Darurat Bumi dalam Perspektif Dunia Mode dari Sejauh Mata Memandang
Chitra Subyakto dalam rangkaian talkshow #MERAYAKANINDONESIA membahas bisnis mode yang berkesinambungan dan bertanggung jawab pada lingkungan.
25 Oct 2019


Talkshow #MERAYAKANINDONESIA membahas bisnis mode yang berkesinambungan dan bertanggung jawab pada lingkungan, bersama pembicara Chitra Subyakto pemilik label Sejauh Mata Memandang dan Margareth Meutia dari WWF Indonesia.
 

Industri fesyen adalah salah satu penyumbang sampah terbesar nomor dua di dunia. Di awal tahun ini, kita mungkin pernah mendengar sebuah tagar aktivisme bertajuk #sejauhmanakamupeduli yang diinisiasi oleh rumah mode Sejauh Mata Memandang.

Didirikan oleh Chitra Subyakto, Sejauh diakuinya terus belajar mengenai isu limbah tekstil hingga aktivisme menyuarakan stop penggunaan plastik. Chitra mengawalinya dengan menginisiasi narasi pameran bertajuk ‘Laut Kita’.

“Darurat bumi sendiri tidak melulu harus dibawakan dengan gloomy, tetapi kami di sini menghadirkan narasi positif dan membuat pameran Laut Kita,” bukanya.

Dari keinginan untuk membangun kesadaran masyarakat akan sampah. Chitra bersama label miliknya mengusung kampanye ini. “Justru karena kita memiliki label Sejauh Mata Memandang, kita justru punya kekuatan untuk berbagi awareness tentang keadaan bumi, sampah yang sudah ada,” ungkap Chitra.

Mengenai sampah tekstil dari industri mode, bagi Chitra, ia memastikan bahwa produk dari Sejauh terbuat dari kain katun yang dapat terurai dan tidak menggunung menjadi sampah. “Saya tidak mau membuat produk yang saat saya meninggal nanti, produk saya akan menjadi sampah yang numpuk di bantar gebang dan menggunung di sana,” paparnya.

Dengan daya saing yang cukup sengit, Chitra sendiri menjelaskan gaya hidupnya mengenai pay more, buy less. Di mana fast fashion yang setiap tiga bulan sekali berganti tren, akan memiliki kecenderungan konsumen untuk terus membeli pakaian secara massal dan terus-menerus.

Chitra Subyakto menceritakan bagaimana Sejauh Mata Memandang dapat memahami dan berupaya menghasilkan produk yang ramah lingkungan.

Sejauh itu slow fashion. Kita membuat pakaian atau produk yang trendless, yang bisa dipakai hingga 10 tahun mendatang,” ujar Chitra. “Buy things with meanings, jadi belilah sesuatu yang ada artinya. Misalnya, kita mengetahui produk tersebut dibuat dari tangan atau dibuat oleh keluarga pengrajin yang bisa menafkahi, dan lain-lain.”

Yang dimaksud dengan pay more, menurut Chitra, bagaimana kita dapat mempertanyakan bilamana ada baju yang harganya murah sekali. Kita pun diajak untuk mengkritisi apakah tenaga kerja yang membuat baju tersebut, dibayar dengan upah yang layak atau tidak. Serta, apakah bahan dari baju tersebut enviromental friendly atau tidak.

Ia turut menjelaskan labelnya tidak pernah menggunakan polyester dengan alasan bahan tersebut mengandung plastik. “Kami tidak pernah menggunakan polyester, karena itu mengandung plastik. Dan produk olahan dari polyester adalah salah satu yang affordable. Tetapi sampai kita mati, itu akan terus ada dan tidak terurai,” jelasnya.

Chitra mengakui dirinya terus belajar dalam memahami isu climate change, terlebih kiat-kiat untuk membuat produk fesyen yang sustainable dan dipastikan tidak akan menjadi sampah yang menggunung di kemudian hari. (FH)

 


Topic

Jakarta Fashion Week

Author

DEWI INDONESIA