Simak Ruang-Ruang Memori Mariana Amiruddin dalam Menemukan Jati Diri
Proses panjang menemukan jati diri yang sesungguhnya oleh sang aktivis perempuan dan HAM, Marina Amiruddin
1 Mar 2017



 
Mariana Amiruddin, komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dulu menyalurkan sikap kritisnya melalui Rohani Islam, kegiatan ektrakurikuler di SMA.  Meskipun presiden Suharto melarang siswa di sekolah pemerintah berjilbab, ia mengenakan jilbab. Untuk melawan kesewenang-wenangan rezim,  ia lantas mendirikan Forum Komunikasi Pelajar Muslim Jakarta dan mengorganisasi siswa lima SMA  membuat petisi tentang jilbab. Para siswa ini mendatangi Majelis Ulama Indonesia dan Muhammadiyah untuk meminta dukungan.  Masih di masa ini, ia ikut lomba menulis yang diselenggarakan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan meraih juara pertama.  B.J. Habibie, ketua ICMI  yang kelak menjadi presiden Indonesia, menyerahkan hadiah untuknya. Salah seorang tamu yang hadir dalam acara penyerahan hadiah itu ternyata pemimpin sebuah organisasi bawah tanah dan mengajaknya berkenalan. Upaya perekrutan mulai dijalankan. Lama-kelamaan ia tergugah menjadi aktivis Islam radikal. Gerakan ini melawan pemerintah Suharto. 
 
Namun, suatu hari ia membaca novel Memoar Seorang Dokter Perempuan karya Nawal El Saadawi, yang dipinjam dari kakaknya. Nawal adalah penulis dan feminis Mesir.  Setelah membaca novel itu, ia perlahan-lahan memasuki tahap baru dalam pemikiran. Buku itu mengubah dirinya menjadi seseorang yang kritis terhadap dogmatisme. “Di novel itu Nawal membongkar soal tubuh. Waktu remaja dia bingung mengapa di tubuhnya harus tumbuh payudara dan sampai pada pelecehan seksual,” kenangnya.  Selesai menyimak Memoar Seorang Dokter Perempuan, ia membaca Perempuan di Titik Nol yang juga novel Nawal. Ia makin terkesan. Bagi Mariana, masalah-masalah perempuan dan pemberontakan sosok-sosok dalam dua karya tadi terasa lebih dekat dibanding soal jilbab. Meskipun begitu, ia masih mengenakan jilbabnya.
 
Ketertarikan Mariana  terhadap Islam sebagai pemikiran dan peradaban berlanjut hingga mahasiswa. Saat kuliah di Fakultas Hubungan Internasional di Universitas Jayabaya, ia mempelajari revolusi Iran.  Ia tidak memuja Ayatollah Khomeini, tapi mengagumi Mohammad Khatami. “Dia seorang moderat. Saya menemukan bahwa sebenarnya bisa ada demokrasi  dalam komunitas Islam.  Khatami mengusulkan dialog peradaban. Skripsi saya tentang sosoknya,” lanjutnya.
 
Tak berapa lama Mariana memutuskan membuka jilbab, “Dan itu terjadi secara alamiah. Saya merasa dengan buka jilbab saya bisa bergaul dengan berbagai orang. Kalau saya pakai jilbab orang pasti menganggap saya orang pengajian. Dengan tidak pakai jilbab, saya bisa bergaul dengan siapa saja.”
 
Ia kemudian membaca Jurnal Perempuan (JP), jurnal pertama di Indonesia yang memuat kajian mengenai isu-isu perempuan.  Akhirnya ia tertarik melanjutkan kuliah S2 di Program Studi Kajian Wanita, Universitas Indonesia, pada 2000. Gadis Arivia Effendi, pendiri JP  yang menjadi salah satu dosennya, meminta Mariana ikut mengelola jurnal tersebut. Ia mengenang, “Pada tahun 2003 saya masuk JP. Sempat juga menjadi jurnalis radio JP, sampai akhirnya menjadi pemimpin redaksi JP dan direkturnya. Semua itu berlangsung selama 10 tahun.”  JP memberi inspirasi kepada banyak perempuan muda.  “Isinya dekat dengan kehidupan mereka meskipun ilmiah. Mereka mengetahui bahwa feminisme itu nyata dan ada dalam kehidupan sehari-hari seorang perempuan,” ujarnya.
 
Sepuluh tahun mengurus JP,  Mariana  ingin memulai sesuatu yang baru, “Dan secara alamiah  harus ada yang menggantikan saya.”  Teman-temannya mendukung ia  mendaftarkan diri ke Komnas Perempuan. “Mereka membantu saya menyiapkan semua itu.” Pada 2015, ia mulai bekerja di Komnas Perempuan sebagai komisioner di lembaga tersebut.
 
 Di Komnas Perempuan, ia dan timnya bekerja untuk kampanye “Mari Bicara Kebenaran”.   Tiga peristiwa menjadi bagian dari pekerjaannya sekarang, yaitu peristiwa Mei 1998, Tanjung Priok dan 1965.
 
Ia lantas bercerita tentang sebuah proses kerja, “Kami mendokumentasikan fakta-fakta dan memorialisasi sebagai bagian dari pemulihan. Kalau ingin menemukan kebenaran, kita harus punya energi untuk mengumpulkan faktanya, sehingga ketika terkumpul dapat kita sebut sebagai kebenaran.  Memorialisasi itu membuat seorang ibu bisa ke sana, bisa berdoa untuk (mendiang) anaknya di situ. Kita butuh membangun ruang-ruang memori sejarah. Gedung-gedung tempat penyiksaan di masa lalu dirawat untuk menjadi bagian dari memori sejarah.”
 
Pada akhir 2015 Mariana menjadi utusan Komnas Perempuan untuk menghadiri International People Tribunal 1965 di Den Haag, Negeri Belanda. Ia mengingat kembali momen tersebut, “Tribunal itu bertujuan menyadarkan  masyarakat internasional tentang adanya peristiwa kelam di Indonesia tahun 1965 dan untuk mendesak pemerintah Indonesia menyelesaikan pelanggaran HAM di tahun 1965. Komnas Perempuan memiliki banyak dokumentasi tentang para perempuan korban 1965, sehingga Tribunal itu ingin Komnas Perempuan ikut serta.”
 
Para hakimnya berpengalaman dalam menyelesaikan perkara-perkara kejahatan kemanusiaan, seperti di Balkan maupun di Kamboja. Sejumlah penyintas memberi kesaksian. “Tanpa kesediaan mereka bersaksi, kita sulit membongkar kebenaran, membuka kebenaran dan menyampaikan kebenaran,” katanya. Kriteria korban yang dibela dalam pengadilan rakyat ini adalah semua korban, tanpa memandang ideologi dan aliran politik.
 
Pemerintah Indonesia awalnya tidak bereaksi positif.  Namun, tak berapa lama Presiden Joko Widodo mendukung penyelenggaraan simposium tentang 1965 di Jakarta. Pemerintah melibatkan pembicara dari kalangan intelektual dan militer. Ia melihat sebuah langkah maju, “Walaupun secara politik tidak langsung mengubah kebijakan negara. Tapi perbincangan tentang itu mulai terbuka di kalangan pemerintahan, media massa dan masyarakat.”
 
Mariana menganggap semua yang telah dilakukannya adalah perjalanan panjang menemukan jati diri.  Pemulihan bangsanya dari luka-luka sejarah adalah juga pemulihan dirinya dari luka yang sama. (LC) Foto: Dok. Reita Devita
 

 

Author

DEWI INDONESIA