praktisi hukum yang jujur, berpihak kepada kebenaran, berani dan anti korupsi.  Dimulai empat tahun lalu, Bibip merintis Sekolah Hukum Jentera bersama rekan-rekannya di PSHK. Jentera yang berarti roda penggerak itu diharapkannya dapat menjadi roda penggerak perubahan hukum di Indonesia. (GN) Foto: Rizhki Rezahdy.
 

 

Author

DEWI INDONESIA