Cerita Pekan Penuh Kesan di Pesisir Dalmatia
Suasana khas peninggalan zaman pertengahan bertemu gaya hidup masa kini di sepanjang Kroasia hingga Montenegro dan Bosnia Herzegovina, berujung pada sebuah restoran dengan latar kisah serial Game of Thrones.
7 Dec 2016


1 / 3

Sebuah kesempatan untuk pergi ke Venesia datang pada saya sebagai kejutan manis, September lalu. Ada serangkaian acara fashion yang harus saya hadiri saat itu. Tapi, bukan itu yang ingin saya ceritakan di sini. Saya tidak terbiasa bepergian ke Eropa di awal musim gugur, namun rasa cinta terhadap traveling berujung pada keputusan bahwa perjalanan takkan berakhir di Venesia. Saya akan melanjutkannya ke Dalmatian Coast, daerah pantai yang melintasi Kroasia dan Montenegro, dan sering disebut-sebut sebagai The Riviera berikutnya.

 

Satu di antara sekian banyak alasan saya pergi ke Dalmatian Coast, adalah cuacanya yang relatif hangat di musim gugur. Bekerja sama dengan suami (sejujurnya lebih banyak dia yang bekerja), rencana aktivitas liburan pun segera tersusun. Rencana itu meliputi kunjungan ke Dubrovnik di Kroasia, Kotor di Montenegro, dan Mostar di Bosnia Herzegovina. Penutup perjalanan ini adalah relaksasi di Split dan Zadar, Kroasia, supaya kami bisa dengan mudah pulang melalui Frankfurt, Jerman.

 

Tiba di Dubrovnik pada suatu Jumat sore, petualangan dimulai dengan menyetir ke Grand Villa Argentina, tempat kami akan menginap. Villa dengan arsitektur bergaya asli Dalmatia ini terletak di tebing yang curam di kaki gunung yang berselimut hutan pinus. ‘Para tetangganya’ adalah reruntuhan bangunan lama yang memberi kesan dramatis. Sementara itu pemandangan Laut Adriatik tertangkap mata sejak di area resepsionis. Saya pun segera berniat menyempatkan diri untuk menjelajahi berbagai sudut villa ini. Tapi tidak secepat itu, karena sudah dekat waktunya bersantap malam saat proses check-in selesai, dan saya tidak membuang banyak waktu untuk bersiap-siap pergi. Malam itu, baik saya maupun suami terbebas dari tugas menyetir, karena kami bisa dengan mudah pulang pergi ke restoran menumpang Uber.

 

Pilihan kami untuk santap malam pertama di Dubrovnik jatuh pada Restaurant Pantarul, yang nama-nama menunya mudah saja untuk dimengerti. Cream of feta cheese with chicory, Calamari and fava bean risotto, grilled fish fillet with Dalmatian-style vegetable hingga gourmet burger tersedia di sini. Tata ruangnya terkesan berjiwa muda dengan ruang-ruang lapang dan meja kursi berdesain simpel. Sementara itu identitasnya sebagai restoran di Dubrovnik, terlihat pada sebagian dinding yang terbuat dari batu tua. Bicara soal dinding dan batu tua, saya memang tak henti-hentinya mengagumi Dubrovnik untuk dua hal itu. Saya meluangkan waktu khusus pada siang hari untuk menjelajahi area kota tua di sini, melihat-lihat pasar dan toko-toko kecilnya, dan tak lupa mampir di beberapa restoran. Sebut saja Locanda Peskerija untuk santap siang, dengan menu sotong panggang dan kerang saus wine yang terkenal. Kami bisa menikmati hidangan yang disajikan di kuali besi hitam sambil duduk di teras sebelah perairan. Tembok kota tua, pelabuhan lama, dan pasar ikan di sekitar restoran, ikut membangun suasana khasnya. Restoran ini selalu ramai, tamu-tamunya datang, makan, dan pergi dengan cepat, sehingga bahan-bahan masakan yang dipakai selalu habis dan diganti yang baru, terjamin kesegarannya.

 

Puas menikmati masakan gaya Adriatik dan wine yang harganya membuat tersenyum, saya banyak berjalan kaki menelusuri area kota tua Dubrovnik. Tembok-tembok tinggi sengaja dibangun di masa lalu untuk melindungi kota ini dari serangan musuh. Kini, lorong-lorong kecil di antara deretan gedung tua dengan arsitektur gaya abad pertengahan dan Renaissance, seolah siap membisikkan cerita dari zaman dahulu. Tetapi bukannya kota tua ini tak bergerak seiring dengan berjalannya waktu. Saat langkah kaki membawa saya ke Stradun, deretan toko cendera mata, galeri, hingga kedai kopi seakan memanggil-manggil dari kanan kiri. Saya terus berjalan melintasi lorong di antara tembok-tembok kota, melewati bangunan dengan tangga batu yang sungguh atraktif untuk dijadikan latar berfoto. Sebuah pelabuhan lama terletak di sisi luar dinding pelindung kota, berbatasan langsung dengan Laut Adriatik. Sejenak saya melepas lelah dengan duduk di atas batu-batu, diam menatap permukaan air yang cerah memantulkan sinar matahari.

 

Kelanjutan perjalanan ini terus mengisi koleksi foto-foto kota tua saya. Menyusul wajah Dubrovnik, camera roll saya menampakkan Perast yang termasuk dalam wilayah Montenegro. Ada restoran di Hotel Conte tempat saya bersantap siang, yang dari teras luarnya terlihat pemandangan Teluk Verige, pulau kecil St. George, dan pulau buatan tempat berdirinya gereja Our Lady of the Rocks. Sudah puas menikmati menu comfort food di sana, saya pun naik perahu menghampiri gereja yang sebelumnya saya pandangi dari teras restoran. Our Lady of the Rocks tampak bersahaja dari luar, dengan dinding batu, atap terakota, dan kubah biru pucat. Tetapi bagian dalamnya terkesan megah dengan altar yang penuh ornamen rumit karya pemahat Antonio Capellano dari Genoa, Italia. Artefak batu, perak, serta lukisan dinding dan langit-langit bergaya Baroque juga turut menghiasi interior gereja ini.

 

Satu hari saja yang kami luangkan untuk menjelajahi Montenegro, tak boleh tidak terisi dengan jadwal yang padat. Perjalanan dengan mobil kami lanjutkan dari Perast ke Kotor, kota yang sebagaimana Dubrovnik juga dikelilingi oleh dinding-dinding pelindung, berbatasan dengan Laut Adriatik. Waktu berjalan cukup perlahan di sini, hingga rasanya saya punya cukup waktu mendaki seribu lebih anak tangga untuk mencapai Castle of San Giovani. Keberuntungan sedang menaungi perjalanan saya kali ini, dengan matahari yang terus bersinar dan langit bersih. Tak ada hujan yang menghalangi keinginan saya untuk naik dengan aman sampai ke puncak. Dan sesampainya di sana, rasa lelah karena mendaki terbayar dengan pemandangan Kotor dari ketinggian. Ada kota yang terlihat megah dengan bangunan modern, perairan teluk, dilatari pegunungan yang kehijauan berselimut pepohonan. Perjalanan turun kembali ke kota tua Kotor, ditemani matahari yang bersiap terbenam. Kami masih sempat melewati beberapa sudut menarik sebelum akhirnya bersantap malam di Galion, Hotel Vardar. Sudah sejak jauh hari kami memesan meja di dalam atrium kaca, sehingga bisa menikmati menu seafood andalan mereka sambil menatap kapal-kapal yang tertambat di dermaga berlatar dinding kota Kotor.

 

Bosnia Herzegovina adalah tujuan perjalanan siang hari berikutnya. Kepergian kami dengan mobil menuju Mostar (kota terpenting di negeri ini) terasa santai dengan momen-momen singgah sejenak di beberapa titik. Ada saatnya ketika kami berhenti di jalan raya yang membelah padang-padang rumput, menyapa kawanan domba yang berbaris menyeberang jalan. Kali lainnya, sebuah danau yang permukaan airnya kehijauan memantulkan bayangan pepohonan, memaksa kami berhenti sejenak. Kesederhanaan yang menyegarkan mata itu terasa sayang dilewatkan begitu saja.

 

Memasuki Mostar pada tengah hari, agenda kami terasa cukup santai diisi dengan istirahat sejenak di Muslibegovic House, penginapan yang menempati rumah keluarga bangsawan Herzegovina. Bangunannya memiliki 12 kamar untuk disewa, serta museum yang menggambarkan keseharian keluarga yang menghuni bangunan ini dahulu. Tata ruang di area hotel termasuk kamar kental bergaya Ottoman, mempertemukan nuansa masa lalu dengan kini. Di luar hotel, geliat kota Mostar seakan-akan berpusat pada tepian sungai Neretva, dengan jembatannya yang terkenal yaitu Stari Most. Setelah berkendara cukup jauh dari Kotor pagi tadi, siang hari di Mostar kami isi dengan bersantap di Konoba Taurus Restaurant, menikmati hidangan khas setempat. Ada kebab daging sapi, paprika dan bawang Bombay berisi daging cincang, setup daging dan sayuran, hingga baklava sebagai hidangan penutupnya. Berjalan-jalan santai di sekitar jembatan Stari Most sesudahnya, terasa bagai pilihan terbaik selagi tubuh mencerna bermacam hidangan tadi. Tak jauh dari area kota tua dan pertokoan, Ada Masjid Koski Mehmed-Pasha yang terkenal dengan minaretnya, bisa dinaiki melalui tangga spiral yang cukup menantang. Puncak minaret tersebut menawarkan sudut pandang yang menarik ke arah jembatan, dua sisi kota Mostar yang terbelah aliran sungai, dan permukaan sungai berwarna hijau toska. Ambisi untuk menjelajahi area kota tua di sini pada sore hari, saya alihkan menjadi petualangan kecil di seputar jembatan Stari Most pagi-pagi sekali keesokan harinya. Sebuah petualangan yang menarik terutama karena diakhiri dengan sarapan tak terlupakan buatan nyonya rumah di Muslibegovic House. Saat jam menunjukkan pukul setengah sembilan, saya dan suami sudah duduk di mobil sewaan, siap berkendara ke Tekija Blagaj, biara kaum Dervish yang berkomitmen untuk hidup dalam kesalehan dan kebersahajaan. Hanya selintas saja kami menjelajahinya, lalu melanjutkan perjalanan ke air terjun Kravice di lembah sungai Neretva. Keadaan alam di sana sungguh menyegarkan mata, dan sejenak saya diam saja mengamati aliran air yang terhempas ke sungai, permukaannya hijau kemilau memantulkan sinar matahari yang lagi-lagi tak malu menampakkan diri pada hari itu.

 

Mostar, Montenegro, perlahan-lahan menghilang di belakang laju mobil kami yang kembali memasuki wilayah Kroasia. Kota tujuan kali ini, Split, menyambut dengan kehangatan khas kota pantai yang penuh gairah hidup. Sejumlah restoran, kafe, dan wine and cheese bar, berdiri berdampingan dengan bangunan indah peninggalan masa lalu seperti Istana Diocletian, Katedral St. Domnius, hingga kuil Jupiter. Kaum muda yang terlihat bergaya resort chic, menikmati hari dengan segelas minuman di tangan sambil mengobrol berkelompok. Ada juga yang sekadar berjalan di sepanjang promenade menikmati hembusan angin pantai, berenang atau main jet ski di tepi laut. Sementara itu sudut lain di Split, tak jauh dari istana, menawarkan deretan butik busana serta aksesori premium. Sekali lagi saya lebih tertarik pada area kota tua, tak terkecuali di Split yang suasana glamornya mengingatkan akan Miami di Florida, AS. Barang-barang kerajinan yang dijajakan di kios-kios kecil menarik mata saya dengan warna-warna cerahnya, dan saya memperhatikan bawang-bawang yang dirangkai dengan untaian tali dijual di pasar sayuran. Pergi dari Split menuju kota-kota berikutnya, saya menenteng dua topi baru.

 

Sebelum mencapai tujuan final di Kroasia yaitu Zadar, saya meluangkan waktu untuk singgah di Sibenik. Alasannya tak jauh-jauh dari makanan yang mau tak mau saya akui, adalah salah satu obsesi terbesar saya. Pelegrini, restoran yang meraih predikat terbaik dari ajang Dobri Restorani Awards, ada di Sibenik. Ajang penghargaan bagi restoran di seantero Kroasia itu sudah digelar untuk ke-lima kalinya oleh Jutarnji List, koran harian terpopuler di sana. Saya beruntung pada hari itu bisa menemui Rudi Stefan, yang menceritakan visinya mendirikan Pelegrini. Restoran ini menyajikan hidangan yang simpel saja, seperti oyster segar, telur ayam yang direbus tak sampai matang gaya Dalmatia, pasta, salad, daging domba bumbu pesto, dan hasil eksperimen seperti rose ice cream dengan asparagus. Berbagai masakan itu disajikan laiknya kreasi berbagai restoran terdepan masa kini, yang tercantum dalam daftar prestisius seperti World’s 50 Best Restaurants. Sibenik, bukan hanya memiliki restoran terbaik di Kroasia dalam dua tahun terakhir, tetapi juga populer sebagai lokasi pengambilan gambar serial TV kabel Game of Thrones. Aktivitas pengambilan gambar untuk serial tersebut betul-betul menjadi hal besar di sana, sampai-sampai restoran sekelas Pelegrini pun bisa tutup di hari syuting. Saya mengisi waktu setelah santap siang dengan menghampiri sudut-sudut yang sering muncul dalam adegan Game of Thrones. Beruntung tak ada syuting hari itu, sehingga saya bisa pulang membawa kenangan manis akan masakan Rudi dan orange wine yang juga saya coba di restorannya.

 

(Seperti diceritakan Christina Lim kepada Muthi Kautsar.) Foto: Dok. Christina, Istimewa

 

 

Author

DEWI INDONESIA