Rahasia Pernikahan Langgeng Eros Djarot dan Dewi Djarot
Komitmen tanpa henti jadi salah satu rahasia pernikahan langgeng Eros Djarot dan Dewi Djarot.


Suatu hari, di tahun 1973, ia kagum menyaksikan seorang perempuan menari dengan gemulai dalam acara yang diselenggarakan Kedutaan Besar Indonesia di kota Bonn, Jerman. Ia menghampiri sang penari untuk bertegur sapa setelah pertunjukan tari usai. “Saya minta nomor teleponnya. Tapi dia menolak,” kata Eros Djarot, seniman dan penggubah lagu-lagu legendaris dalam album Badai Pasti Berlalu, yang mengisahkan kembali pertemuan pertamanya dengan Dewi, sang istri. Ketika itu ia masih kuliah teknik kimia di satu universitas di Koln, kota lain di Jerman.  Mereka kemudian bertemu beberapa kali lagi, termasuk dalam diskusi-diskusi perkumpulan mahasiswa Indonesia. Ia kembali meminta nomor telepon Dewi dan lagi-lagi, ditolak. Eros jatuh cinta. Dewi tidak sekadar cantik, tapi mahir bicara tentang politik dan budaya. Ia menyukai perempuan pintar. Delapan belas bulan kemudian, mereka bertemu di suatu kesempatan. Kali ini Dewi luluh, karena kegigihannya. Hari Jumat, Dewi memberi nomor telepon dan alamat tempat tinggalnya di Paris. Hari Sabtu Eros sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Eros mengenang, “Begitu dia membuka pintu, dia bertanya, ‘What are you doing here?’ Saya jawab, ‘You gave this address, I am visiting you’.”

Setelah Eros berkunjung ke Paris, Dewi datang ke Bonn. Mereka lalu pergi ke sebuah restoran Cina di kota tersebut. Lelaki yang tengah kasmaran ini tidak sanggup lebih lama untuk menyatakan perasaan, “Belum duduk 10 menit saya bilang will you be the mother of my children. Dia shock. Dia bertanya, ‘Are you kidding? Is it true?’

Eros masih harus berjuang, karena punya sejumlah saingan. Namun  ia tidak pernah menyerah, “Saya santai saja. Terus saya bilang you have to decide…. Akhirnya Tuhan memberikan ‘hukuman’ buat Dewi dan dia akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada saya.” Cerita Eros Djarot tertawa.

Dewi sebenarnya kurang tertarik pada lelaki Indonesia. Berdasarkan pengamatannya, “Kalau melihat perempuan maju dan berprestasi, ego laki-lakinya terganggu. Mungkin juga karena pendidikan paternalistik dalam budaya Indonesia yang masih sangat kuat.” Namun, Eros berbeda.

Mereka menjalani masa-masa pacaran yang sarat dengan diskusi. “Kita membahas buku sama-sama. Kalau saya menulis artikel untuk Kompas atau Tempo, saya bacakan, nanti dia bilang secara politiknya salah atau bukan begitu, karena dia kan sekolah politik, dia juga doktor hukum lulusan Sorbonne,” ujar Eros,  bernada bangga. Kadang-kadang mereka berdua mengunjungi museum untuk melihat lukisan dan saling melontarkan pendapat tentang apa yang bersemayam di benak sang pelukis ketika menyapu kuasnya pada kanvas.

Pernikahan mereka dikaruniai dua buah hati, Banyu Biru yang lahir di London pada 1979 dan Sekar Putih yang lahir di Aljier pada 1984, dan telah memasuki usia 37 tahun.  Mereka sempat terpisah jarak ketika Dewi Djarot menyelesaikan tesis doktornya di Paris, selama empat tahun. Banyu Biru dititipkan di rumah orangtuanya di Aljazair. Dewi bercerita, “Ayah menjadi duta besar di sana. Pertimbangan saya, jarak Aljier dan Paris hanya dua jam naik pesawat. Kalau ke Indonesia bisa sekitar 15 jam naik pesawat. Kami bertiga terpisah di tiga benua, Eropa, Afrika dan Asia. Dengan berat hati Mas Eros merelakan. Banyu baru berumur empat tahun waktu itu.” Eros menggubah lagu “Selamat Jalan Kekasih” untuk mengekspresikan keresahannya akibat perpisahan tersebut.

Pernikahan yang langgeng menjadi impian. Namun, pernikahan yang kokoh memiliki rahasia tersendiri. Eros mengungkapnya. “Saya percaya bahwa relasi yang dibangun dari kesadaran intelektual dan kedekatan emosional akan awet. Makanya saya sangat suka dengan perempuan yang bisa diajak bicara. Kecenderungan orang yang berpendidikan atau teredukasi baik, biasanya tidak cepat menaruh curiga dan marah.”

“Cinta penting. Tapi cinta yang dilandasi visi, misi, pemikiran dan konsep kehidupan yang sama, itu yang mendasar dan kuat. Kalau tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa yang sama, mungkin cukup meletihkan juga. Dia adalah comfort zone saya dan kebalikannya, saya adalah comfort zone dia,” kata Dewi menyebut salah satu rahasia pernikahan langgeng-nya.

Ikatan yang lebih ideologis juga menguatkan cinta mereka. “Sebagai anak diplomat yang dibesarkan di luar Indonesia, saya dan adik-adik saya diterima dengan baik karena kami berbahasa lokal dengan baik, tapi selalu orang-orang di negara setempat melihat kami beda, karena warna kulit. Dari kecil saya sudah disadarkan bahwa saya berbeda dengan mereka. Saya sadar betul ke-Indonesia-an saya dan selalu merasa harus berbuat sesuatu untuk Indonesia. Nasionalisme dan patriotisme itu juga yang menyatukan saya dan Mas Eros. Kami punya cita-cita yang sama, meski dengan latar belakang keluarga yang berbeda.”

Hubungan mereka juga tidak luput dari ujian. Eros memuji sikap istrinya, “Dia mengajak saya sembahyang. Dia menegur saya sesudah itu. Tegurannya dengan suatu pertanyaan, ‘Kalau itu tidak membuat kamu merasa menghina diri kamu, just do it.’ Hal seperti itu yang membuat perkawinan tidak hanya mempunyai tanggung jawab, tapi komitmen yang sulit untuk diruntuhkan. Respect each other adalah kuncinya. Love is not enough. Love and respect.”

“Dia cukup womanizer. Banyak perempuan yang suka. Tapi dia bilang. Itu bukan isu. Saya hanya cinta padamu, katanya,” ucap Dewi Djarot, seraya tertawa. Dewi menganggap hidupnya bersama sang suami menyenangkan dan seru. Pernah Eros diancam. Rumah mereka didatangi informan militer. Dewi mengingat masa Suharto ketika tabloid Detik yang dipimpin Eros dibreidel, “Tapi kami berjuang untuk kebenaran, untuk hal yang kami yakini bahwa itu baik untuk bangsa dan negeri ini.”

Mendidik anak-anak adalah tantangan lain. Eros menanamkan nilai-nilai budaya Timur, “Karena saya anggap budaya Timur itulah yang membuat kita menjadi ada sebagai komunitas dan kemudian bangsa. Tanpa adanya identitas itu, kita hanya akan menjadi seperti orang Paris atau seperti orang London.” Dewi yang dibesarkan dalam tradisi intelektual Barat mengakui bahwa ia belajar tentang falsafah Timur dari suaminya, begitu pula menyatukan spiritualisme dan tindakan.

Kelahiran Banyu dan Sekar menjadi momen paling menakjubkan Eros. Pernikahan, yang mengawali proses berkeluarga ini, tak kalah mengesankannya. “Bayangkan, saya yang biasa bebas harus berkompromi. Sampai hari ini, perkawinan suatu konsep yang saya tidak mengerti. What is the idea? Sesuatu yang luar biasa, karena kita harus mempertaruhkan ego kita dan semua yang kita miliki hanya untuk mempertahankannya.”

Selama hidup bersama, mereka mengaku hanya sekali bertengkar. Keduanya tidak mengisahkan pemicu serta detail pertengkaran itu. Tapi mereka tidak pernah berkata kasar satu sama lain. “Tiap kali ada masalah, kita bisa menyelesaikannya. Dia juga selalu membuatnya lucu, tidak terasa sebagai masalah,” kata Dewi. 

Dukungan dan kehangatan keluarganya pula yang memberi jiwa bagi karya-karya Eros Djarot, “Saya bisa hidup seperti ini, tidak korup, karena mereka. Ketika kejujuran tidak ada, hilang semua karya-karya yang indah. Negeri ini kacau, karena kehilangan cinta. Rumah tangga kacau karena kehilangan cinta. Kehilangan cinta membuat kita jadi kering dan lambat laun, keriput, mati.” (LINDA CHRISTANTY) Pengarah gaya: Karina Britalia, Fotografer: Gavic Hasibuan

 

Author

DEWI INDONESIA