Berkepribadian Istimewa, Inilah Kisah Perjuangan Irsan Meniti Karier dalam Dunia Mode

Vivienne, Galliano, Lacroix, AlaÏa, Thierry. “Vivienne lady like. She knows that she is a daddy’s girl. AlaÏa itu kecil tapi ia seorang penguasa dan tahu martabat. Lacroix adalah sosok yang pengertian. Galliano itu puitis. Thierry, sahabat terbaik yang pernah saya punya. Dengannya saya merasa seperti melepas cinta yang tidak akan kembali. Sangat sulit. Kami bersama selama 11 tahun,” Setelah Thierry wafat, Irsan berpikir tidak akan punya penggantinya. Lambat laun Irsan sadar bahwa tak baik terus bergelut dengan dukacita. Ia ingin bangkit dan menghidupkan semangat Thierry dalam hari-harinya. Ia pun kembali mencipta ragam detail baru dalam karya.
Irsan bukan sedang menyebut karakter sosok perancang mode kelas dunia. Ia tengah bercerita tentang kawan-kawan sejatinya, anjing peliharaan. Nama mereka memang terinspirasi dari para desainer yang Irsan suka. Kami berbincang di salah satu kafe di Jakarta. Duduk berhadapan dalam ruang segi empat berplafon tinggi dengan jendela masif yang terbuka, bercahayakan sinar matahari, dan pemandangan taman. Sorot matanya berbinar, ia kerap tersenyum penuh makna. Sering juga ia tertawa. Perbincangan kami terjadi kurang dari 24 jam setelah Irsan sampai di ibukota. Kami sarapan bersama.
Irsan memilih duduk menghadap ke lahan hijau. Ia tak suka melihat orang lalu-lalang. Keramaian membuatnya resah. Ketinggian pun demikian. Untuk bisa naik pesawat dan menghadapi keramaian dengan sedikit tenang, ia perlu bantuan beberapa teguk alkohol. “Sekarang bir saja sudah cukup,” katanya. Ia pernah menjadi pecandu alkohol dan berhenti saat merasa tubuh sudah terlalu gemuk.
Sesaat kami membayangkan apa yang hendak ia lakukan beberapa jam ke depan saat mesti berdesakan di antrian masuk sebuah peragaan busana dan duduk di bangku VIP pada perhelatan penutup Jakarta Fashion Week 2017.
Tumben memang. Pasalnya Irsan tak pernah hadir di acara. Bahkan, tak banyak yang tahu bentuk fisik dan wajah Irsan. Ia hanya ‘turun gunung’ kalau sedang ada pekerjaan mengunjungi klien atau kalau sedang ingin. Ia tak pernah bisa dipaksa. Di kalangan media, Irsan dikenal orang yang keras. Ia melakukan (hampir) semua hal sesuai irama hati. Jangankan wawancara atau memintanya hadir di sebuah acara, meminjam baju untuk urusan pemotretan saja susahnya setengah mati. Kalau ia membalas e-mail dengan jawaban tidak, sebaiknya tidak perlu mencoba lagi. Pasalnya jawaban tersebut (seringnya) bersifat mutlak untuk waktu tak terhingga… sekali lagi, waktu di mana hanya Irsan yang tahu kepastiannya.
Sosok pria ini memang kontroversial. Di zaman di mana kebanyakan desainer dengan sukacita meminjamkan atau memberikan baju mereka secara cuma-cuma untuk digunakan selebriti, ‘artis Instagram’, atau bagi kebutuhan iklan komersil; Irsan justru memilih sebaliknya. Ia tidak sudi memberikan ‘complimentary’pada orang ia anggap mampu dan berduit. ‘Manusia gratisan’ kalau kata Irsan. “Mengapa mereka bisa mengeluarkan uang ratusan juta untuk beli barang branded tapi maunya gratisan untuk desainer?” Filosofi tersebut dipegang Irsan dari awal karier hingga sekarang. Jika Anda melihat ia show atau orang mengenakan House of Irsan, maka Anda tahu kalau orang tersebut (atau penyelenggara show tersebut) sungguh-sungguh mempersiapkan budget untuk Irsan (dan timnya) bekerja. Sebagian orang menilai Irsan terlalu kepala batu dan kurang fleksibel mengadopsi gaya publikasi masa kini. Ia tidak peduli. Menurut Irsan, adalah sebuah kewajaran bagi orang berduit untuk membayar dan tidak menerima ‘sedekah’.
Kontroversi lainnya adalah Irsan kerap membuat orang menunggu show-nya dimulai. Bukan dengan sengaja, ia hanya ingin memastikan semua yang keluar di panggung adalah sesuatu yang akan dikenang orang. Ia punya waktu dan standarnya sendiri. Tak ada yang bisa mengganggu atau memintanya mempercepat proses persiapan. Kami bertanya, tidakkah ia khawatir dibilang kurang persiapan? Atau berlagak bak diva karena membuat tamu menunggu?
Perumpamaannya sebenarnya sederhana. Pernahkah mendegar—misalnya— Jackson Pollock, Sebastian Bach, atau seniman lain, diburu-buru mempercepat proses kreatif mereka? Bagi Irsan, jika belum saatnya, berarti belum saatnya. Tunggu! Sebab, tidak ada generalisasi waktu di dunia kreatif, masing-masing orang punya proses dan timing-nya sendiri-sendiri.
Karena dianggap sosok yang ‘terlalu sulit’, rumor berkembang di masyarakat awam jika namanya banyak di-blacklist oleh media-media raksasa dan agensi mode besar. Namun kejadian di lapangan tampak sebaliknya. Tanpa diketahui jamak orang, pengarah gaya top (baik dari media maupun komersil), fotografer mode, media, dan public relations ajang-ajang mode prestisius banyak yang diam-diam mengontak Irsan untuk meminjam baju atau memintanya show. Tentu kebanyakan berakhir dengan getir penolakan.
Lalu mengapa ia tetap menjadi sesuatu yang diinginkan (bahkan dengan segala kontroversi dan filosofi yang dianggap orang terlalu kaku)? Ia hanya menjawab dengan senyum. “Menurut kamu kenapa?” Tanya Irsan kembali sembari menyeruput kopinya. Matanya tajam, meski terkesan tak acuh.
Di masa lalu, di rumahnya di Bali, beberapa kali Irsan mengadakan private party. Tamunya tentu orang-orang yang ia kenal. Namun hal itu tetap tak mampu membuat dirinya betah di ruangan pesta. Ia hanya menyapa para tamu di awal acara, lantas kembali ke kamar. Berada di dalam sana seorang diri bersama buku- buku.
Sejak kecil ia memang seorang penyendiri. “Saya seorang pemimpi. Di umur lima tahun saya memutuskan untuk mengganti nama dan saya sudah tahu hendak menjadi sosok seperti apa,” katanya. Ia lahir dan menghabiskan masa kecil di Tapanuli, Sumatera Utara. Pada masa itu ia telah familiar dengan nama Rudolf Nureyev, penari balet asal Rusia; Madame Margot Fonteyn, penari balet asal Inggris; dan suara soprano Maria Callas, idolanya sampai hari ini.
Irsan adalah nama yang ia ciptakan. “Ayah dan Ibu ialah sosok yang pintar. Saya berpikir apa yang bisa saya berikan bagi mereka? Saya ingin membuat sesuatu yang bisa dibanggakan tetapi saya mau melakukannya di luar bayang-bayang mereka. Irsan adalah identitas baru dan saya memulainya dari nol,” kenangnya.
Nureyev sempat membuat Irsan ingin bercita-cita menjadi penari balet. Sayangnya saat itu kondisi Irsan sebagai anak bungsu yang belum mendekati usia dewasa belum memungkinkan untuk merantau ke luar kota. Keinginan itu berganti menjadi seorang pelukis. Tetapi ia berpikir ulang. Menurutnya, seorang pelukis baru bisa terkenal di usia senja. Waktu itu hal yang mendekati keinginan dan memungkinkan untuk dijalani ialah menjadi desainer busana.
Di usia 16 tahun, tiga hari tiga malam bersama sang ibu ia menuju Jakarta menggunakan bus. Ia bersekolah di Lembaga Pengajaran Tata Busana Susan Budihardjo. Beberapa bulan kemudian ia kehabisan uang. “Dengan Ibu saya bersandiwara. Setiap ia telepon, saya mengeraskan nada suara dan berbicara seolah semua baik. Saya aktor yang bagus. Mulut boleh berbohong, tetapi hati harus jujur. Prinsip saya, tidak ingin merugikan orang lain,” katanya. Kondisi sesungguhnya, Irsan hanya menyantap satu buah roti sobek selama tiga hari. “Saya membatasi ibu untuk membiayai kebutuhan hidup saya.”
Ia ingin berhenti sekolah tetapi sang guru tak rela ia putus hubungan dengan ranah mode. Akhirnya Irsan bekerja pada desainer Didi Budiardjo. “Saya bersyukur, Mas Didi memberi saya kepercayaan.”
Sebagian besar waktu di akhir pekan habis di toko buku. Dari pagi sampai menjelang malam. “Toko buku adalah sekolah saya. Saya membaca tanpa membeli,” Di hari gajian, Irsan membeli sepotong ayam untuk memanjakan perut. “Tidak punya uang dan tidak makan itu biasa. Saya tidak takut.”
Keberanian itu membuat kami spontan terdiam. “I want to feel how the real human cry when there is no money. I love the fine taste but I have no money.” Saya lantas membayangkan jajaran busana karya Irsan, melalui label House of Irsan yang selalu terasa kompleks, berani, dan anggun dengan caranya sendiri. Memanggil untuk didekati dan disimak layaknya karya seni yang ada dalam galeri. Saya memandang Irsan seorang seniman. Ia tak pernah “berteriak” supaya dilihat. Rasanya kita sama-sama tahu bahwa sesuatu yang dibuat dengan kesungguhan hati otomatis sanggup mengundang perhatian.
“Katalog” beberapa karyanya diterbitkan oleh Designers and Books (DAAB), sebuah penerbit buku-buku seni, arsitektur, dan mode. Busana Irsan ada di dalam terbitan Fashion Inspirations dan Young Asian Fashion Designers. Pada tahun 2007 dan 2009. Buku-buku itu tersimpan bersama sejumlah tulisan tentang dirinya di beberapa media dalam negeri. Tidak banyak.
“Saya bukan desainer. Saya tidak punya toko, tidak pernah mengadakan regular show atau peragaan tahunan. Saya mengejakan anonymous project untuk desainer dan beberapa perusahaan ready-to-wear di dalam dan luar negeri. Saya ini adalah pemilik usaha kecil. Tukang jahit yang menerima pesanan dari klien-klien. Saya akui karya saya belum ada yang sempurna. Kita harus bisa mengevaluasi kekuatan dan kelemahan karya dengan perbandingan apakah nilai karya masih bisa dinikmati 10 atau 20 tahun lagi.”
Irsan yang mengaku bukan desainer ini pernah bekerjasama dengan Simon Azoulay, melalui Pi?ce Unique, lini mode asal Paris yang fokus pada eksplorasi material yang tak lazim digunakan di ranah busana seperti berbagai jenis metal, akrilik, fiber glass, dan sebagainya. Selain Bali, Paris adalah tempat yang membuat ia merasa berada di rumah. Di dua tempat ini ia menemukan kebebasan untuk mengeksplorasi diri tanpa tekanan dari lingkungan sekitar.
Sesekali obrolan kami diiringi musik Björk, penyanyi asal Islandia yang gemar mengeluarkan karya eksperimental. Ada kesamaan antara mereka. Sama-sama suka terobosan dan fans Maria Callas. Irsan bicara tentang baju-baju yang ia beli sebagai bahan pelajaran. “Helmut Lang, Miuccia Prada, Yohji Yamamoto. Saya membeli karya signature.” Di kemudian hari busana-busana itu ia berikan cuma-cuma pada orang yang dianggap mampu menjaganya.
Tujuh tahun terakhir Irsan vakum. “Saya hanya berkarya bila di saat itu sedang membutuhkan uang atau sedang mood. Saya hanya bisa memenuhi permintaan dari orang yang saya suka,” tuturnya lugas. Ia menikmati rentang waktu vakum sesuka hati. Ada kalanya ia tak ingin menerima tamu. Ada waktunya ia rela ditemani oleh sang partner. Irsan berkata bahwa dirinya tak punya teman atau sahabat, “Orang dan waktu akan berubah. Kita harus bisa menerima perubahan. Saya hanya punya perasaan suka yang mendalam pada hal-hal tak tergantikan seperti Tuhan dan ibu saya.”
Irsan berharap agar karyanya menjadi mata pelajaran di universitas. “Sebuah pemberian warisan terikhlas. Ilmu yang tak lekang waktu. Soalnya saya enggan memberi benda yang nilainya akan pupus di kemudian hari. Hal yang akan diwujudkan ialah menjadi guru suatu hari nanti,” harapnya.
Tak terasa, sesi sarapan kami sudah berlangsung lebih dari empat jam. Pengakuannya yang menyebut bahwa ia tidak punya teman dekat ini ternyata adalah teman bicara yang cukup menyenangkan dan pengertian. Katanya, yang paling penting ialah sikap jujur dan realistis. Irsan ialah ciptaan yang menghanyutkan. (JAR) Foto: Dok. Yohan Liliyani
Irsan bukan sedang menyebut karakter sosok perancang mode kelas dunia. Ia tengah bercerita tentang kawan-kawan sejatinya, anjing peliharaan. Nama mereka memang terinspirasi dari para desainer yang Irsan suka. Kami berbincang di salah satu kafe di Jakarta. Duduk berhadapan dalam ruang segi empat berplafon tinggi dengan jendela masif yang terbuka, bercahayakan sinar matahari, dan pemandangan taman. Sorot matanya berbinar, ia kerap tersenyum penuh makna. Sering juga ia tertawa. Perbincangan kami terjadi kurang dari 24 jam setelah Irsan sampai di ibukota. Kami sarapan bersama.
Irsan memilih duduk menghadap ke lahan hijau. Ia tak suka melihat orang lalu-lalang. Keramaian membuatnya resah. Ketinggian pun demikian. Untuk bisa naik pesawat dan menghadapi keramaian dengan sedikit tenang, ia perlu bantuan beberapa teguk alkohol. “Sekarang bir saja sudah cukup,” katanya. Ia pernah menjadi pecandu alkohol dan berhenti saat merasa tubuh sudah terlalu gemuk.
Sesaat kami membayangkan apa yang hendak ia lakukan beberapa jam ke depan saat mesti berdesakan di antrian masuk sebuah peragaan busana dan duduk di bangku VIP pada perhelatan penutup Jakarta Fashion Week 2017.
Tumben memang. Pasalnya Irsan tak pernah hadir di acara. Bahkan, tak banyak yang tahu bentuk fisik dan wajah Irsan. Ia hanya ‘turun gunung’ kalau sedang ada pekerjaan mengunjungi klien atau kalau sedang ingin. Ia tak pernah bisa dipaksa. Di kalangan media, Irsan dikenal orang yang keras. Ia melakukan (hampir) semua hal sesuai irama hati. Jangankan wawancara atau memintanya hadir di sebuah acara, meminjam baju untuk urusan pemotretan saja susahnya setengah mati. Kalau ia membalas e-mail dengan jawaban tidak, sebaiknya tidak perlu mencoba lagi. Pasalnya jawaban tersebut (seringnya) bersifat mutlak untuk waktu tak terhingga… sekali lagi, waktu di mana hanya Irsan yang tahu kepastiannya.
Sosok pria ini memang kontroversial. Di zaman di mana kebanyakan desainer dengan sukacita meminjamkan atau memberikan baju mereka secara cuma-cuma untuk digunakan selebriti, ‘artis Instagram’, atau bagi kebutuhan iklan komersil; Irsan justru memilih sebaliknya. Ia tidak sudi memberikan ‘complimentary’pada orang ia anggap mampu dan berduit. ‘Manusia gratisan’ kalau kata Irsan. “Mengapa mereka bisa mengeluarkan uang ratusan juta untuk beli barang branded tapi maunya gratisan untuk desainer?” Filosofi tersebut dipegang Irsan dari awal karier hingga sekarang. Jika Anda melihat ia show atau orang mengenakan House of Irsan, maka Anda tahu kalau orang tersebut (atau penyelenggara show tersebut) sungguh-sungguh mempersiapkan budget untuk Irsan (dan timnya) bekerja. Sebagian orang menilai Irsan terlalu kepala batu dan kurang fleksibel mengadopsi gaya publikasi masa kini. Ia tidak peduli. Menurut Irsan, adalah sebuah kewajaran bagi orang berduit untuk membayar dan tidak menerima ‘sedekah’.
Kontroversi lainnya adalah Irsan kerap membuat orang menunggu show-nya dimulai. Bukan dengan sengaja, ia hanya ingin memastikan semua yang keluar di panggung adalah sesuatu yang akan dikenang orang. Ia punya waktu dan standarnya sendiri. Tak ada yang bisa mengganggu atau memintanya mempercepat proses persiapan. Kami bertanya, tidakkah ia khawatir dibilang kurang persiapan? Atau berlagak bak diva karena membuat tamu menunggu?
Perumpamaannya sebenarnya sederhana. Pernahkah mendegar—misalnya— Jackson Pollock, Sebastian Bach, atau seniman lain, diburu-buru mempercepat proses kreatif mereka? Bagi Irsan, jika belum saatnya, berarti belum saatnya. Tunggu! Sebab, tidak ada generalisasi waktu di dunia kreatif, masing-masing orang punya proses dan timing-nya sendiri-sendiri.
Karena dianggap sosok yang ‘terlalu sulit’, rumor berkembang di masyarakat awam jika namanya banyak di-blacklist oleh media-media raksasa dan agensi mode besar. Namun kejadian di lapangan tampak sebaliknya. Tanpa diketahui jamak orang, pengarah gaya top (baik dari media maupun komersil), fotografer mode, media, dan public relations ajang-ajang mode prestisius banyak yang diam-diam mengontak Irsan untuk meminjam baju atau memintanya show. Tentu kebanyakan berakhir dengan getir penolakan.
Lalu mengapa ia tetap menjadi sesuatu yang diinginkan (bahkan dengan segala kontroversi dan filosofi yang dianggap orang terlalu kaku)? Ia hanya menjawab dengan senyum. “Menurut kamu kenapa?” Tanya Irsan kembali sembari menyeruput kopinya. Matanya tajam, meski terkesan tak acuh.
Di masa lalu, di rumahnya di Bali, beberapa kali Irsan mengadakan private party. Tamunya tentu orang-orang yang ia kenal. Namun hal itu tetap tak mampu membuat dirinya betah di ruangan pesta. Ia hanya menyapa para tamu di awal acara, lantas kembali ke kamar. Berada di dalam sana seorang diri bersama buku- buku.
Sejak kecil ia memang seorang penyendiri. “Saya seorang pemimpi. Di umur lima tahun saya memutuskan untuk mengganti nama dan saya sudah tahu hendak menjadi sosok seperti apa,” katanya. Ia lahir dan menghabiskan masa kecil di Tapanuli, Sumatera Utara. Pada masa itu ia telah familiar dengan nama Rudolf Nureyev, penari balet asal Rusia; Madame Margot Fonteyn, penari balet asal Inggris; dan suara soprano Maria Callas, idolanya sampai hari ini.
Irsan adalah nama yang ia ciptakan. “Ayah dan Ibu ialah sosok yang pintar. Saya berpikir apa yang bisa saya berikan bagi mereka? Saya ingin membuat sesuatu yang bisa dibanggakan tetapi saya mau melakukannya di luar bayang-bayang mereka. Irsan adalah identitas baru dan saya memulainya dari nol,” kenangnya.
Nureyev sempat membuat Irsan ingin bercita-cita menjadi penari balet. Sayangnya saat itu kondisi Irsan sebagai anak bungsu yang belum mendekati usia dewasa belum memungkinkan untuk merantau ke luar kota. Keinginan itu berganti menjadi seorang pelukis. Tetapi ia berpikir ulang. Menurutnya, seorang pelukis baru bisa terkenal di usia senja. Waktu itu hal yang mendekati keinginan dan memungkinkan untuk dijalani ialah menjadi desainer busana.
Di usia 16 tahun, tiga hari tiga malam bersama sang ibu ia menuju Jakarta menggunakan bus. Ia bersekolah di Lembaga Pengajaran Tata Busana Susan Budihardjo. Beberapa bulan kemudian ia kehabisan uang. “Dengan Ibu saya bersandiwara. Setiap ia telepon, saya mengeraskan nada suara dan berbicara seolah semua baik. Saya aktor yang bagus. Mulut boleh berbohong, tetapi hati harus jujur. Prinsip saya, tidak ingin merugikan orang lain,” katanya. Kondisi sesungguhnya, Irsan hanya menyantap satu buah roti sobek selama tiga hari. “Saya membatasi ibu untuk membiayai kebutuhan hidup saya.”
Ia ingin berhenti sekolah tetapi sang guru tak rela ia putus hubungan dengan ranah mode. Akhirnya Irsan bekerja pada desainer Didi Budiardjo. “Saya bersyukur, Mas Didi memberi saya kepercayaan.”
Sebagian besar waktu di akhir pekan habis di toko buku. Dari pagi sampai menjelang malam. “Toko buku adalah sekolah saya. Saya membaca tanpa membeli,” Di hari gajian, Irsan membeli sepotong ayam untuk memanjakan perut. “Tidak punya uang dan tidak makan itu biasa. Saya tidak takut.”
Keberanian itu membuat kami spontan terdiam. “I want to feel how the real human cry when there is no money. I love the fine taste but I have no money.” Saya lantas membayangkan jajaran busana karya Irsan, melalui label House of Irsan yang selalu terasa kompleks, berani, dan anggun dengan caranya sendiri. Memanggil untuk didekati dan disimak layaknya karya seni yang ada dalam galeri. Saya memandang Irsan seorang seniman. Ia tak pernah “berteriak” supaya dilihat. Rasanya kita sama-sama tahu bahwa sesuatu yang dibuat dengan kesungguhan hati otomatis sanggup mengundang perhatian.
“Katalog” beberapa karyanya diterbitkan oleh Designers and Books (DAAB), sebuah penerbit buku-buku seni, arsitektur, dan mode. Busana Irsan ada di dalam terbitan Fashion Inspirations dan Young Asian Fashion Designers. Pada tahun 2007 dan 2009. Buku-buku itu tersimpan bersama sejumlah tulisan tentang dirinya di beberapa media dalam negeri. Tidak banyak.
“Saya bukan desainer. Saya tidak punya toko, tidak pernah mengadakan regular show atau peragaan tahunan. Saya mengejakan anonymous project untuk desainer dan beberapa perusahaan ready-to-wear di dalam dan luar negeri. Saya ini adalah pemilik usaha kecil. Tukang jahit yang menerima pesanan dari klien-klien. Saya akui karya saya belum ada yang sempurna. Kita harus bisa mengevaluasi kekuatan dan kelemahan karya dengan perbandingan apakah nilai karya masih bisa dinikmati 10 atau 20 tahun lagi.”
Irsan yang mengaku bukan desainer ini pernah bekerjasama dengan Simon Azoulay, melalui Pi?ce Unique, lini mode asal Paris yang fokus pada eksplorasi material yang tak lazim digunakan di ranah busana seperti berbagai jenis metal, akrilik, fiber glass, dan sebagainya. Selain Bali, Paris adalah tempat yang membuat ia merasa berada di rumah. Di dua tempat ini ia menemukan kebebasan untuk mengeksplorasi diri tanpa tekanan dari lingkungan sekitar.
Sesekali obrolan kami diiringi musik Björk, penyanyi asal Islandia yang gemar mengeluarkan karya eksperimental. Ada kesamaan antara mereka. Sama-sama suka terobosan dan fans Maria Callas. Irsan bicara tentang baju-baju yang ia beli sebagai bahan pelajaran. “Helmut Lang, Miuccia Prada, Yohji Yamamoto. Saya membeli karya signature.” Di kemudian hari busana-busana itu ia berikan cuma-cuma pada orang yang dianggap mampu menjaganya.
Tujuh tahun terakhir Irsan vakum. “Saya hanya berkarya bila di saat itu sedang membutuhkan uang atau sedang mood. Saya hanya bisa memenuhi permintaan dari orang yang saya suka,” tuturnya lugas. Ia menikmati rentang waktu vakum sesuka hati. Ada kalanya ia tak ingin menerima tamu. Ada waktunya ia rela ditemani oleh sang partner. Irsan berkata bahwa dirinya tak punya teman atau sahabat, “Orang dan waktu akan berubah. Kita harus bisa menerima perubahan. Saya hanya punya perasaan suka yang mendalam pada hal-hal tak tergantikan seperti Tuhan dan ibu saya.”
Irsan berharap agar karyanya menjadi mata pelajaran di universitas. “Sebuah pemberian warisan terikhlas. Ilmu yang tak lekang waktu. Soalnya saya enggan memberi benda yang nilainya akan pupus di kemudian hari. Hal yang akan diwujudkan ialah menjadi guru suatu hari nanti,” harapnya.
Tak terasa, sesi sarapan kami sudah berlangsung lebih dari empat jam. Pengakuannya yang menyebut bahwa ia tidak punya teman dekat ini ternyata adalah teman bicara yang cukup menyenangkan dan pengertian. Katanya, yang paling penting ialah sikap jujur dan realistis. Irsan ialah ciptaan yang menghanyutkan. (JAR) Foto: Dok. Yohan Liliyani
Author
DEWI INDONESIATRENDING RIGHT THIS VERY SECOND
RUNWAY REPORT
Debut DIBBA “Odyssey” di Panggung Internasional