Dialog Artistik di Balik Panggung Kehendak Nindityo Adipurnomo dan Imam Sucahyo

Komunitas Salihara kembali menjadi panggung bagi sebuah dialog artistik, yang kali ini hadir melalui pameran bertajuk "Staging Desire (Panggung Kehendak)". Pameran ini menghadirkan karya-karya dari dua seniman rupa kontemporer, Nindityo Adipurnomo dan Imam Sucahyo, yang tak hanya mengisi ruang galeri, tetapi juga merambat ke area luar dengan wayang liyan, lukisan, dan patung rotan.
Zarani Risjad, kurator pameran ini, menuturkan bahwa kedua seniman ini sejatinya tidak memiliki waktu bersama secara fisik dan tidak berkolaborasi dalam produksi satu pun karya secara bersama. Meski demikian, pada akhirnya pameran ini membawa dua 'suara' material yang berbeda, bahkan hampir berlawanan, serta pendekatan kreatif mereka yang bersua pada instalasi bulan. Menggantung di pusat area pameran Staging Desire, instalasi ini menjadi satu-satunya titik di mana karya kedua seniman "bertemu".
Pembabakan Pameran Laiknya Teater

Pameran ini dihadirkan dengan ‘pembabakan’ serupa pertunjukan teater. Alih-alih langsung mengantar pemirsanya ke ruang pamer, pengunjung diajak 'masuk' ke dalam narasi pameran dengan melewati lorong menyerupai area belakang panggung; seolah menegaskan identitas pameran ini sebagai sebuah pertunjukan yang siap menyibak tirai untuk para pemirsanya.
Memasuki ruang pamer utama, perhatian langsung tertuju pada sebuah rumah kayu lapuk yang ditemukan Imam Sucahyo di Tuban, lengkap dengan sebuah instalasi berupa televisi di dalamnya. Puing-puing rumah ini dihiasi wayang-wayang khas Imam, dengan layar berbentuk bulan menggantung di atasnya. Bangunan ini menjadi ruang pertemuan, di mana wayang-wayang Imam berdialog dengan figur kreasi Nindityo, masing-masing dengan ‘suara’ material yang berbeda.
“Pendekatan kreatif dua seniman terwujud dalam bentuk bayangan, bersua pada instalasi bulan. Ini adalah sebuah penghormatan pada tradisi wayang yang diterangi oleh semprong,” ungkap Zarani. Wayang, katanya lagi, dalam konteks ini berfungsi sebagai objek, atau jika boleh dibilang, portal menuju awal mula Staging Desire.
Ketika Dialog Artistik Mewujud

Sang kurator mengungkap, mula-mulanya ia mencermati betul bagaimana 'dialog artistik' ini akan terwujud. Katanya, “Saya belum tahu apakah kedua seniman akan bekerja sama secara kolaboratif, meluangkan waktu bersama di studio, atau bahkan mulai berkarya dengan mengadopsi pendekatan kreatif atau filosofi pribadi satu sama lain.”
Beberapa bulan setelah proyek berjalan, Zarani mulai menyadari adanya benih dialog yang muncul. Minat Nindityo yang telah lama terhadap konsep identitas dan subjektivitas menemukan pemicu baru pada wayang karton karya Imam Sucahyo. Di saat yang sama, dialog kesenian di antara mereka juga menghasilkan bentuk dan artikulasi bagi Imam Sucahyo, yang selama ini selalu berkarya secara insting, tanpa harus memberi nama atau menstrukturkan prosesnya.
Menjelang akhir proses kuratorial, menjadi terang benderanglah bagi Zarani apa sesungguhnya inti dari dialog artistik ini: yaitu cara kedua seniman memandang dan menginterpretasi inspirasi. Bagi Nindityo maupun Imam, inspirasi adalah sebuah proses pembongkaran (dismantling) dan penginterpretasian kembali (re-imagining).
“Pada akhirnya, jika pameran ini dapat menawarkan ruang di mana audiens merasa tertantang, tersentuh, atau bahkan sedikit terusik, maka saya pikir kami telah berhasil menghormati semangat para seniman dan karya yang telah mereka wujudkan," tutup Zarani.
***
“Staging Desire” merupakan kerja sama Komunitas Salihara dengan Baseline, studio produksi kreatif yang berfokus menghubungkan seniman dengan khalayak yang lebih luas melalui inisiatif lintas disiplin. Pameran ini hadir di Komunitas Salihara pada 14 Juni - 27 Juli 2025.
Pameran ini juga akan disertai dengan dua kegiatan pendukung, yakni Wayang Liyan Workshop dan The Mindful Gaze (21+). Wayan Liyan Workshop merupakan Program untuk membuat wayang dengan bahan sederhana untuk anak-anak usia 7-12 tahun), sedangkan The Mindful Gaze adalah sebuah sesi sensorik intim bersama Nindityo Adipurnomo untuk mengalami seni melewati indera.
Kunjungi media sosial Komunitas Salihara dan Baseline untuk informasi lebih lanjut.
Teks: Mardyana Ulva
Foto: Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya
Topic
ArtAuthor
DEWI INDONESIATRENDING RIGHT THIS VERY SECOND
RUNWAY REPORT
Debut DIBBA “Odyssey” di Panggung Internasional