Menelusuri Turki Dalam Sekejap
Pandemi global COVID-19 mengakibatkan perjalanan panjang Glenn Prasetya menelusuri Turki mau tidak mau mesti dipersingkat. Tak perlu bermuram durja merapati nasib. Lebih baik waktu yang singkat tersebut dimaksimalkan untuk mengeksplorasi sudut-sudut kota
30 Jun 2020


 



Kehidupan di Istanbul berjalan seperti biasa. Tidak tampak tanda-tanda masyarakat yang sedang menjaga diri dari amukan pandemi. Padahal, berwisata saat mulai merebaknya pandemi, keluarga Prasetya telah siap dengan peralatan perang yaitu masker dan hand sanitiser. “Tapi hanya kami yang memakai masker,” kata Glenn. Karena itu, ada tatapan aneh yang datang menghinggapi. Beberapa anak kecil yang melihat mereka pun seperti mengolok-olok karena masker tersebut.

Di hari pertama, Taksim Square menjadi destinasi pilihan. Terletak tak jauh dari penginapan mereka, area ini adalah pusat rekreasi yang dianggap jantung Istanbul modern. Terdapat toko-toko, restoran, dan penginapan di area ini. ?stiklal Caddesi (Independence Avenue), jalan panjang dengan deretan toko-toko berakhir di alun-alun ini. Tak hanya untuk turis, Taksim juga area berkumpul favorit para penduduk lokal karena merupakan pusat transportasi kereta bawah tanah. Walau karena luasnya area, ini juga destinasi yang tepat jika warga mengadakan unjuk rasa.

Hal yang tak terelakkan terjadi juga. Glenn mendapat informasi bahwa penerbangan pulang mereka kembali ke Indonesia dibatalkan. Di waktu bersamaan, ada kabar dari tanah air bahwa Presiden Joko Widodo menyerukan kepada penduduk Indonesia untuk melakukan pembatasan sosial. Perubahan rencana pun harus segera dilakukan. Pesawat pulang ke Indonesia langsung mereka cari. “Kami mencari penerbangan langsung, yang tidak perlu transit,” Glenn bercerita. Hingga akhirnya didapatkan penerbangan tersebut, tiga hari dari saat itu. Sambil menanti waktu, penjelajahan dilanjutkan.

 


Metro dan tram menjadi transportasi pilihan ketika Glenn, Yunita, dan Gi, mengeksplorasi kota Istanbul. Di hari kedua mereka menjelajah ke dua bangunan bersejarah yang sangat termasyhur, Blue Mosque dan Hagia Sophia. Blue Mosque (Masjid Sultan Ahmed) dibangun antara 1609 dan 1616 pada masa pemerintahan Ahmed I. Hingga kini, masjid tersebut masih berfungsi sebagai tempat beribadah sekaligus menarik minat wisatawan. Interior masjid ini sungguh memukau. Dindingnya berlapis ubin biru yang dilukis dengan tangan. Saat hari sudah gelap, Anda dapat menikmati pemandangan lima kubah utama masjid, enam menara, dan delapan kubah sekunder bermandikan cahaya biru

Terletak di sebelah Blue Mosque adalah Hagia Sophia (Aya Sofya), situs wisata yang tak kalah populernya. Bangunan yang terkenal dengan kubah besarnya ini didesain untuk menjadi sebuah Katedral Ortodoks. Pecahnya perang, bergantinya kepemimpinan, membuat Aya Sofya berubah menjadi Katedral Katolik Roma selama lebih dari 50 tahun. Kurang lebih seribu tahun sejak dibangun, Aya Sofya kembali berganti peran menjadi masjid pada masa kekuasaan Kesultanan Usmani. Pada akhirnya bangunan ini dibuka sebagai museum pada 1 Februari 1935 oleh Republik Turki dan dapat dinikmati oleh semua orang, apa pun kepercayaan mereka.

“Sejarahnya luar biasa, sampai merinding mendengarnya,” begitu kata Yunita tentang bangunan yang dianggap sebagai pencapaian arsitektur Bizantium tersebut. Ia merasa damai melihat bagaimana dua simbol keagamaan, Islam dan Kristen, bersanding di satu gedung. Walau berganti dari gereja menjadi masjid, interior yang melekat dan menunjukkan tanda-tanda keagamaan sebelumnya tetap dibiarkan. “Menurut saya pribadi ini sikap yang sangat dewasa dan menginspirasi. Kita bisa menikmati sejarah itu secara utuh,” kata Yunita lagi.

 

 


Topic

Travel

Author

DEWI INDONESIA