Usaha Yori Antar dan Edward Hutabarat Mempertahankan Peradaban dan Mengembangkan Desain
Sebagai senior, yori antar dan edward hutabarat berbagi cerita bagaimana mempertahankan peradaban dan mengembangkan desain.
14 Aug 2015


DW: Bagaimana mempertahankan peradaban dan mengembangkan desain, sebagai yang sudah senior?

ED: Mempertahankan peradaban dan mengembangkan desain tidak bisa semudah itu, kita harus datang dan lihat sendiri lingkungan yang ada di sana. Datang dengan hati, tanpa storyboard. Saya tidak pernah pergi membawa storyboarddeadline, tidak pernah mau ada telepon appointmentno! Hanya kakak saya yang perempuan yang boleh menelepon untuk urusan keluarga. Karena itu kita tidak pernah bisa prediksi modernisasi apa yang didapat, semua tergantung individu yang datang ke sana. Misalnya Yori dengan latar belakang arsitektur datang ke kampung Rende di Sumba Timur, tentu Yori akan menyerap segala hal berhubungan dengan itu. Sedang saya sebagai desainer, saya mengembangkannya secara keseluruhan, sebagai lifestyle yang utuh. Saya akan melihat benda tertentu dan berpikir, lucu juga buat placemat atau tempat bunga.

Jangan pernah memprediksi akan mendapat apa. Datang saja, semua akan terjawab sendiri. Intinya begini, mahakarya itu lahir dari akar. Apa yang kita butuhkan dan pakai di Jakarta sama kok dengan penduduk di Maumere, misalnya. Mereka juga perlu penutup badan, sendok, dan lain-lain. Hanya saja mereka menghasilkannya dari alam, sendok dari tempurung, dari bambu, piring dari batu, tembikar. Kita tentunya sulit menempatkan itu dalam peradaban kita yang sekarang. Cara mengembangkannya, tembikar itu bisa dipadukan dengan kristal dari Baccarat untuk melahirkan sesuatu yang baru. Masterpiece itu lahir dari sesuatu yang genuine dan naif.

YR: Mindset kita sebagai orang modern itu sangat barat dan industri. Saya tidak menyangkal itu, bahkan saya bisa bilang kalau saya arsitek modern. Banyak orang menuduh saya itu arsitek romantis dengan membesarkan rumah-rumah adat. Mereka pikir saya akan menjadi desainer yang membuat rumah-rumah adat di Jakarta, naif sekali kalau saya bikin rumah Wae Rebo di sini, itu namanya artifisial. Yang kita lihat di pedalaman itu real, terkait dengan kearifan lokal dan fakta bahwa rumah-rumah itu dibuat berdasarkan iklim, budaya, dan sebagainya. Jadi rumah real itu adalah yang kembali ke akar dan bersifat eternal, sedangkan kita setiap tahun ganti gaya. Kita mempelajari budaya arsitektur barat, tanpa sadar mematikan arsitektur tradisional. Arsitektur yang dibangun dengan pendekatan gotong royong dan alam.

Seluruh dunia sedang mencari green building atau green architecture, tapi jawabannya itu telah lama ada di belakang rumah kita sendiri. Rumah-rumah di Indonesia itu sudah yang paling hijau! Seluruh dunia sekarang tidak lagi bicara soal style, tapi mana yang paling green. Nah, sekarang yang terjadi adalah mindset modern ini membunuh mindset tradisional. Saya ingin mengnyinergikan keduanya, jika berhasil, kita bisa membuat ledakan nuklir dengan munculnya jutaan inspirasi baru. Misalnya, kalau tradisional itu kan murni rumah tinggal, tapi kalau kita kan ada teater bioskop, rumah ibadah, pusat perbelanjaan, kuncinya adalah bagaimana menciptakan semuanya tanpa menghilangkan rasa Indonesianya.

Kalau kita lihat, Indonesia punya ribuan pulau, etnik suku utamanya ada 560, saingan kita cuma Afrika yaitu 520, tapi Afrika itu kan satu benua. Jadi Indonesia itu paling banyak, bayangkan satu pulau itu bisa ada 75 jenis arsitektur. Kenapa kok kekayaan kita malah punah? Karena kita sudah diubah menjadi bangsa pemakai. Padahal dengan kekayaan budaya seperti ini, kita bisa memengaruhi dunia. Indonesia itu adalah Atlantis sesungguhnya, sumber peradaban.

ED: Sayangnya orang luar itu lebih cepat menyerap budaya kita, contoh sederhana sebuah sekolah berkonsep hijau yang ada di Ubud, Bali. Konsepnya sangat Indonesia.

YR: Nah itu, kalau tidak hati-hati, yang nanti mengkinikan arsitektur Nusantara juga bisa-bisa orang asing. Mereka lebih cepat menangkap kekayaan kita dibanding kita sendiri. Mereka mencari inspirasinya di Indonesia, misalnya Jepang. Mereka mempreteli rumah di Nias untuk mempelajari struktur bangunan tahan gempa, bekerjasama dengan satu perguruan tinggi di Indonesia. Imbalannya universitas ini bisa kirim tiga dosen untuk belajar arsitektur gempa di Jepang, padahal Jepang belajar di sini. Lucu, kan?  

(RW) Foto: Vicky Tanzil

 

 

Author

DEWI INDONESIA