“Bertiga tapi Berempat": Refleksi Politik dalam Bingkai Metateater Gardanalla
Dalam pementasan yang membawa konsep metateater ini, Teater Gardannalla menjadikan panggung sebagai ruang ingatan yang terus berdenyut
14 May 2025




Di ruang pentas Teater Salihara, waktu seolah hadir dalam dimensi yang berlipat-lipat. "Bertiga tapi Berempat", produksi terbaru Teater Gardanalla, bukan sekadar kelanjutan dari lakon “Bertiga” (2009), melainkan semacam palimpsest: lapisan memori yang ditulis ulang, dihapus sebagian, lalu ditorehkan kembali dengan tinta yang berbeda.
 

Tiga Karakter, Empat Tubuh, dan Jejak Sejarah yang Tak Pernah Tuntas


Lakon ini mengisahkan pertemuan tiga mantan aktivis, 13 tahun setelah mereka membakar Majalah Gatra di depan Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada (UGM). Pertemuan mereka bukan reuni biasa, melainkan semacam seks dan pengakuan: hasrat terjalin justru ketika mereka mencoba melarikan diri dari narasi heroik masa lalu.
 
Yang menarik, naskah tiga karakter ini diperankan oleh empat aktor secara bergantian. Bukan sekadar pilihan artistik, tetapi metafora tentang ingatan yang tak pernah tunggal. Sutradara dan penulis naskah pementasan ini, Joned Suryatmoko, mengatakan bahwa lakon “Bertiga tapi Berempat” bertumpu pada dua komponen; yakni akting berlagak, dan metateater (teater berbingkai, atau teater dalam teater).

 
Joned Suryatmoko, penulis naskah pementasan ini, mengajak kita melihat politik sebagai masa lalu, yang seringkali dibicarakan secara nostalgis dan dimanipulasi untuk kepentingan yang berbeda-beda

 
“Jadi bisa dilihat bahwa metateater di sini bekerja dua lapis: bukan hanya soal empat aktor yang memainkan tiga peran, tapi bagaimana peristiwa sejarah itu sendiri terus diulang-ulang, direkonstruksi, dan dimanipulasi di masa kini."
 

Politik sebagai Trauma yang Selalu Dipentaskan Ulang

Melalui dialog-dialognya, lakon ini mengajak penonton menyelami politik sebagai ruang nostalgia sekaligus luka. Adegan-adegannya seperti membongkar cara kita mengenang: apakah ingatan kolektif itu fakta, atau justru fiksi yang sengaja dirawat untuk legitimasi kekuasaan tertentu?
 
Nuansa ini diperkuat oleh pendekatan realisme teatrikal yang memang menjadi kekhasan Gardanalla. Sejak 1997, kelompok teater ini mengeksplorasi kehidupan sehari-hari sebagai medium kritik sosial. Dalam Bertiga tapi Berempat, pendekatan itu dimatangkan: konflik personal tokoh-tokohnya justru menjadi pintu masuk untuk membicarakan manipulasi sejarah, hasrat kuasa, dan kegagalan idealisme.
 

Akting yang Menghancurkan Dinding Keempat


Kehadiran empat aktor untuk tiga peran bukan ini pada akhirnya menjadi bukan sekadar eksperimen bentuk. Teknik ini menciptakan efek distorsi ingatan: penonton dibuat sadar bahwa apa yang mereka saksikan adalah reka ulang yang tak pernah persis sama dengan 'yang sebenarnya terjadi'.
 
Ini sesuai dengan semangat metateater yang diusung Joned, di mana panggung tak lagi menjadi ilusi, melainkan ruang bewusstsein: kesadaran bahwa setiap penceritaan adalah konstruksi. Lewat “Bertiga tapi Berempat”, Teater Gardanalla bukan sekadar mempertanyakan sejarah, tapi juga cara kita berhubungan dengan sejarah itu sendiri.

 
Teks: Mardyana Ulva
Foto: Widhi Cahya

 


Topic

Art

Author

DEWI INDONESIA