Simak Kejutan-kejutan dalam Perhelatan Haute Couture Musim Dingin 2017/18
Ada yang berbeda dan segar pada perhelatan haute couture musim dingin 2017/18. Dari kembalinya Azzedine Alaïa, hingga diundangnya tiga label kontemporer sebagai invited members musim ini!
22 Sep 2017


1 / 7
KEMBALINYA YANG DINANTI
Di tahun 1984, pencinta mode dibuat takjub ketika desainer sederhana dan sangat pemalu, Azzedine Alaïa, dianugerahi Best Designer of the Year dan Best collection of the Year di ajang Oscars de la Mode yang digelar oleh French Ministry of Culture di Paris, Prancis. Mengalahkan nominasi lain seperti Yves Saint Laurent dan Hubert de Givenchy. Banyak yang masih ingat, bagaimana desainer mungil asal Tunisia tersebut tampak kaget dan menolak untuk maju ke atas panggung hingga harus dipaksa.
 
Sejak momen tersebut, show Alaïa menjadi salah satu agenda wajib untuk dihadiri. Meski para tamu terkadang harus rela menunggu hingga 2 jam bahkan lebih. Atensi yang diterima tidak membuat Azzedine Alaïa tergesa-gesa dalam berkreasi. Ia punya timeline-nya sendiri. Ia lebih memilih sibuk menggunting kain atau menjahit baju di badan model, ketimbang harus sibuk memikirkan jadwal show konvensional. Ia sosok kreatif, bukan seorang pebisnis. Dan Alaïa tak pernah menargetkan dirinya untuk mempresentasikan koleksi dua kali (atau lebih) tiap tahunnya. Mungkin itu sebabnya ia sempat menghentikan keikutsertaannya dalam ajang presentasi haute couture sejak 2011. Ia memiliki independensi yang dipuji banyak pihak—selain fakta bahwa ia adalah desainer jenius penemu bodycon dress, sculptural dress, dan piawai dalam memecah pola busana. 
 
Setelah 6 tahun vakum, tak mengherankan jika kemunculan Azzedine Alaïa dalam daftar show koleksi musim dingin 2017/18 di pekan mode adibusana di Paris menjadi buah bibir.
 
Seperti biasa, Alaïa menggelar show di atelier-nya. Bagi Alaïa , couture adalah couture. Intimasi adalah hal yang absolut. Sebuah selebrasi terhadap mode juga passion wanita akan busana dan kualitas. Ia tak pernah percaya pada konsep menggelar show dengan setting super megah. Ia selalu ingin orang melihat karyanya, tanpa distraksi yang tak perlu. Atelier-nya tak memiliki pendingin ruangan, namun itu tidak membuat tamu enggan duduk berlama-lama menunggu sang maestro. Urusan tamu, lagi-lagi, Alaïa bukan tipikal desainer yang mengisi barisan kursi front row dengan selebritas untuk “menjual” show-nya.  Ia hanya mengundang orang yang ingin ia undang. Salah satunya adalah desainer Nicolas Ghesquière yang telah lama mengidolakan sang couturier
 
Dibuka dan ditutup oleh Naomi Campbell—supermodel yang awal kariernya dimulai bersama Alaïa pada usia 16 tahun—koleksi kali ini menghadirkan kombinasi siluet fit dan flare. Kekhasan sang desainer mengolah constructed coat diperlihatkan lewat kepiawaian mengadaptasi berbagai material andalan, salah satunya adalah kulit dan kulit eksotis seperti kulit ular. Teknik yang kerap dikonotasikan pada sang desainer, rajutan, tampak hadir pula pada koleksi musim ini.
 
SPIRIT KEBARUAN
Awal tahun 2017 silam, dua label naik daun asal Amerika, Rodarte dan Proenza Schouler, mengumumkan rencana mereka untuk memindahkan show-nya dari New York ke Paris. Tak hanya itu, keduanya “sepakat” untuk tidak terpaku pada jadwal baku presentasi koleksi ready-to-wear di pekan mode pada umumnya. Beruntung, keduanya secara tak terduga masuk dalam daftar invited members di pekan mode adibusana di Paris.
 
Fédération de la Haute Couture et de la Mode kerap mengundang sejumlah label untuk menjadi tamu dan mempresentasikan koleksinya di gelaran Haute Couture Fashion Week. Beberapa merupakan tamu reguler (contohnya Ralph & Russo dan J. Mendel), beberapa lagi merupakan tamu “musiman”.  Jika musim dingin 2016/17 silam, Vetements menjadi salah satu invited members. Musim ini, giliran Rodarte, Proenza Schouler, A.F. Vandevorst; yang masuk dalam invited members
 
Konsep mengundang label ready-to-wear sendiri dinilai mampu memberikan “kesegaran” pada pekan mode adibusana, di mana label yang umumnya bergelut dengan pakaian siap pakai (dipoduksi dalam skala besar dengan ukuran tubuh standar) membuat one-of-a-kind pieces. Produk adibusana yang secara hukum dilindungi dan harus memenuhi sejumlah kriteria, seperti kualitas paripurna, traditional know-how, handwork dan tailor-made. Serenteng kriteria—dari daftar yang lebih panjang lagi—yang kini hanya bisa dipenuhi oleh 15 couture house, termasuk di antaranya Chanel, Dior, Jean Paul Gaultier, Maison Margiela, dan Giambattista Valli.
 
Berbeda dengan Proenza Schouler dan Rodarte yang lebih memilih menyebut koleksi mereka sebagai koleksi ready-to-wear musim panas 2018, A.F. Vandevorst sebaliknya. Koleksi couture dari label Belgia besutan suami-istri, An Vandevorst and Filip Arickx tersebut, mengusung sebuah misi: upgrading. Mengambil material “non-mewah” seperti plastik dan rafia, couture bagi A.F. Vandevorst merupakan sebuah metode yang seharusnya tidak dibatasi oleh bahan. Apapun bisa bernilai mewah selama dikerjakan dengan teknik dan perlakuan yang cakap. Mengadaptasi inspirasi baroque hingga desain busana militer, tampilan teatrikal dipertegas lewat penataan busana.
 
Rodarte sendiri memilih tampilan feminin dengan penggunaan sifon ringan dan warna-warna pastel. Penggunaan sepatu bot kulit ular menjadi penyeimbang tampilan feminin yang identik akan aksen ruffles dan hias appliqués.
 
Proenza Schouler mencoba menemukan keseimbangan dari teknik Parisian couture—mereka bekerjasama dengan sejumlah artisan Paris dan atelier—yang kompleks dengan gaya American cool yang identik pada label mereka. Hasilnya, tampilan seksi yang segar dan muda dengan eksplorasi material serta teknik yang jamak. Dari mantel jacquard flora, celana renda, hingga rok berpotongan tinggi. (RW) FOTO: Dok. Azzedine Alaïa, A.F. Vandevorst, Rodarte, Proenza Schouler
 

 

Author

DEWI INDONESIA