Kerap Diusir dari Rumah Warga Tak Memadamkan Semangat Hamisah Memerangi Penyakit Endemi dan Penebangan Liar
Ikuti kisah Hamisah, kepala dusun wanita pertama di Dusun Sidorejo, Kalimantan Barat, yang turun langsung menanggulangi penyakit endemi dan mencegah penebangan liar.
10 Apr 2017



Tak cuma sekali Hamisah diusir dari rumah warga yang ia kunjungi. Ia bukan orang jahat. Rumah-rumah yang didatanginya adalah tempat tinggal para penderita Tuberkulosis di Desa Sukadana, Kalimantan Barat. Kedatangan Hamisah bertujuan agar mereka disiplin mengonsumsi obat penyakit Tuberkulosis. Penyakit ini ialah penyakit endemi di daerah tersebut selama kurang lebih empat tahun terakhir. Hamisah yang berprofesi sebagai Koordinator Pengawas Minum Obat dari Klinik Asri punya tanggungjawab lebih dalam memastikan para penderita benar-benar pulih dari penyakit yang proses penyembuhannya bisa memakan waktu hingga satu tahun ini. Namun warga punya keengganan untuk mengonsumsi obat karena merasa tidak kunjung sembuh padahal sudah berobat.

Pengusiran yang pernah dialami justru membuat Hamisah panjang akal. Pernah ia datang kembali ke rumah seorang warga satu jam setelah ia diusir dari pekarangan rumah warga tersebut. Ia datang dengan membawa sepasang bebek. Warga itu bernama Sanusi, seorang pria baya yang telah menderita Tuberkulosis selama dua bulan dan belum kunjung membaik. Bebek-bebek itu meluluhkan kemarahan Sanusi. Ia lantas mempersilakan Hamisah masuk ke dalam rumah dan bersedia meminum obat di hadapan wanita ini. “Beberapa bulan kemudian ia sembuh dari Tuberkulosis. Sepasang bebek sudah beranak pinak dan menjadi sumber penghasilan tambahan bagi keluarganya,” tutur Hamisah.

Rasa lega itu seolah berlipat. Setidaknya Hamisah berhasil membantu seseorang menempuh jalan keluar dari kesulitan ekonomi yang menjadi masalah utama di Desa Sukadana. Termasuk juga di Dusun Sedahan Jaya, tempat tinggal Hamisah. Sebagian besar warga dusun berprofesi sebagai petani. Sayangnya penghasilan mereka kerap terhambat oleh banjir besar yang rutin melanda dusun dan mengakibatkan gagal panen.
Banjir besar juga membuat kondisi jalan di sekitar dusun tampak memprihatinkan. Suatu hari di tahun 2010 Hamisah terpaksa menyaksikan seorang tetangganya kehilangan bayi dalam kandungan. Sebabnya? Ambulans tidak bisa masuk ke dusun Sedahan Jaya lantaran kondisi jalan yang buruk, membuat sang ibu terlambat mendapat penanganan dari pihak rumah sakit.

Hari itu sejumlah warga terpaksa membopong sang wanita hamil dan berjalan di tanah yang bergelombang untuk sampai pada ambulans. “Miris sekali melihatnya. Waktu itu saya mendampingi si ibu sampai malam hari,” kenangnya.

Masih jelas pula di ingatan, bagaimana kondisi jalan yang buruk di desanya, membuat Hamisah harus berjalan kaki sambil menggendong anak lelakinya ke sekolah. “Oleh karena itu, ketika ia masuk SMP saya titipkan dia ke tempat orangtua saya tinggal. Ketika itu di sana, jalannya lebih bagus dan dekat dengan sekolah yang baik,” kenangnya.

Hamisah geram melihat Kepala Dusun yang seolah tak berupaya maksimal dalam menyelesaikan permasalahan di daerah. Hal ini membuat ia terpikir untuk menjadi kepala dusun, walaupun ia sadar dirinya adalah seorang perempuan yang bahkan hanya menuntaskan pendidikan sampai jenjang Sekolah Menengah Pertama.

Tak disangka ada banyak pihak yang mendukungnya. Warga dusun menyukainya. Hamisah pun mengambil paket ujian SMU agar ia mendapat latar belakang pendidikan yang lebih layak. Ia tak memungkiri bahwa ada sejumlah orang yang meragukan kemampuan dirinya tetapi hal tersebut bukan jadi halangan yang berarti. Di tahun 2013, ia resmi menjadi Kepala Dusun wanita pertama di Dusun Sidorejo, Desa Sedahan Jaya.

Sidorejo bagaikan rumah baginya. Sebenarnya Hamisah tak berasal dari daerah ini. Ia datang dari Kampung Laut yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya saat ini. Setelah menikah di tahun 1997 barulah ia tinggal menetap di Dusun Sidorejo.  Sedahan Jaya termasuk dalam desa transmigran dan merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Gunung Palung, taman nasional dengan ekosistem terlengkap di Indonesia.

“Banyak warga yang datang dari Pulau Jawa. Awalnya saya punya kesulitan berkomunikasi dengan mereka tetapi ketika sudah saling mengenal lebih dalam ternyata mereka punya sifat kekeluargaan. Tolong menolong dan gotong royongnya kuat,” tutur Hamisah yang mengaku tak punya kendala dalam menggerakkan warga. Di dusun ini ia merasakan kehangatan.

Satu setengah tahun setelah menjabat sebagai kepala dusun, Hamisah mendapat ujian. Terjadi penebangan liar di daerahnya. Hamisah lantas membayangkan parahnya banjir yang bisa kembali melanda Dusun Sidorejo. Ia kemudian bergegas menghampiri isteri seorang warga yang bekerja sebagai penebang. Hamisah berbincang dengan wanita itu tentang bahaya yang bisa timbul dari pekerjaan suaminya. Ia juga bertanya, masa depan seperti apa yang wanita itu harapkan untuk anak-anaknya bila lingkungan tak lagi lestari. Si istri kemudian tak ragu untuk membujuk suaminya agar berhenti bekerja sebagai penebang liar.

Masalah tak selesai di sana. Para penebang dari daerah lain mulai berdatangan. Untuk kasus ini Hamisah menciptakan strategi berbeda. Ia merekrut sejumlah pria di dusunnya untuk menjadi mata-mata. Kapanpun mereka melihat orang dengan membawa kapak, maka orang tersebut patut diselidiki lebih dalam. Hamisah pun berhasil mengusir para penebang liar dari dusunnya.

Keringanan berobat menjadi hadiah bagi siapa saja yang telah membantu mencegah proses penebangan liar. “Ide ini sebenarnya datang dari para penggagas Klinik Asri yang sungguh-sungguh menaruh kepedulian terhadap kesehatan warga Sukadana.” Hamisah menjadi orang yang menyosialisasikan program dari tempat ia bekerja ini. Program itu terbukti efektif. “Saat ini dusun kami sudah benar-benar terbebas dari para penebang liar,” ujar Hamisah lega.

Seiring berjalannya waktu sensitifitas Hamisah sebagai perempuan terasa memberikan solusi bagi permasalahan dusun. Ia menjadi motor penggerak para wanita di dusunnya. Setiap hari Minggu ia membersihkan parit dan jalan. Awalnya Hamisah melakukannya seorang diri. Lama kelamaan ibu-ibu di desa ikut membantunya. Kini hal tersebut menjadi kegiatan rutin warga.

Kini fokus Hamisah juga tertuju dalam menggerakkan masyarakat untuk bertani organik. “Di area rumah warga rata-rata terdapat tanah seluas 50 meterx50 meter. Saya mengajak para ibu rumah tangga untuk memanfaatkan lahan tersebut dengan menanam cabai, terong, dan sayur mayur. Bila ada lahan lebih saya menyarankan untuk membuat kolam ikan untuk beternak Lele dan Nila. Kini saya sedang membuat proposal ke dinas perikanan daerah agar pemerintah bisa memfasilitasi masyarakat dengan benih ikan,” kisahnya.

Pemanfaatan  tanaman yang banyak tumbuh di daerah dusun tidak luput dari perhatian Hamisah. Ia mengajak warga untuk mengolah bunga Rosella menjadi teh, sirup, dan selai. Kegiatan tersebut mendapat pujian dari Bupati Kayong Utara, Hildi Hamid. Momen apresiasi itu digunakan Hamisah untuk bercerita tentang masalah banjir yang kerap mengganggu dusun. “Syukurlah Bapak Bupati langsung mau menyusun rencana untuk membantu membersihkan sungai dari pohon-pohon yang menghambat saluran air,” kata Hamisah menyiratkan penyebab utama banjir di Sukadana.

Pekerjaan rumahnya masih banyak. Dan mungkin bertambah banyak setiap hari Sabtu. Hari di mana ia berada di kantor desa dan bertemu dengan sejumlah warga yang mengadu permasalahan mereka. Belakangan aduan itu berasal dari para warga yang terganggu melihat kaum remaja kerap berkumpul dan ngelem (kegiatan menghirup aroma zat perekat tertentu yang berefek seperti obat bius). Untuk urusan ini, Hamisah harus berhadapan dengan sejumlah orangtua yang tidak terima bila anaknya disalahkan. “Mereka masih punya pola pikir memanjakan anak dan sulit menerima masukan,” tutur Hamisah.

Di sisi lain Hamisah bersyukur anak lelaki pertamanya yang berusia 19 tahun berhasil mendapatkan beasiswa dari pemerintah dan kini berkuliah di Kota Malang, Jawa Timur. Ia berharap setelah anaknya menuntaskan pendidikan Sarjana dan Master, ia bisa kembali ke dusun untuk berpartisipasi memajukan pendidikan warga setempat. “Dusun ini perlu orang yang berpemikiran luas. Bisa memeperjuangkan masyarakat dan memperjuangkan hak,” ujar Hamisah menutup perbincangan kami via gagang telepon. Ia harus melanjutkan aktivitas mengunjungi rumah warga dengan mengendarai sepeda motor di jalan yang kini sudah bermaterial aspal. (JAR) Foto: dok. Asri.

 

Author

DEWI INDONESIA