Kekayaan Desain Indonesia Timur dari Sudut Pandang Yori Antar
Seperti apakah pendapat yori antar tentang kekayaan desain Indonesia timur?
1 Sep 2015


DEWI (DW): Pendapat Anda tentang kekayaan desain Indonesia Timur, dan cerita awal hingga akhirnya mendalami desain arsitektur tersebut?

YORI ANTAR (YR): Saya mengadakan acara pelestarian adat di timur Indonesia berawal dari ketidaksengajaan. Dahulu, saya dan tim kerap melakukan perjalanan cinta tanah air setiap tanggal 17 Agustus. Kami ke daerah pelosok-pelosok, dari Sumatra, Nias, Toraja, dan pada tahun 2008, kami khusus melakukan perjalanan ke Flores dan Sumba. Di Flores, kami sangat beruntung menemukan sebuah desa yang sebetulnya tidak ada di dalam jadwal perjalanan kami. Sebuah desa yang punya rumah-rumah adat, yang menurut riset tidak jelas keberadaannya. Desa Wae Rebo namanya. Kami tanya ke semua orang tapi tidak ada yang tahu, dari pengelola hotel hingga pemerintahnya. Saat sudah mulai putus asa mencari dan berpikir tempat ini hanya mitos, kami akhirnya menemukannya. Penduduk setempat datang menjemput karena mendengar pencarian kami, kami pun bertepuk tangan bahagia. Takut juga sebenarnya karena tidak yakin bagaimana reaksi mereka nantinya. Mereka menanyakan tujuan kedatangan, kami bilang mau belajar arsitektur Nusantara. Ternyata, ada antropolog asal Amerika yang sudah sebulan di sana, juga rombongan mahasiswa Taiwan yang sedang dalam program pertukaran, jadi rupanya di sana ada suku serupa. Kami adalah rombongan Indonesia pertama. Aneh, 80 orang datang setiap tahun, tidak ada orang Indonesianya.

                  Di sana saya melihat puncak dari arsitektur Indonesia adalah karya dari leluhur-leluhur kita. Peradaban yang tersisa karena mindset masyarakat yang berubah besar-besaran. Saya mengibaratkan diri layaknya seorang dokter yang melihat orang kena penyakit, kemudian mempelajari penyakitnya, menemukan penyakit baru dan jadi terkenal karena penyakit tersebut, tapi orangnya saya biarkan mati. Secara etika, saya melakukan dosa profesi. Melihat desa adat yang akan mengalami kepunahan, namun saya tidak berbuat apa-apa. Saya harus melakukan sesuatu. Di Wae Rebo, saya menemukan sebuah pintu yang akan membawa ke banyak pintu lain. Kita bisa menyelamatkan rumah adat yang mau punah. Formulanya sederhana, semuanya itu harus datang dari masyarakat atau bottom-up. Orang lain tidak boleh intervensi, sehingga mereka akan membangun rumah seperti aslinya. Jadi rumah-rumah adat semuanya baru tapi asli. Mereka mempelajari kembali cara leluhur membangun rumah dengan cara mempreteli rumah yang dibangun leluhur mereka. Semua arstitek menanyakan arsitektur Indonesia itu bagaimana, tiap tahun dibahas itu lagi-itu lagi, padahal resepnya sederhana. Selama kita berpikir mindset modern, susah. Kita dibombardir dengan mindset luar. Contohnya, orang Indonesia kalau bikin rumah, kontraktor, arsitek, dan kliennya, semua orang Indonesia, hasil rumahnya Spanyol. Indonesianya di mana? Tidak ada.

(RW) Foto: Vicky Tanzil.

 

Author

DEWI INDONESIA